KEHILANGAN MAKNA

Selasa, Februari 02, 2021

 


KISAH 1

    Abdullah bin Umar berkata, "Umar radhiyaLlahu 'anhu mendengar bahwa Yazid bi Abi Sufyan suka memakan berbagai macam makanan. Umar radhiyaLlahu 'anhu lalu berkata kepada pembatnu Yazid yang bernama Yarfa, "Jika kamu tahu kapan dia hendak makan  maka  beritahukanlah kepadaku!"

    Kemudian datanglah waktu makan siang dan pembantu Yazid memberitahukan  kepada Umar radhiyalLahu 'anhu. Maka masuklah Umar radhiyaLlahu 'anhu ke kediaman Yazid, mengucapkan salam terlebih dahulu, kemudian meminta izin masuk. Beliau pun diizinkan masuk. 

    Yazid kemudian disuguhi daging yang dipotong-potong, lalu Umar radhiyaLlahu 'anhu memakannya bersama Yazid. Selanjutnya Yazid disuguhi daging goreng. Yazid mengulurkan tangannya untuk mengambil daging itu, tapi tangan Yazid dicegah oleh Umar RadhiyaLlahu 'anhu.

    "Allah! Allah! Hai Yazid bin Abu Sfyan! Yang benar saja makanan datang silih berganti? Demi Allah yang menggenggam jiwa Umar, sesungguhnya jikalau engkau tidak mengikuti sunnah yang terdahulu, engkau akan terhempas ke jalan mereka!" (Dari Tarikh Umar bin Khattab, 2016)

 

KISAH 2

    Hasan RadhiyyaLlahu 'anhu berkata, "Umar radhiyaLlahu 'anhu memasuki rumah anaknya, Abdullah radhiyaLlahu  dan mendapati sebuah daging di sana. Umar lalu bertanya, "Ada apa dengan daging ini?

    "Aku menyukai daging itu," jawab Abdullah radhiyaLlahu 'anhu.

    "Apakah setiap hal yang kamu sukai harus kamu makan? Sesungguhnya orang yang memakan semua yang disukainya adalah orang yang pemboros dan berlebihan." (Tarikh Umar bin Khattab, 202)


MASALAH PERUT

    Kisah itu, dan kisah-kisah lainnya tentang seputar makanan dan kebiasaan makan, menampar hati. Duh, menelisik diri sendiri yang rewel urusan makan.

    "Tahu campur enak," saya membisiki Mas Budi ketika bersepeda motor.

    "Iya, enak," Mas Budi mengangguk-angguk. Tetap lempeng, sepeda motor tidak berbelok apalagi berhenti di depan kedai tahu campur Lamongan yang terkenal itu. Saya hanya menatap kain penutup kedai itu. Melambai-lambai seakan memanggil: "Umi, Umi, siniiii! Tetelan sapinya enak lhooo!"

    "Gak pengen belok? Menyenangkan istri berpahala lho!" bisik saya lagi, dekat-dekat ke tengkuknya.

    "Hahaha," Mas Budi ngakak. Belok kah? Tentu tidak!

    Kali lain, tiba-tiba ingin makan sate.

    "Beli sate, yuk!"

    "Makan saja yang ada!" Mas Budi menjawab pendek. Oh, baiklah. Agak keqi, menurut dengan hati sedikit mengganjal.

    Begitulah. Lintasan-lintasan keinginan sering muncul, dan rasanya seru jika hasrat makan ini dan itu terpenuhi, Sate? Hayuk. Tahu campur? Cus! Kikil? Asik!

    "Yang dipikir kok cuma makanan! Maakaaaaaaan aja!" Mas Budi menggumam, setengah protes setengah heran.

    Beberapa kali kalimat itu dilontarkan. Membuat saya berpikir karena tersentil. Sedikit demi sedikit kebiasaan andok itu berkurang. Mas Budi adalah rem kontrol yang keren. Dia tertawa cuek jika saya mulai merengek. 

    "Cendol di situ katanya enak."

    "Oh ya?" 

    "Sop buntut di situ katanya paling enak."

    "Oh, ya?"

    Begitu saja. Sesekali dipenuhi, tapi itu jarang sekali. Lebih banyak loss, luruuussss, tidak tergoda bisikan perut yang merdu.

    "Seenak-enaknya cendol, ya gitu itu. Kaya cendol.. Ya begitu aja, gak berubah jadi makanan lain," katanya santai.

    "Seenak-enaknya soto, paling-paling ya gitu itu, Masuk tenggorokan ya sudah selesai," tambahnya.

    Make sense.  Rasa enak itu sebentar, Tak akan terbawa sampai lama, kecuali kenangan atau kesannya. 

    Akibatnya?

    "Jangan tanya masalah  makanan enak sama Bunda, kata Bunda: semua makanan enak!" kata salah seorang teman.

    Lho, benar! Saya tak bisa masak, tak terbiasa dengan standar makanan itu harus seenak ini, minuman itu standarnya selezat ini. Jadi selama makanan itu bisa dimakan, dan enak dalam kaidah umum, maka itu cukup. 

    

NASIHAT

    Sunnah terdahulu, sederhana dalam urusan makanan, layak dijadikan renungan. Tak layak memang menjadikan makanan sebagai tujuan hidup; atau menjadi prioritas utama kegiatan hidup. Dalam beberapa keadaan  perjamuan makan menjadi jalan mengeratkan silaturahim, jalan penghormatan dan pemuliaan terhadap tamu. Dalam batas demikian, itu menjadi utama.

    Yang tampak diajarkan dalam kisah itu adalah kesederhanaan hidup sehari-hari. Makan seadanya, jumlah lauk yang tidak berlebihan. Cukuplah untuk asupan gizi agar maksimal dalam ibadah. Berlebih-lebihan dalam makanan membuat hidup kita terkesan hanya untuk makan. Makna hidup yang sesungguhnya akan hilang. Kepekaan, kasih sayang, dan kepedulian menipis. 

    Terlalu kenyang menghalangi cahaya kebaikan. 

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.