MUNAS YANG MEMBANTING HATI

Rabu, November 24, 2021

Saya  menangis diam-diam.

 Ketika Gola Gong memberikan sambutan di awal, berisi kesannya tentang FLP. Gola Gong menangis haru, menyatakan bahwa FLPlah yang menyelamatkan karir kepenulisannya. Beliau dulu hadir di Bali. Mengajak saya bicara tentang bagaimana FLP dalam harapan dan pandangan beliau. Momen sekilas dan sebentar, duduk di undakan ruang penutupan. Sekilas, tapi berkesan.


Saya menangis diam-diam.

Ketika mulai muncul nama saya sebagai calon anggota Dewan Pertimbangan, ada balok beton yang menghimpit perasaan. Nyali saya mengerut, kepercayaan diri saya merosot. Saya seperti ndepis di pojok, di tengah hingar bingar keramaian.

Di periode Mbak Afra, saya masuk menjadi pengurus sekitar setahun lalu. Kurang lebih.  Di tahun pertama kepengurusan, saya mengajukan izin ikut aktif kepada suami. Disposisi tidak turun. Sama sekali tak ada celah untuk lolos. Salah satu sesepuh sempat punya rencana menelepon Mas Budi untuk memintakan izin. Namun sesepuh lainnya menggarisbawahi bahwa jika suami tidak memberi izin, sudahlah.

Bagaimana akhirnya saya bisa turut dalam gerbong Badan Pengurus Pusat (BPP)? Saya lupa berapa lama waktu lobbi. Alhamdulillah, qadarullah, saya diizinkan dengan satu syarat: tidak akan berlanjut ke masa kepengurusan sesudahnya. Saya menepati janji itu: tidak lagi terlibat di BPP pada periode 2021 – 2025.

Ahad, 21 November, saya menangis diam-diam. Takut, malu, merasa tak mampu. Dewan Pertimbangan FLP terdiri dari para  ketua demisioner, ditambah beberapa orang yang saya tahu bukan orang sembarangan. Siapa saya? Oh, saya tahu diri. Kemampuan saya terbatas, dan  amanah ini memerlukan usaha yang lebih untuk orang seperti saya.

                     


Saya curhat kepada beberapa  senior. Mereka, khas punggawa FLP, memotivasi dengan nasihat indah. Bahwa Allah Subhanahu wata’ala akan kuatkan.  Rasanya hati semakin meringkuk mendengar kalimat itu. Saya sadar ini on mission, amanah bukan sekadar gagah-gagahan; ada misi dakwah yang harus ditegakkan di atas segala remeh temeh dalam hati.

Penetapan DP saya sendiri yang ketok palunya. Bersama gerimis hati yang disembunyikan rapat-rapat. 

“Terima kasih dukungan Mas selama ini untukku. I love you.” Itu kiriman WA saya ke Mas Budi sehari setelah Munas.

“Maafkan akhirnya jadi dewan pertimbangan,” saya kirim lagi itu.

“Iya, gak papa.” Balasan itu melegakan hati. MasyaaAllah, alhamdulillah.


Saya menangis diam-diam.

Episode pemilihan ketua umum adalah puncak. Ada delapan nama yang muncul. Kesemuanya laki-laki. Hal pertama yang dilakukan adalah menanyakan kesediaan. Saya mengurutkan berdasar daftar nama yang dibagi oleh panitia di layar. Daeng Gegge, bersedia.  Rafif Amir, tidak bersedia. Berikutnya, juga tidak. Lalu sampai di kandidat kesekian, daftar itu menghilang. Saya menyebut yang berikutnya secara acak saja, Kang HD. Beliau  bersedia. Alhamdulillah, berarti kandidat yang bersedia menjadi dua. Pada saat Mas Ganjar memberikan alasan ketidakbersediaannya, suasana mengharu biru. Mas Ganjar sempat menyebutkan kecintaannya pada FLP, lalu terdiam. Beliau memiringkan badannya sehingga tak nampak di layar zoom. Hening kembali. Lalu kamera zoom mas Ganjar tidak aktif. Di kolom percakapan, Mas Ganjar menyatakan tidak bersedia.



Berikutnya, berikutnya, hingga akhir, mereka tidak bersedia. Fix, sudah. Cuma dua kandidat yang maju.

Mereka berdua diberi waktu  sepuluh  menit menyiapkan paparan  visi misi.

“Siapa yang akan memaparkan terlebih dahulu?” saya menawarkan.

“Saya, Bu Guru,” kata Kang HD.

Beliau tidak memaparkan visi misi. Yang disampaikan kisah sahabat Muhajirin dan Anshar setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaikhi wasallam. Kedua kelompok sahabat itu saling mengunggulkan golongannya sebagai orang yang layak menggantikan kepemimpinan Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam. Melihat situasi genting tersebut, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu merasa perlu mengambil tindakan untuk menyelamatkan umat Islam dari perpecahan. Ia mengambil tangan Abu Bakar dan mengajak shahabat lainnya membaiat Abu Bakar menjadi pemimpin mereka.

Kang HD menceritakan kembali kisah itu dengan suara tertahan, air muka yang sendu dan penuh perasaan. Suasana begitu hening. Saya menahan nafas. Saya menebak Kang HD akan lakukan hal yang sama agar keutuhan FLP semakin kokoh.

“Sebab itu, saya mengajak teman-teman memilih Daeng Gegge karena saya yakin ia adalah orang yang tepat untuk memimpin kapal besar FLP ini,” kurang lebih begitu Kang HD mengatakan.


Saya menangis.

Kali ini tidak diam-diam. Saya menangis bersama puluhan peserta sidang lainnya. Banyak berita saya baca tentang ricuhnya kongres atau munas organisasi atau partai. Saling berteriak, memaki, adu jotos, mengejar-ngejar lawan bicara hendak mengajak kelahi, menggebrak meja atau membanting kursi. Barbar, kasar, dan kisruh. Tiga kali ikut munas FLP, tidak ada adegan demikian. Diskusi sengit sebatas saling melontarkan gagasan dan ide, tidak sampai saling melotot apalagi bertemu tinju. Pernah ada yang sampai sakit hati dan saling menjaga jarak dalam hubungan pribadi, namun tidak menghentikan gerak bersama dalam proyek kebaikan. Luar biasa, masyaaAllah.

Kalimat-kalimat Kang HD membius peserta, menghanyutkan kami dalam keindahan ukhuwwah, penihilan ambisi, dan merontokkan jumawa kuasa. Sekian waktu, saya tak sanggup berkata-kata. Perlu menahan emosi, mengatur nafas agar bisa mengendalikan diri. Sebab saya masih memimpin sidang, dan musyawarah tetap harus berjalan dengan kondusif.

Munas V FLP kali ini, benar-benar membanting hati. Saya bersyukur diberi kesempatan oleh Allah Subhanahu wata’ala bersama orang-orang baik. Ini adalah kenikmatan berkah, yang semoga mendatangkan ampunan, mengundang pertolongan dan kekuatan dari Allah Subhanahu wata’ala. Allahumma aamiin.

2 komentar:

  1. Sangat membanting hati Bu ummi. Syukur saya off cam, klo gk kliatan juga 😆

    BalasHapus
    Balasan
    1. offcam cara paling ampun menyembunyikan wajah mewek. Sayangnya saya gak boleh offcam..hehehe. Terim kasih sudah mampir, Kak Dewi.

      Hapus

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.