NILAI 60

Rabu, Januari 26, 2022

 'Assalamu;alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Bu Umi Kulsum, maaf mengganggu waktunya. Saya Agung  yang dulu pernah ulangan, berhubung saya nggak bisa bahasa Inggris, saya tulis kembali soalnya dan saya dikasih nilai 60 hanya untuk menulis soal saja di lembar jawaban saya.'


Itu WA yang masuk ke menjelang akhir Oktober 2021 lalu. Dari nomor yang tidak saya kenal, dan mengaku sebagai Agung. Tentu ini nama samaran.


'Alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Agung yang dulu jurusan Pemasaran?'

'Bu maaf kalau mungkin dulu saya mengecewakan Bu Umi. Terima kasih atas supportnya ketika saya keluar dari SMKN 1. Saya keinget terus sampai sekarang, biar saya bisa nunjukin ke Bu Umi saya bisa. Iya Bu, saya Agung yang nakal dulu.'


Saya ingat padanya. Saya mengajar di kelasnya, dan mengenal dia sebagai salah satu pengurus OSIS. Saya tak  mengerti apa masalahnya, ketika  dia diberhentikan dari pengurus OSIS. Tak lama kemudian, ia keluar sekolah. Ada sedikit rasa penasaran,  tapi entah kenapa saya tidak berusaha mencari tahu penyebab itu semua.

Saya hanya bilang: "Saya ingin bertemu kamu, sekian tahun ke depan, dengan Agung yang berubah. Agung yang lebih baik." Kurang lebih demikian maknanya. Dan dia menyanggupi; dia akan menemui saya jika sudah menjadi orang baik.


Sekian tahun kemudian, saya menyapanya di FB dan mengajak bertemu. Agung menolak. Saya memaknai dia menganggap keadaannya 'belum menjadi baik' seperti janji, sehingga  merasa  tak  layak bertemu.

"Apa aktifitasmu sekarang?" tanya saya saat berkesempatan berkomunikasi beberapa tahun lalu.

"Di komunitas X, Bu," jawabnya. Komunitas yang disebutkan merupakan kumpulan pemilik atau pecinta merek sepeda motor. Setahu saya,  mereka, sebelum pandemi dulu, sering nongkrong di pinggir jalan besar setiap malam Ahad. 

'Maaf Bu ya, saya sempat mengecewakan Bunda Umi dulu,' tulisnya lagi di WA.

'Saya tidak kecewa. Pengalaman hidup membuat saya mengerti, setiap orang punya jalannya kembali.'


Percakapan itu menjadi bahan renungan saya beberapahari kemudian. Setelah hampir dua tahun mengajar secara daring, lalu menjalani pertemuan tatap muka (PTM) kembali, saya mengamati keadaan murid. Beberapa guru mengeluhkan adab yang buruk, motivasi belajar yang rendah, dan berkurangnya rasa segan atau menghormati. Ada anak-anak yang sama sekali tidak peduli dengan ketertinggalan tugas. Disapa di WA, hanya dibaca. Diminta menghadap, lenyap. 

Ada juga yang membolos PTM. Saya melakukan panggilan video. Sepuluh kali dering, tak diangkat. Sepuluh dering kedua, idem. Percobaan ketiga, barulah tampak tanda direspon. Seraut wajah muncul. Rambut keriting awut-awutan. Wajah sembab, mata bengkak. Ini khas wajah begadang lalu tidur hingga siang.

"Ya, Bu. Ada apa ya?"

"Kamu sedang apa?"

"Baru bangun, Bu. Ada apa, ya?"

"Lho, kok ada apa. Sekarang waktunya apa?"

"Apa ya, Bu?"

"Kami harusnya di sekolah, lho! PTM, pelajaran saya."

"Lho, iya. Saya lupa, Bu! Ini saya baru bangun. Beneran, Bu!"


Itu masih mendingan. Ada yang begini: ditelepon berulang kali, tak dijawab. Saya kirim teks: "Angkat telepon saya, sekarang!"
Cara ini cukup ampuh. Panggilan saya berikutnya dijawab. Kaget, yang muncul wajah remaja putri. Apakah murid lelakiku sudah bertransformasi? Tentu tidak! Saya mengendus aroma drama. Oghey, Boy,  lu jual, gua beli!

"Fulan ada?" Wajah di layar saya tampak ragu-ragu.

"Itu, Bu, sedang keluar," jawabnya takut-takut.

'Ke mana?"

"Anu Bu, disuruh Ibu ke warung."

"Oooh, ya. Kamu siapa?'

"Saya adiknya."

"Ooh, ya. Mana Ibu? Saya mau bicara dengan Ibu."

Gadis remaja itu melirik-lirik ke depan. Sepertinya dia sedang menyimak instruksi. Saya geli sendiri.

"Anu Bu, sebentar saya panggil Ibu." Dia bangkit, gambar di layar bergerak-gerak. Lalu dia duduk kembali.

"Ibu sedang keluar, Bu."

"Lho, kemana?"

Dia melihat ke depan lagi. Kepala bergerak-gerak, mulut manyun-manyun, alis bertaut dan mata 'mencureng'. Mungkin sosok di depan memberi instruksi yang sulit dilakukan.

"Saya mau bicara dengan kakakmu. Mana, sini, kasihkan hape ke kakakmu. Eh, kamu adiknya atau bukan? Bukan, ya?"

Nah, senyumnya jadi malu campur takut.

"Mana Fulan, saya mau bicara. Kasihkan hape ini ke dia, di depanmu. kan?"

Ia tersipu-sipu. Sejurus kemudian, muncul wajah tersangka. Lhaaa.... Wong tuwo mbok bujuki, Mas! 


Masih banyak cerita lainnya. Seru, lucu, menggemaskan. Anak-anak produk pandemi  yang 'tersesat' di rimba gawai dan melewatkan visi besar dalam hidupnya. Katakanlah saya lebay. Tapi sungguh saat ini, kita sedang panen besar hasil pendidikan, baik di sekolah mau pun di rumah. Anak-anak yang rendah literasi, miskin narasi, belum mampu membangun visi besar dalam hidupnya. Pernah saya tanya, siapakah yang belum tahu ingin menjadi apa atau belum punya cita-cita. Hampir semua mengacung. 


Tahun pelajaran ini saya menerapkan penilaian yang lebih ketat. Tugas-tugas didesain dalam bentuk pertanyaan terbuka,  yang mendorong eksplorasi pendapat dan wawasan mereka. Tak boleh copy paste, tak menerima jawaban yang sama persis. Jika ada yang demikian, saya kurangi nilai keduanya sampai 30 poin. Sampai akhir semester, saya beri catatan bagi yang belum lengkap tugas. Mereka menghadap satu per satu. Saya tanya masalah atau kendala yang membuat mereka lalai mengumpulkan. Pertemuan ini memakan waktu cukup lama, tapi saya menikmatinya. Saya membayangkan mereka anak-anak saya sendiri, yang perlu didampingi ketika mengalami masa sulit; baik karena faktor eksternal mau pun internal. 

"Siapa di antara kalian yang tidak pernah menyontek ketika di SMK?" Seisi kelas tertawa. Tak ada tangan yang teracung. Pertanyaan saya pasti terdengar aneh dan ajaib. 

"Nilai matematikamu, semester  genap kelas enam SD, berapa?" Saya menyentuh lengan anak perempuan di bangku depan saya. Matanya bergerak ke kanan kiri. Ia sedang berusaha mengingat. Lalu menggeleng sambil tertawa. 

"Okay, kalau Bahasa Indonesia kelas delapan, semester satu?" Dia tertawa lagi, teman-temannya juga.

"See? Nilai yang kamu perjuangkan dengan menyontek, itu kamu lupakan. Tapi kebiasaanmu menyontek, akan melekat. Akibat kebiasaan itu, misal, kamu tidak percaya diri. Betul kah?" 

Itu hanya satu contoh dialog sederhana. Satu langkah kecil untuk menggiring mereka pada makna belajar yang sesungguhnya. Bahwa nilai itu penting, tapi lebih penting lagi adalah proses mendapatkannya. 

Bertemu dalam PTM di semester genap ini saya manfaatkan sebaik-baiknya. Saya bercermin pada Agung. Seabrek konsep pengetahuan akan dilupakan, tapi cara pengetahuan  itu disampaikan akan membekas.  Berusaha fokus pada memberikan pengalaman belajar yang dianggap mampu memunculkan motivasi, menumbuhkan berpikir kirits, mengasah keterampilan bekerja sama, memancing keluarnya kemampuan mengambil keputusan, dan lain-lain. 

Saya tidak tahu, manakah di antara pengalaman belajar itu yang kelak akan melekat dalam ingatan mereka. Walau cuma satu, tak apa; asal yang satu itu menjadi penggugah optimisme dan semangat bergerak dan bertumbuh. Ke arah lebih baik. 

Sebagaimana Agung dan kenangan nilai 60-nya itu.  

19 komentar:

  1. Cerita ringan yang bermakna bagi saya. Terimakasih bunda.

    BalasHapus
    Balasan
    1. MAsyaaAllah,alhamdulillah. Sama-sama, terima kasih juga sudah membaca. Big hug.

      Hapus
  2. Cerita yang penuh dengan makna.
    Terimakasih bu... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, terima kasih kembali. Keep reading, ya!

      Hapus
  3. Membaca cerita ini seperti saya membaca sebuah novel, sangat berkesan dan bermakna.
    Terimakasih Bunda Umi

    BalasHapus
    Balasan
    1. MasyaaAllah, terima kasih banyak. Semoga bermanfaat dan mdiridhoiNya

      Hapus
  4. Cerita hikmah penuh makna dalam kehidupan nyata. Tak semua orang bisa menerima nasib yang dialaminya, tapi kita merubah cara berpikir kita. Bahwa apa yang telah digariskan oleh Allah pasti yang paling istimewa. Karena pandangan kita berbeda dengan pandangan Allah.
    Terima kasih Bunda Umi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali; menerima ketentuan dan takdir Allah subhanahu wata'ala merupakan perjuangan tersendiri. Terima kasih kembali.

      Hapus
  5. Cerita yang menginspirasi. Menyentil kami, para pendidik rumahan. Meskipun miris dengan kondisi anak-anak produk pandemi, di berbagai jenjang. Namun menggugah optimisme para orang tua bahwa harapan itu masih ada. Karena anak-anak memiliki jalan kembali masing-masing. Terima kasih, Bunda 🤗.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kita orang tua menunjuki jalannya, mereka akan menapaki. Menemukan tantangan, mencari jalan pulang ketika berbelok. Semoga Allah subhanahu wat'ala jaga anak-anak kita di mana pun berada, ya, Bunda Iil. Matur nuwun sudah mampir.

      Hapus
  6. Terimakasih bunda, menjadi penumbuh semangat kami sbg guru untuk selalu memberikan harapan pada anak-anak untuk bisa lebih baik

    BalasHapus
  7. Barokallahu Fiik....
    Lanjutkan...

    BalasHapus
  8. Best & Amazing Teacher
    Terimakasih Bunda Umi

    BalasHapus
    Balasan
    1. MasyaaAllah.. Sami-sami, matur nuwun sanget.

      Hapus
  9. Kisah Bu Umi ini mengingatkan saya ketika saya menjadi walikelas, dulu waktu di SMK 17 Pare. Sekolah yang cukup besar seperti SMKN 1 Jombang, tapi besar pula tantangannya. Saya sangat sering menjemput anak untuk sekolah, bukan hanya itu saya bahkan diminta orangtuanya untuk membangunkannya di kamar. Ada yang masih fresh diingatan saya, ada anak yang tidak bisa maksimal mengerjakan ujian praktik(padahal saya tahu kemampuannya, anak itu bisa) tapi karena harus mengasuh adiknya yng masih kecil di panti asuhan, mereka tinggal di Pantiasuhan, dan dilanjutkan dengannya cerita makanan kadaluarsa, aduh.. sudah ndak sanggup ngetiknya Ibu, T-T.

    BalasHapus
  10. Eri smadata TanggulSelasa, Mei 17, 2022

    Luar biasa Bu Umi...nilai 60 inilah, wujud dari punishment yang mendidik... dan menimbulkan efek jera yang positif 👍

    BalasHapus

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.