ATLET STASIUN GAMBIR

Rabu, Oktober 27, 2010
(3 Juli 2009)

Tepat jam 15.45, kami, -saya, Ibu, Najma, dan Hafidh, check out di hotel Santika. Setelah urusan ini itu, kami menunggu Mas Benny, kru dari Gramedia, yang berjanji menjemput pukul 16.00. Tiket Bima dari BOBO menunjukkan jam keberangkatan pukul 17.00.

Jam 16.00 lebih sedikit, mobil Mas Benny terlihat memasuki halaman hotel. Langsung menuju basement. Ibu sudah gelisah. Khawatir terlambat.

Dari jauh Mas Benny menuju ke arah kami dengan santai. Saya menenangkan Ibu yang mulai mengomel.

Baru saja mobil keluar dari hotel, bayang-bayang kemacetan sudah terasa. Mobil-mobil mengular. Kami hanya maju sedikit-sedikit. Ibu berkali-kali melihat ke arah jam tangan.

"Kereta berangkat jam lima, Pak Benny. Masih nyampe gak ya?" tanya saya.

"Masih, Bu," jawab Pak Benny. Dari nada suaranya, saya tahu Pak Benny juga tidak yakin dengan ucapannya. Mobil terus merayap. Pelan. Pelan sekali. Sementara jantungku (jantung kami semua, tepatnya) sama sekali tidak seirama dengan laju mobil. Waduh, bagaimana bila ketinggalan kereta? Masa kembali ke hotel? Saya sudah rindu rumah Jombang, rindu Nabila dan Zahra, dan, tentu saja, rindu Mas Budiku ganteng. Hiks!

"semoga Bima molor!" doa Mas Benny. Doa yang konyol, batin saya.

Menjelang stasiun Gambir, jam sudah menunjukkan pukul 17.15. Najma tertidur pulas di samping saya. Tampak kereta bergerak di rel yang melintang di atas jalan.

"itu ada kereta berangkat!" kata saya.

"Jangan kereta Bima doong!" sahut Mas Benny memelas. Diam-diam saya berdoa, memohon keajaiban. Mundurkan jadwalnya, ya Allah. Jangan biarkan kami tertahan di Jakarta. Molorkanlah, ya Allah.... (Saya ingin bertawassul, tapi rasanya tak punya amalan yang dapat diandalkan untuk bertawassul!)

Begitu memasuki halaman Gambir, membuka pintu mobil, Mas Benny langsung bertanya pada kuli angkut,"Bima sudah berangkat?"

"Hampir! Cepat, sebentar lagi!" jawab kuli itu sambil menyambar koper berat kami. Ooww.... Najma masih tidur! Saya membangunkannya dengan keras. Najma melek. Merem lagi. Lha, malah rebah lagi!

"Ayo, Mbak... Keretanya sudah mau berangkat!!" saya mulai bertanduk.

"Aduh, ni anak! Mi, itu Najma!" Ibu saya makin sewot melihat Najma malah menangis. Whuaaa!! Waduh, gawat! Pak Benny segera menggendong Najma. Pak kuli menatap kami dengan tak sabar. Dan......... Yak! Lomba lari dimulai! Pak kuli berlari kencang memanggul koper dengan gagah berani. Langkahnya mantap dan terlatih. Pak Benny berada diurutan kedua bersama Najma. Larinya cukup kencang, namun belum bisa menyusul Pak kuli. Saya diurutan ketiga. Terseok-seok bersama Hafidh dalam gendongan. Hafidh menatap saya dengan mata polosnya. Kepalanya teryun-ayun seiring irama lari. Sesekali dia mengajak saya tersenyum. Maap-maap ya, dek Hafidh! Bukan waktunya Bunda membalas senyum manismu!

Saya menoleh. Ibu berlari tertatih-tatih dibelakang. Ditangannya ada satu kantong kresek dan satu tas tangan. Aduh, kasihan! Tapi kudu tetap berlari!! Hiyaaa.....

Pak kuli, Pak Benny, saya dan Ibu sungguh pemandangan lucu. Berlarii-lari menyusuri stasiun, melompat ke eskalator, bergegas-gegas... Nafas seperti mau putus. Tungkai ngilu. Tidak pernah olah raga teratur, sekarang harus sprint! Olala!! Plis, Pak Benny, Pak Kuli... berhenti dulu doong! saya memohon dalam hati. Ingin mengatur nafas dulu.

Pak kuli berhenti tepat ketika mencapai lantai 2. Dia menoleh ke arah kami. Pak Benny juga berhenti. Alhamdulillah, akhirnya mereka paham juga!! batin saya.

"Gerbong berapa?" tanya pak Kuli pada Pak Benny. Pak Benny menoleh ke arah saya.

"Gerbong berapa?" sambung Pak Benny pada saya.

"Satu!" saya mengacungkan telunjuk dengan mantap. Mereka berbalik dan.... lariii!! lha, ditinggal lagi! Terpaksa, sungguh terpaksa, saya ikut lari lagi. Terbirit-birit, pontang-panting mengikuti Pak Benny dan Pak Kuli. Para penumpang yang berjajar tersenyum-senyum. Ingin rasanya membalas dengan senyuman termanis, tapi mana taahaaannn! Capek, nih!

Akhirnya, oh, alhamdulillah, terima kasih, ya Allah, kami sampai di dalam gerbong. Penumpang lain sudah duduk manis. Pak kuli menyeka keringatnya. Tangannya bertelekan kursi. Nafasnya megap-megap. Pak Benny mengatur tas kami. Nafasnya juga panjang pendek. Raut mukanya tidak lagi setegang tadi. Sekitar dua menit kemudian, kereta berangkat.

Ibu menyandarkan badannya dengan lunglai. Kami duduk sambil tersenyum-senyum. Setelah lari terbirit-birit, duduk di kursi terasa indah dan nyaman!

(Di rumah, mengenang kejadian itu membuat kami terpingkal-pingkal! Ibu saya berseloroh: "Seandainya MAmah ketinggalan kereta, gak papa! Wong tiketnya Mamah yang pegang!" haha )


Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.