BAPAK DI STASIUN ITU

Rabu, Oktober 27, 2010
 04 Agustus 2009


Di sebuah stasiun , pukul 5 pagi. Suasana cukup sepi. Beberap tampak berdiri. Barangkali menunggu seseorang seperti saya. Pagi ini, Ibu dan Nabila tiba dari Bandung.

Di sebelah barat, segerombolan orang tampak berbeda. Necis, rapi. Gaya dandanannya berkelas. Para bapak, 3 orang, berkemeja, berjaket dan menjinjing tas kerja yang tidak murah. Sang perempuan, lebih muda, berbalut blazer cantik. Anggun sekali.

Menjelang pukul setengah enam, kereta bima memasuki stasiun. Mereka bersiap-siap di jalur dua. Setelah kereta berhenti, salah satu bapak itu, tampaknya yang paling tua dan senior, bergegas naik. Tiba-tiba datang petugas stasiun mendekati.

"Maaf, Pak. Jangan naik kereta ini. Bapak bisa naik Mutiara Selatan saja," suara petugas itu cukup keras untuk didengar orang-orang sekitarnya.

"Kami mau ke Surabaya!" Bapak itu sewot.

"Iya, Pak. Tapi tidak boleh naik kereta ini. Bapak bisa menumpang di Mutiara Selatan," petugas itu menanggapi dengan sabar.

"Saya akan bayar di atas!" Bapak itu muntab.

"Maaf, Pak. Tidak bisa menumpang kereta eksekutif. Pakai bisnis saja," petugas itu bertahan. Bapak tersebut semakin muntab.

"Kamu siapa? Jabatanmu apa?" suara Bapak itu mengegelegar. Petugas stasiun tidak menanggapi. Dia memilih pergi. Teman-teman si Bapak mengajaknya duduk kembali. Tapi dia menolak duduk. dengan berkacak pinggang, mulutnya merepet tak henti-henti.

" Saya mau ke Surabaya cepat, masa tidak bisa naik Bima. Nanti juga dibayar diatas!" Teman-temannya hanya diam menunduk.

"Sok sekali petugas tadi!" Yang perempuan melihat sana sini dengan gelisah. Tampak betul ia menahan malu.

"Apa sih jabatannya? Dia bukan siapa-siapa!" Tak ada yang berani menanggapi.

"Memangnya dia pikir siapa? Apa stasiun ini dia yang punya?" Si perempuan semakin menunduk. Kakinya menggores-gores lantai dengan resah. Masih saja Bapak necis itu menyumpah-nyumpah. Menyebut-nyebut jabatan. Menyebut-nyebut petugas yang 'bukan siapa-siapa'.



Seorang petugas stasiun (yang lain) kembali mendekat.

"Ada apa, Pak?" tanya sang petugas. Nadanya datar.

"Kami mau naik kereta Bima, tapi Bapak itu (menunjuk ke satu arah, ke petugas pertama) melarang... Kami bayar, kok! Siapa sih dia? Apa jabatannya?" Bapak perlente itu mulai meninggikan suaranya.

"Bapak punya tiket?" petugas itu bertanya.

"Tidak punya, tapi kami akan.....," belum tuntas dia melanjutkan, petugas stasiun itu memotong.

"Bapak tidak punya tiket?" nadanya meninggi. lugas dan tajam.

"Tapi kami akan bayar di atas.... Kami sanggup bayar!! Stasiun ini ada karena kami juga!! Dari @@$$^^ (Bapak itu menyebutkan instansinya tempat dia bekerja)"

"Tapi Bapak tidak punya tiket,kan? KELUARR!!!!! KELUARRRR!!!!!!" petugas itu menggelegar. Tangannya mengacung--acung dengan galaknya. Semua yang mendengar tersentak. Bapak itu tampak shock. Dia tergagap-gagap. Teman-temannya berusaha melerai-lerai. Mencoba menenangkan si petugas yang meradang.

"Kakau Bapak masih bicara macam-macam, SILAHKAN KELUAR!!!" Nadanya mengancam. Pesannya singkat dan padat: jangan macam-macam dengan saya!



Tidak tahu bagaimana endingnya. Namun penting dicatat: BERSANDARLAH PADA JABATAN, KAU DAPATKAN KEHINAAN!

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.