BAPAK ITU JATUH

Rabu, Oktober 27, 2010
10 Agustus 2009 


 Pagi ini. Di sekolah ada perlombaan. Saya melarikan sepeda motor pada kecepatan 60 km. Sudah agak siang. Menurut rencana akan ada perlombaan voli antara ibu guru melawan siswa. Saya kudu buru-buru. Karena jumlah ibu guru sedikit, jadi sungkan kalau tidak ikut.

 Setelah melintasi jembatan sungai Brantas yang lebar, saya berbelok ke timur. Melintasi tepi tebing pembatas antara jalan dan sungai Brantas. Jalan yang sempit. Kendaraan yang melintas cukup banyak dan besar-besar.


Dari jauh, saya melihat sesuatu tergeletak di tepi tebing, di seberang jalan. Sebuah sepeda hitam Ada kaki bergerak-gerak. Kaki yang kurus dan hitam. Semakin dekat. Pemandangannya makin jelas. Seorang bapak tua, kurus, hitam, terjatuh dan sepedanya menimpa tubuhnya. Tampak benar ia kesulitan untuk bangkit. Di atas boncengan sepedanya tampak karung putih besar. Entah berisi apa. Karung itu juga terjatuh dan menimpa kakinya.


 Semakin dekat. Bapak itu berusaha keras bangun, tapi gagal. Sepeda dan karung menyulitkannya. Saya tepat di seberangnya. Melintas pelan-pelan. Tak mungkin berhenti, batin saya. Di depan, dari arah berlawanan, beberapa truk berjajar. Searah dengan saya, motor-motor antri. Lewat spion saya memperhatikan bagian belakang. Sama saja. truk-truk besar, angkot dan sepeda motor. Tak bisa saya berhenti. Jalanan terlalu sempit...

 "Please, somebody help him...," bisikan dalam hati berkali-kali. Saya melihat lewat spion.

 Para pengemudi sepeda motor melakukan hal yang sama:melambatkan motor, memperhatikan, mengawasi. Tapi tak ada yang berhenti. Tak ada yang menolong. Begitu juga dari arah yang berlawanan.


 Saya melaju. Sambil beristighfar. Mohon ampun, karena tidak menolong. Masih terbayang jelas ekspresi bapak itu. Matanya melirik kanan kiri. Seolah-olah menanti seseorang berhenti. Untuk menolong.


 Di sekolah saya bercerita. Seorang teman berkata,"Semestinya njenengan berhenti, menolongnya..."

Saya tercenung. Memang betul, mestinya saya berhenti. Bagaimanapun kondisinya, saya harusnya berusaha menolong... Bodohnya saya.


Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.