PETUAH RAMADHAN DAN SARI APEL

Rabu, Oktober 27, 2010

23 Agustus 2009 jam 7:37 

Malam Ramadhan pertama. Saya bersiap sholat sendiri. Nenek, Ayah dan Nabila sudah ke masjid. Tak bisa ikut, karena Hafidh sudah tidur.

 "Bunda mau sholat?" NAjma bertanya. 

"Iya, yuk, ikut!" Najma menggeleng. Dia sibuk dengan mainan di tangannya.

"Banyak yang sholat di masjid, ya?" tanyanya lagi.

"Ya!"

"Atu ndak!" kata Zahra.

"Kenapa ke masjid?" tanya Najma.

"Hmm... Begini.." saya bersiap seperti ulama kondang hendak memberi petuah. "Allah sediakan pahala yang buaaaanyaaak di bulan Ramadhan ini. Tidak sama dengan bulan lainnya."

Saya berhenti. Memperhatikan reaksi Najma dan Zahra. Najma mengangguk-angguk.

"contohnya, kalau di bulan lain kita infak, pahalanya...." saya belum selesai.

"Apa itu infaq?" potong Najma.

"Infaq itu, hampir sama dengan sedekah, kasih ke orang miskin. Misalnya mbak Najma kasih uang sama pak becak," saya berusaha menjelaskan sederhana. Ada pengemis yang membawa keluarganya naik becak ke rumah. Biasanya Najma dan Zahra berebut memberi. Kami tidak tahu namanya, hanya menyebutnya 'pak becak'

"Orang miskin itu pengemis, gitu?" kejar Najma lagi.

"Tidak selalu . Ada orang miskin yang bekerja, seperti bapak penjual beras itu..." jelas saya . Ada penjual beras langganan kami, biasa datang dengan sepeda bututnya. Orangnya sudah tua.

"Kok miskin?" Alis Najma bertaut. Lha, kok saya ikut bingung, ya?

"Iya, walaupun sudah bekerja, hasilnya sedikit. Uangnya tidak banyak, sedikit sekali . Tidak cukup untuk hidupnya. Tidak bisa beli macam-macam kayak mbak Najma. Mbak Najma kan bisa punya roti, susu..." saya belum selesai...

"Lhooooo .....Aku lho, sudah gak punya uang lagi! Habis untuk bayar sari apel ke Bunda duluuuu!" Najma berkata dengan nada tinggi. Protes!

"Sari apel apa?" saya tambah bingung. Hang, hadirin!

"Sari apel duluuu..." Najma bersikeras. "Kata Ayah Bunda suruh bayar! Jadi aku bayar, pakai uangku! Sekarang uangku habis!!"

(Oh, ya, saya ingat! Beberapa bulan lalu, adik ipar saya promosikan sari apel buatan ibu-ibu pkk sebuah desa di Malang. Katanya asli. Segar. Dibawakannya dua karton kecil untuk percobaan. Saya berniat menitipkan di sekolah Nabila. Tapi tidak keburu. Dalam tiga hari, sari apel itu ludes diminum Najma. Ayahnya menggoda, karena itu barang dagangan, maka NAjma harus membayar. TAk dinyana, NAjma larike lemarinya. Mengeluarkan celengannya dan menumpahkan isinya. Setelah dihitung bersama Ayah, ternyata uangnya kurang! Dia berlari lagi menuju lemarinya. Mengeluarkan dompetnya dan menumpahkan isinya. "Sekarang cukup, ya Yah?" Melihat ayahnya mengangguk, Najma tampak lega.)

"Emang uang Mbak Najma habis semua?" saya bertanya sambil senyum-senyum geli.

"Iyaaa... Aku sudah gak punya uang lagi! Ayo, Bunda ganti, ya?" pintanya.

"OK. Insya Allah Bunda ganti!" janji saya.

'Semuanya! Haarussss semuanya!" Najma berkata mantap. Ia melanjutkan mainannya.

 Saya berdiri di atas sajadah. Berpikir keras. Sebenarnya saya tadi mau petuah apa, sih? Kok jadi bicara uang dan sari apel, ya?

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.