TENTANG IBUNDA SUFIKA
Namanya Sufika. Biasa dipanggil Fika. Dia tiga bersaudara, anak pertama. Adiknya dua laki-laki.
Rumahnya di Ngoro, sekitar 20 menitan dari sekolah.
Pagi tadi, ia pamit hendak ke sekolah. Berangkat agak siang karena UTS. Di perjalanan, tak jauh dari rumahnya, ban sepeda motornya tertusuk paku. Ayahnya ditelepon, dan segera menyusul. Mereka bertukar sepeda motor.
Dibawanya motor itu melaju. Tak sampai lima menit, sebuah kendaraan berbelok. Tak sempat ia menghindar. Benturan terjadi. Dia terluka parah di kepala. Darah mengucur dari hidung. Nafasnya tersengal-sengal.
Sang Ayah dikabari, dan mendapati putri tercintanya telah menjadi mayat di rumah sakit kecil tak jauh dari TKP.
Innalillahi wa inna Ilaihi raji'un.
Ketika wali kelasnya, Bu Nurul Azizah, saya dan teman-teman sekelasnya tiba di rumah duka; jenazahnya sudah dimakamkan.
Sang ibu duduk tak berdaya. di rumahnya yang sangat-sangat sederhana. Matanya kosong. Sama sekali tak ditatapnya kami ketika bersalaman. Tenaganya dihisap kesedihan. Air matanya dikuras rasa kehilangan.
"Angkat tanganmu, salaman. Ini gurunya Fika," begitu kerabatnya berbisik ketika kami menyalami. Sang Ibu tidak memandang kemana-mana. Seolah-olah jiwanya ada disuatu tempat yang jauh.
Tiba-tiba matanya memandang ke atas. Tangan kerabatnya mengusap-usap mata itu. Sesekali kelopak matanya ditutupkan.
"Jangan sampai pikiranmu kosong," begitu kata-kata yang diucapkan berkali-kali oleh kerabatnya.
Sang Ibu tidak bereaksi. Hanya nafasnya turun naik. Wajahnya sembab; tapi tak ada air mata menetes.
Tiba-tiba matanya kembali menatapke atas dan ia menegakkan badannya. Tangannya mengembang. Matanya berpindah memandang ke depan.
"Anakku... Anakkuuuu... Anakkuuuuu.. Itu anakkuuuuu..," tangannya seolah-olah menyambut seseorang dalam pelukannya. Ia menggapai-gapai dengan kuat. Kerabatnya memeluk, mendekap tangannya dan menutupkan matanya.
Selama disana, berkali-kali sang Ibu demikian. Dan berkali-kali pula saya melihat bagaimana tangannya mengembang, menyambut seseorang dalam pelukannya. Menggapai-gapai dengan penuh perasaan. Lalu luruh dalam ketakberdayaannya. Semua dengan mata kosong.
Saya merinding. Tak tahan air mata menetes.
Kematian putri semata wayangnya yang cepat, tentu menyisakan rongga kehilangan besar dalam hatinya . Sang putri yang dilepasnya ke sekolah dengan kasih sayang, pulang dalam keadaan tak bernyawa. Tak akan kembali lagi.
Semoga Allah limpahkan kesabaran dan mengokohkan kesabaran itu dalam hatimu, Ibu.
Beserta kesedihanmu, Allah akan sediakan penawar dan kekuatan.
Semoga putri Ibu dilapangkan kuburnya dan diampuni semua kesalahannya
Rumahnya di Ngoro, sekitar 20 menitan dari sekolah.
Pagi tadi, ia pamit hendak ke sekolah. Berangkat agak siang karena UTS. Di perjalanan, tak jauh dari rumahnya, ban sepeda motornya tertusuk paku. Ayahnya ditelepon, dan segera menyusul. Mereka bertukar sepeda motor.
Dibawanya motor itu melaju. Tak sampai lima menit, sebuah kendaraan berbelok. Tak sempat ia menghindar. Benturan terjadi. Dia terluka parah di kepala. Darah mengucur dari hidung. Nafasnya tersengal-sengal.
Sang Ayah dikabari, dan mendapati putri tercintanya telah menjadi mayat di rumah sakit kecil tak jauh dari TKP.
Innalillahi wa inna Ilaihi raji'un.
Ketika wali kelasnya, Bu Nurul Azizah, saya dan teman-teman sekelasnya tiba di rumah duka; jenazahnya sudah dimakamkan.
Sang ibu duduk tak berdaya. di rumahnya yang sangat-sangat sederhana. Matanya kosong. Sama sekali tak ditatapnya kami ketika bersalaman. Tenaganya dihisap kesedihan. Air matanya dikuras rasa kehilangan.
"Angkat tanganmu, salaman. Ini gurunya Fika," begitu kerabatnya berbisik ketika kami menyalami. Sang Ibu tidak memandang kemana-mana. Seolah-olah jiwanya ada disuatu tempat yang jauh.
Tiba-tiba matanya memandang ke atas. Tangan kerabatnya mengusap-usap mata itu. Sesekali kelopak matanya ditutupkan.
"Jangan sampai pikiranmu kosong," begitu kata-kata yang diucapkan berkali-kali oleh kerabatnya.
Sang Ibu tidak bereaksi. Hanya nafasnya turun naik. Wajahnya sembab; tapi tak ada air mata menetes.
Tiba-tiba matanya kembali menatapke atas dan ia menegakkan badannya. Tangannya mengembang. Matanya berpindah memandang ke depan.
"Anakku... Anakkuuuu... Anakkuuuuu.. Itu anakkuuuuu..," tangannya seolah-olah menyambut seseorang dalam pelukannya. Ia menggapai-gapai dengan kuat. Kerabatnya memeluk, mendekap tangannya dan menutupkan matanya.
Selama disana, berkali-kali sang Ibu demikian. Dan berkali-kali pula saya melihat bagaimana tangannya mengembang, menyambut seseorang dalam pelukannya. Menggapai-gapai dengan penuh perasaan. Lalu luruh dalam ketakberdayaannya. Semua dengan mata kosong.
Saya merinding. Tak tahan air mata menetes.
Kematian putri semata wayangnya yang cepat, tentu menyisakan rongga kehilangan besar dalam hatinya . Sang putri yang dilepasnya ke sekolah dengan kasih sayang, pulang dalam keadaan tak bernyawa. Tak akan kembali lagi.
Semoga Allah limpahkan kesabaran dan mengokohkan kesabaran itu dalam hatimu, Ibu.
Beserta kesedihanmu, Allah akan sediakan penawar dan kekuatan.
Semoga putri Ibu dilapangkan kuburnya dan diampuni semua kesalahannya
Tidak ada komentar: