NGOPI TUMPAH 1

Sabtu, September 10, 2016



30 Agustus 2016, saya mendapat informasi bahwa ada yang akan mengundang saya ke acara bedah buku di Tambak Beras, salah satu pesantren besar di Jombang.
Saya mengiyakan, dan yang bersangkutan akan menemui saya, mengantar suratnya. Saya meminta mereka mengantar surat ke perpustakaan sekolah, Sabtu, 3 September.

Sabtu pagi itu, ada dua gadis cantik yang berjalan ke arah perpus. Santun dan lembut, khas santriwati.

Gaya mereka menghadapi saya seolah sudah mengenal baik.

"Saya dulu ikut acara Ibu, Seminar  Kang Abiek," kata Risyalah, salah satu dari mereka. Oh, ya. Itu acara besar yang menghadirkan Kang Habiburrahman El Shirazy.

"Ini surat undangannya," mereka menyodorkan amplop panjang berwarna  putih.


Saya menerimanya, sambil bertanya," Baik, insyaaAllah hadir. Siapa saja pembicaranya?"

"Panjenengan, lalu Gus Taqiyudin, dan satu dari Jogja," katanya.

What? Jadi pembicara? Saya tertawa kecil, terkejut. Saya kira hanya diminta hadir saja.

"Ini bukunya, bu," katanya.



Buku antologi cerita pendek. Penulisnya, Risyalah Dewandini, adalah santri yang tengah kuliah di Universitas Wahab Hasbullah, di Tambak Beras juga.

Hm, menarik ini. Masuk dunia pesantren tradisional, bagi saya kesempatan baik dan langka. Ada nuansa-nuansa unik yang seringkali membuat saya ter'wow-wow' begitu.
Sering saya temui, pesantren-pesantren memiliki banyak penulis-penulis muda potensial. Entah kenapa. Mungkin, karena mereka punya budaya memuliakan ilmu sekaligus memuliakan guru. 

Maka, berangkatlah saya, diantar Mas Budi pada Jumat, 9 September 2016.
Kami sama-sama belum tahu dimana tempatnya. Masuk gerbang kompleks  Pesantren Tambak Beras, kami berhenti. Saya menelepon mbak Risyalah, menanyakan lokasi aula, tempat bedah buku diselenggarakan.

"Lurus saja, Bu. Nanti di perempatan, sebelah kiri jalan ada gedung. Acara di lantai dua," katanya.

Baiklah. Kami meluncur ke sana. Di dekat gedung yayasan itu, banyak lalu lalang orang. Beberapa kendaraan parkir. Sebagiannya berplat nomor luar kota. Sepertinya hari libur begini, banyak wali murid berkunjung.

Nah, yang ini menarik perhatian saya.
Ada lima santri, kalau tidak salah, yang berdiri di dekat gedung yayasan. Mereka memegang mushaf, al quran kecil, dan mengaji sambil berdiri. Memakai sarung, kopyah dan baju koko putih.

Wah, rajin sekali, batin saya dalam hati. Begitu cintanya pada Al Quran, mereka  sampai mengaji sambil berdiri di tengah lalu lalang orang. Sayang, saya lupa tidak mengambil gambarnya.

Setelah bertanya kesana kemari, saya naik ke lantai dua. Disambut oleh beberapa santriwati yang bersegera mencium tangan saya.

"Bu Umi Kulsum, Ketua Forum Lingkar Pena, ya?" seorang laki-laki muda menyapa, sambil membungkuk takzim. Ia, sama seperti lainnya, berkopyah, baju koko, dan bersarung kotak-kotak (perasaan semua sarung kotak-kotak ya; belum pernah ada yang bermotif polkadot..hehe).

Saya menunggu, duduk di deret kedua  kursi peserta. Satu persatu santri berkumpul, melingkar dekat saya. Mereka duduk bersimpuh di lantai.

"Sini, duduk sini," saya menunjuk kursi sebelah saya.

"Disini saja, Bu," kata mereka, sambil tersenyum malu-malu.

Oh ya, saya lupa bahwa pesantren punya kultur khas. Jika di sekolah negeri atau umum, siswa bisa  duduk  sejajar dengan guru. Di sini, mungkin siswa tidak demikian. Seperti sekarang, mereka memilih bersimpuh di sekeliling saya, sebagai bentuk sikap  memuliakan.

Kami berdiskusi panjang lebar, diselingi tawa. Mereka banyak bertanya tentang menulis.Curhat juga, tentang ketidakpedean untuk mempublish tulisannya, tentang kesulitan menuangkan ide. Lalu cerita mengalir pada keggiatan-kegiatan mereka di pesantren.

"Jika libur seperti ini, kalian boleh pergi jalan-jalan?" tanya saya.

"Boleh, Bu, sekitar sini saja," jawab salah satu dari santri itu.

"Gak boleh jauh-jauh?"

"Gak boleh, Bu. Hanya sekitar sini saja."

"Bagaimana kalau ada yang jalan-jalan sampai kota Jombang?" saya jadi kepo.

"Ketahuan bu, kan ada santri yang disebar," katanya.

Ooh, ada mata-matanya. Jadi petugas mata-mata begitu, seru kali yak!

"Jadi mata-matanya sampe ke pusat Jombang sana?"

Mereka mengangguk. Wah, asyik, nih. Suatu waktu ingin mewawancarai para spy itu. Mereka pakai sarung, kopyah, koko  juga kah?

"Kalau ketahuan, apa hukumannya?" Saya kemal, kepo maksimal.

"Ngaji sepuluh jam, di luar," mereka menjawab sambil tertawa.

"Baca Qur'an sepuluh jam? Dimana?"

"Di depan asramanya, berdiri. Hehehe," mereka terkekeh.

 "Bacanya diangsur, Bu. Setiap pekan dua jam," salah satu menambahkan. Wah, keren juga. Dua jam, bisa dapat tiga juz, minimal. Kalau membaca dengan cepat, bisa empat juz. 

Eh, sebentar,  jadi yang lima cowok ganteng berdiri sambil membaca Al Quran tadi, adalah santri mbeling yang kena hukuman?
Ahaha. Tambah nyesel gak ambil gambar mereka tadi.


BERSAMBUNG


Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.