NGOPI TUMPAH 2: TIGA HAL YANG MEMBEDAKAN

Sabtu, September 10, 2016





Episode dua, nih!

Oh ya, ada yeng terlewat diceritakan di Ngopi Tumpah 1 ( http://www.ibuguruumi.com/2016/09/ngopi-tumpah-1.html).

Pak Andhi Setyo Wibowo, suami dari sahabat saya di sekolah, ingin menghadiri acara ini. Kami bertemu di gerbang. Bertiga bersama Mas Budi, kami menuju aula. Mas Budi tidak ikut masuk, langsung pulang setelah saya naik ke lantai dua.
Ketika disambut panitia, saya sampaikan bahwa ada  yang juga ikut acara ini.

"Namanya Pak Andhi, beliau pegiat sastra dan teater. Punya cafe yang sering menjadi tempat diskusi sastra. Beliau ada di bawah," kata saya.

Santri tersebut menganggukkan kepala dan bergegas ke bawah, mungkin bermaksud menjemput.
Tiba-tiba terbesit pikiran, jangan-jangan nanti Pak Andhi dikira suami saya. 

Ketika menunggu, masuk pesan di wa.
"Tadi ada santri yang nanya,  suaminya bu Umi Kulsum, ya, Pak," itu wa pak Andhi. Nah, bener kan!

Acara dimulai pukul sembilan pagi.

MCnya keren. Gaya membawakannya khas pesantren, diksinya bagus. Saya sering mendampingi siswa ikut lomba pidato bahasa Inggris, dan bertemu siswa madrasah aliyah yang tinggal di pondok. Mereka punya kelebihan banyak: percaya diri, orasinya mantap, dan gayanya oke.

mcnya, pelajar kelas XI



Hanya ada satu sambutan, yaitu dari Lurah Ngopi Tumpah. Saya iseng berpikir : ada lurah, ada cariknya tidak, ya? Pak RT, Pak RW? Kalau dilihat dari penampilannya, saya kok yakin Pak Lurah satu ini belum punya Bu :Lurah. Eh, gagal fokus.

Setelah acara, saya sempat tanya pada Pak Lurah, Mas Wildan Habibie, asal usul komunitas  ini. Bermula dari kumpul-kumpul ngopi, perbincangan ngalor-ngidul, kemudian dibuatlah nama komunitas  ini. Kegiatannya beragam, mulai dari belajar  fotografi, bedah buku, hingga belajar membatik. Wow, bagus nih. Jadi, imej bahwa dalam pesantren melulu belajar kitab kuning, harus ditepis.
Pak Lurah Ngopi Tumpah, Mas Wildan Habibie




Tuntas pembukaan, acara diserahkan pada moderator. Moderatornya gadis cantik, kelas XII juga. MasyaaAllah, cair sekali gaya dia membawakan acara. Lucu, riang, dan bikin saya senyum-senyum geli. Khas santriwati : pede, lantang suara, dan diksinya itu loh. Saya jadi teringat pengalaman saya melatih siswi saya jadi mc. Susah membuat mereka pede, bisa bergaya lepas. Kondisi lingkungan dan kebiasaan memang sangat mempengaruhi kemampuan public speaking siswa, ternyata. Secara di pondok, berpidato sudah menjadi makanan sehari-hari.

moderator energik


Naaah, tiba saat acara inti.
Bergantian kami memaparkan hasil bedah buku kami. Saya banyak mengulik persoalan editing, sudut pandang cerita yang membingungkan, alur dan penokohan.
Overall, untuk pemula, buku ini cukup bagus. Bisa menjadi pemantik semangat bagi santri pondok Tambak Beras untuk mulai menulis. Apalagi mereka punya banyak peluang ide, karena kejadian di pondok pasti banyak aneh dan lucunya. Mereka juga punya banyak kesempatan bertemu santri dari propinsi, bahkan negara lain. Itu peluang emas untuk bahan penokohan dalam tulisan.

Mas Adlan, pegiat sastra, menyoal editing juga. Beliau kebetulan juga editor. Ketidaktelitian editing yang berulang muncul dalam buku, cukup mengganggu. Beliau juga menyoal pesan-pesan verbal yang  muncul dibeberapa cerpen buku itu. Petuah-petuah yang makbedunduk muncul tanpa alur yang logis, membuat seolah-olah pesan itu dipaksakan ada. Kurang natural, tidak smooth.

Mas Adlan



Gus Taqiudin, sebenarnya menjadi pembedah kedua setelah saya.
Tapi ada catatan menarik yang membuat saya menyimpannya di bagian akhir tulisan saya ini. Diantara pemaparan beliau yang gayeng dan mengalir serta kocak, saya paling suka dengan bagian tersebut.

Gus Taqiudin

Beliau menyatakan, ada tiga hal yang akan membedakan kita dengan orang lain. Membedakan kualitas, tentunya.
Pertama, apa yang dibaca. Jenis bacaan, kuantitas waktu dan kuantitas bacaan, kualitas bacaan, akan membuat kita berbeda dengan orang lain. Nah, apa  saja yang sudah kau baca?

Kedua, apa yang dikerjakan. Apa yang sudah dikerjakan? Menggosip? Menonton televisi? Menulis? Apa yang dikerjakan, sebagiannya akan menjadi kebiasaan dan tabiat. 

Ketiga, siapa temanmu. Ini sejalan dengan apa yang disampaikan Abu Bakar ra; jika ingin tahu kualitas seseorang, lihat dengan siapa ia berteman.

Tiga hal yang membedakan, makjleb banget.

Alhamdulillah, bersyukur diberi kesempatan bertemu Gus Taqiudin. Ilmu bertambah.

Menjadi narasumber bedah buku di Tambak Beras itu, sesuatuh sekalih. Saya tidak hanya bisa  menyebar sedikit  ilmu yang saya punya , tapi dapat feedback  ilmu lain yang lebih  dalam!


                                                                                                                                                                                                         

4 komentar:

  1. Mungkin sesekali bedah artikel ataupun bedah blog kali ya bu, hehehe....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, iya. Ide bagus... Bedah artikel yang ditulis tokoh nasional, dan diskusikan bersama.
      Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan jejak, Mas Afif..

      Hapus
  2. Ikut jleb banget dengan tiga hal yang membedakan. :) Iya, mbak. Anak pondok itu dalam public speaking kebanyakan oke-oke. Ya, walau ada juga yang nggak fasih ngomong sih. Dulu saya juga anak pondok, lebih tepatnya anak asrama sih. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Asrama mana, Mba? Biasanya cerita dari asrama juga lucu-lucu... hehehe.
      Salam kenal, terima kasih sudah mampir...

      Hapus

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.