LOVE YOU, MAUL!
Maul menyanyi dalam hajatan pernikahan tetangga. Lagu yang dinyanyikannya lagu-lagu relijius. |
Suatu siang, saya hendak berbelanja di warung yang ada di gang kompleks. Bertemu
dengan Maul, usia sekitar delapan tahun, tetangga berjarak dua rumah sebelah timur. Dia berbelanja cabe dan empon-empon (seingat saya). Siang itu, terik sekali. Saya tahu, dia pasti berjalan kaki. Tidak jauh sih, tidak sampai lima ratus meter.
"Ayo, bareng!" ajak saya. Dia naik
ke boncengan.
"Disuruh belanja sama
siapa?" saya bertanya.
"Ibu," katanya. Namanya Ibunya
adalah Bu Mimik. Putera puterinya ada tiga orang. Berdua suami isteri
sama-sama tuna netra. Ketiga putera puterinya manis-manis. Penurut. Sholih.
Pintar.
Saya suka terharu jika
mereka lewat di depan rumah. Anak-anaknya menggandeng ibunya. Apalagi jika
mereka beriringan menuju masjid. MasyaaAllah, pemandangan indah.
Maul bukanlah anak Bu
Mimik. Menurut cerita Bu Mimik, dulu Maul mengamen di terminal Bungurasih.
Sebab kasihan, Bu Mimik membawanya ke Jombang. Jadilah dia anak asuh Bu Mimik.
Disekolahkan dan dididik sebagaimana lazimnya anak sendiri.
“Berhenti Bunda,”
tiba-tiba Maul berkata.
“Belum sampai!”
“Sudah, jangan sampai
depan rumah. Berhenti depan rumah Bunda saja,” pintanya.
“Gak papa, Bunda antar
sampe depan rumah,” saya bersikeras.
“Jangan!”
Saya berpikir.
Siang-siang begini, panas sekali, dia harus berjalan sendiri dari rumahnya
menuju warung. Maul tidak sepenuhnya buta, masih tampak samar-samar, kata Bu Mimik.
“Kamu tidak boleh
diantar, ya? Harus jalan sendiri?” tanya saya.
“Iya,” katanya.
Wah, tawaran saya
mengantarnya bisa jadi mencederai tujuan Bu Mimik memberinya tugas. Sedikit
menyesal, jadinya.
“Terima kasih, Bunda,”
dia melompat dari boncengan, mencium tangan saya dan pergi. Melipir tepi jalan,
dengan kepala yang tengadah, seperti sedang mengintip jalan di depannya.
Maul aktif mengikuti
kegiatan kompleks. Bulan Agustus, ketika diadakan lomba untuk anak-anak di
depan rumah, dia memaksa ikut. Lomba makan kerupuk, lomba memukul plastik air.
Tentu saja dia tidak menang. Makan kerupuk, dia kesulitan meraih kerupuk. Lomba
memukul air, dia nyasar kesana kemari. Kadang perlu ditangkap agar tidak
memukul penonton di sekitar. Penonton tentu saja tergelak-gelak meliha tingkahnya. Semangatnya luar biasa dan sama sekali tidak
minder.
Waktu lainnya, saya ke
alun-alun. Ada lomba bagi orang-orang difabel. Banyak jenis lomba yang diadakan. Ketika
tengah berkeliling melihat-lihat, tiba-tiba terdengar suara dari panggung. Ada
lomba menyanyi, dan seseorang sedang tampil.
“Itu suara Maul,” tebak
saya.
“Kok tahu?” anak-anak
bertanya.
“Bunda hafal,” jawab
saya.
Dan benar. Suara
beningnya melengking, dengan nada yang enak didengar. Maul juara satu. Keren!
Menjelang Maghrib dan
Isya, dia akan melintas sendirian di depan rumah, menuju mushalla. Suara
adzannya terdengar sesekali.
Sekali waktu, saya
melihatnya menarik-narik gerobak sampah yang kosong kesana kemari sambil
tertawa.
“Sedang apa, Maul?”
“Hehehe..main, Bunda!”
jawabnya riang. Seperti biasa, dia tengadah, seolah-olah sedang berusaha
mengintip jalanan di depannya.
Maul, hampir tuna netra. Mandiri,
rajin ke masjid. Riang dan percaya diri. Saya senang melihatnya melintas di
depan rumah, dengan sarung dan pecinya.
Ketika menjadi saya menjadi pembawa
acara dalam maulid nabi kompleks, Maul duduk paling depan. Dia menjawab salam
dan membaca shalawat dengan suara
khasnya: lantang dan bening.
Love you, Maul. Muah.
Tidak ada komentar: