MUNGKIN DIA LELAH (Bagian 2)

Jumat, Januari 06, 2017
Lanjut, yuk. Lanjutan dari cerita ini, niiih. 
                Acara macet dan stuck di depan jalan masuk menuju pantai Remen usai sudah. Kami melaaju dengan kecepatan biasa saja, menuju kota Tuban kembali. Ke arah jalan besar. Dari arah berlawanan, padat sekali dengan sepeda motor dan mobil. Pasti menuju pantai remen pula.
                “Aduh, Pak, balik saja deh, gak akan bisa masuk,” gumam Mas Budi.
                “Bilangin, Yah. Kasihan,” usul saya. Usul ngaco, pasti. Buat apa pula kasih tahu satu-satu pada mereka bahwa di sana mereka tidak akan bisa memasuki pantainya. Iya kalau percaya. Kalau nggak?

      
begini salah satu suasana titik 'hampir' macet menuju pantai Remen


                “Kasih tulisan saja di kaca mobil, ‘Pantai Remen macet’. Biar mereka baca,” kata anak-anak. Wahaha. Usul yang cerdas. Tapi kurang kerjaan juga jika lakukan itu.
                Di sebelah kiri kami, banyak sepeda motor beriringan. Ada yang bawa anak kecil, ada yang berpasangan. Sebagian besar remaja atau ibu-ibu muda.
                Sebuah mobil di depan, berwarna putih, tiba-tiba seperti hendak menepi. Lalu tiba-tiba menuju tengah, tiba-tiba pula berhenti.
                Mas Budi melambatkan mobil, dan otomatis ikut berhenti.  Bapak pengemudi mobil putih membuka pintu mobilnya dengan kasar. Dibiarkan terbuka, tanpa menutupnya kembali. Ia berjalan ke arah kami, menuding-nuding.
                Matanya melotot. Kulit mukanya merah padam. Kalau dalam kartun-kartun, mungkin bisa dilukiskan begini: kepalanya bertanduk, mulutnya bertaring, dan dari telinganya keluar asap. Eh, eta mah banteng ngamuk, nya’!
                Pakai undang-undang pokok aja lah: pokonya dia kelihatan marah besar.
                “Ja****!! Siapa bilang ta*-ta* tadi! Hah? Ja****!!” Suaranya keras, tangannya menuding tegas. Langkahnya bergegas-gegas.
                Saya bengong. Mas Budi bengong. Suara anak-anak di mobil yang tadi riuh, tiba-tiba lenyap.
                “Ja****!!! Apa maksudnya bilang ta*?” Dia kembali berteriak-teriak.
                Eh, tau apa yang saya samarkan dengan tanda bintang itu, kan? Ja**** itu umpatan kasar bahasa jawa, serupa dengan f***  in english. Lha, tahu kan? Kalau ta*, itu umpatan sejenis yang sering dilontarkan salah satu pemimpin ibu kota. Naaah, paham kan?
                Dia masih berteriak-teriak gak jelas. Mobilnya melintang dengan cantik di tengah jalan. Sepeda motor dari depan lewat pelan-pelan, melipir di tepi. Mereka memandangi si bapak yang masih gegap gempita mengumpat. Sebagian wajah tampak menatap dengan pandangan merendahkan. Mungkin risih melihat gayanya yang petantang petenteng begitu.
                Seorang laki-laki lain, muncul dari sisi kiri mobil putih itu. Dia berjalan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Tersenyum kecil.
                “Eh, mas, mas... Kepinggirkan dulu mobilnya, kami mau lewat!” kata saya. Pengennya cepat-cepat kabur dari situ. Malas lihat kekisruhan geje  begini.  Si masnya istiqomah berjalan mendekati si bapak yang masih semangat empat lima mengumpat. Menyeretnya pelan-pelan, menuju mobil kembali.\
                Si bapak manut, sembari mengomel panjang pendek. Mantra sakti ala jan*** masih saja berhamburan. Dan kami, masih memandangi dengan takjub. Takjub dengan kefasihannya melontarkan sumpah serapah di depan orang banyak.
              Dia masuk ke mobilnya, menutup pintu mobil dengan cara membantingnya. Keras-keras. 
                Mobil itu melaju lagi. Kami menarik nafas lega. Saya menoleh pada anak-anak.
                “Mungkin dia lelah,” kata saya. Tawa meledak. Anak-anak terkekeh.
                “Mungkin dia lapar,” timpal saya lagi. Kembali kami tergelak-gelak.
                “Kalau lapar, kamu resek,” kata Mas Budi. Semakin terbahak-bahak semuanya.
                “Anggap saja hiburan, ya. Setelah capek dan bete terjebak macet, dapat tontonan gratis orang marah-marah,” kata saya.
                Hiburan, sekaligus pelajaran. Ngamuk-ngamuk di depan umum dengan sumpah serapah itu nggak banget. Norak. Ndeso. Gak bermartabat.
                Jangan ditiru, dengan alasan apapun.
                Lalu, kami kemana? Ke pantai lah. Pantai lainnya, di tepi jalan besar. Mas Budi menyebutnya pantai Cemara.
             Ngapain? Najma, mba Ica (keponakan), Zahra dan Hafidz main di pantai. Saya? Berebut bekal dengan Nabila. 

Nabila : "Manaaa, aku minta!"
Saya : "Hihihihihi..."





Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.