ANAK-ANAK ITU

Jumat, Januari 06, 2017
   
anak-anak dan ayah membaca kisah Nabi Musa


     Suatu  sore, saya berdua saja dengan Nabila. Kami menonton film, film kartun. Hehehe. Untuk satu ini, selera kami sama. Tapi lain-lain judul, suka gak nyambung.

      Lalu, tiba-tiba saya ingat sesuatu. Bukan sesuatu, tepatnya. Tapi beberapa orang murid saya sekian belas tahun lalu.
Saya  mengajar mereka ketika masih kelas satu, dua dan tiga sekolah dasar. Sekarang sebagian besar mereka sudah kuliah. Ada juga yang sudah menikah.

     Sebagian saya ketahui sekilas pemikiran-pemikirannya melalui media sosial. Satu orang, laki-laki, sempat terlibat diskusi mengenai dinamika dakwah. Saya cukup terkejut mendapatinya begitu sinis dan nyinyir terhadap dakwah. Setelah berdiskusi panjang lebar, saya menyadari bahwa dia punya pemikiran yang berseberangan tentang bagaimana mengaplikasikan pemahaman agama dalam kehidupan sehari-hari. Bagi saya, dia sudah terkontaminasi oleh liberalisme. Mengagungkan akalnya, mempertanyakan nash-nash. Dan baginya, mungkin saya radikal, jumud. Ah.

    Dulu, ketika SD, tiga tahun membersamai, tak kurang-kurang kami memberinya pemahaman tentang izzah, kebanggaan pada agamanya. Enam tahun dia bersekolah di lingkungan yang saya kenali sebagian besar pemahaman guru-gurunya. Selanjutnya SMP, SMA, bahkan kuliah, dia sudah mendapatkan jalannya sendiri. Dan bertemu dengannya, berhadapan dengan pemikirannya yang demikian, saya sedih. Ia sudah memilih jalannya sendiri.
 
   Seorang gadis kecil, cantik, cerdas. Ibunya single parent. Dia dititipkan ke sekolah islam kami  oleh pamannya yang, setahu saya, punya pemahaman agama yang kuat. Gadis kecil itu berjilbab rapi, pemalu. Menginjak SMP, SMA, kuliah, sosoknya berubah. Jilbabnya semakin melonggar. Terakhir, dia ngotot menikah dengan laki-laki yang berbeda agama. Tentu saja ditentang habis-habisan oleh keluarga besarnya. Laki-laki itu masuk Islam menjelang menikah. Walau demikian, pernikahan mereka tetap tidak direstui. Saya termangu mendengar cerita tersebut. Sosoknya terasa asing ketika bertemu. Ia sudah memilih jalannya sendiri.

    Seorang gadis kecil lainnya, sekelas dengan gadis cantik cerdas itu. Yang ini, lugu, tidak memahami bahasa Indonesia. Ketika kelas satu, dia seringkali tidak memahami maksud pertanyaan soal. Kami perlu menterjemahkannya dalam bahasa Jawa. Masalah sholatnya, luar biasa. Dia pernah menangis (kelas satu SD!) ketika bepergian naik bis umum, sebab merasa akan ketinggalan waktu shalat. Beberapa bulan lalu, saya bertemu ayahnya. Dia sekarang berjilbab rapi, aktif dalam kegiatan keagamaan di kampus perguruan tinggi ternama di Jawa Timur. Jika pulang ke rumah, dia akan berkegiatan di masjid dekat rumahnya. Belum pernah bertemu langsung, namun hati saya terasa dekat dengannya. Dia sudah memilih jalannya sendiri.

       Menonton film berdua dengan Nabila, yang sudah menginjak remaja, tiba-tiba terbesit keingintahuan. Kemana jalan hidupnya nanti? Sebagai orang tuanya, kami berharap dia tidak akan memilih jalan berseberangan dengan kami, dalam hal pemahaman agama. Saya tak mau dia akan ikut mempertanyakan kebenaran nash agamanya, dalam paham yang sekarang sangat kami hindari. Kami berharap dia menyangkutkan jiwa dan hatinya pada dakwah, pada pusaran amalan kebajikan dan kontribusi. Bukan pada diskusi-diskusi nyinyir yang menjatuhkannya pada olok-olok terhadap agamanya sendiri.

    Kami sungguh berharap ia punya izzah. Mengenali sirah nabawinya. Memahami ayat-ayatNya dengan nash yang jelas dan tidak melenceng.

  Banyak jebakan-jebakan pemikiran yang sekarang simpang siur.

  "Jika di kampus nanti, hati-hati memilih teman," nasihat saya. Itu baru satu hal. Kami lalu berbicara topik ciri-ciri  teman dan kelompok orang yang harus dihindari, dan lain-lain.

  Itu baru permulaan. Pada prosesnya nanti, perlahan-lahan dia akan mendapatkan alasan-alasan lain secara langsung. Tugas kami hanya menjaga tracknya, agar dia tidak melenceng.

                                              


  Anak-anak itu, serupa anak panah. Kita orang tuanya wajib mengarahkannya pada titik yang tepat dan benar. Selebihnya, kuasa dan pertolongan Allah yang akan menjaganya.

  Maka, tak pernah henti saya melantunkan doa ini ketika akan berpisah dari anak-anak, entah menuju sekolah atau aktivitas lainnya:
'Zawadakallahu taqwa, waghafara dzanbaka, wayassara laka haitsu maa kunta'. (Semoga Allah menambah ketaqwaanmu, mengampuni kesalahanmu, dan memudahkan urusanmu dimanapun kau berada). 
Beserta doa ini : 'I'udzubikalimatillahit taammatu min syarri maa kholaq' (Semoga Allah melindungimu dari kejahatan para mahlukNya)

   Allah  subhanahu wata'ala saja sebaik-baik pelindung.
   

   


Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.