MUNGKIN DIA LELAH (Bagian 1)

Jumat, Januari 06, 2017
          
Akhirnya, nyasar pantai lain



        Dua kali sudah, rencana bepergian bersama keluarga teman mas Budi batal. Dan ini bikin anak-anak kecewa. Akhirnya, kembali pada plan awal: kami pergi sendiri.
                Jadi begini. Semula, kami akan piknik ke pantai, menjelang akhir Desember, tanggal 18. Tiba-tiba, terdengar kabar, teman-teman Mas Budi juga akan piknik. Bareng-bareng, dengan keluarga masing-masing. Baiklah. Ketemu tanggal 24 Desember.
                Ternyata, batal. Diundur tanggal 2 Januari 2017. Okelah. Kami manut, menunggu tanggal tersebut. Tanggal 30 Desember, ada kabar bahwa tanggal 2 januari juga batal.
                “Yaaa. Batal lagi! Gak bisa!” Anak-anak protes. Dua kali di-php, mana enak? Mereka, didukung saya, tentunya, mendesak Ayah Budi untuk tetap piknik.
                Nah, oleh sebab ternyata tanggal 2 Januari (mendadak juga) saya sudah masuk, maka, disepakati acara piknik dimajukan ke tanggal 01 Januari. Tujuan adalah pantai Remen, Tuban.
                Ternyata, itu keputusan yang mendatangkan kejadian lucu.
                Mari kita mulai dari kejadian pertama.
                Pantai Remen terletak di desa Remen, Kecamatan Jenu, Tuban. Menuju ke sana, kami harus melewati jalan-jalan desa. Sekian kilometer menjelang desa Remen, jalanan sudah padat. Mobil dan motor berjajar. Apalagi kami tiba di sana siang hari.
                Setelah shalat dhuhur di masjid Al Mubarok, kami bergegas menuju pantai. Kendaraan melintas-lintas depan masjid, tak habis-habis.
                “Rame nih, bisa masuk tidak?” Mas Budi bergumam. Saya juga cemas, diam-diam khawatir. Bagaimana kalau gagal?
                Dan... kekhawatiran itu terbukti.
                Mulut jalan menuju pantai Remen ditutup. Saya lihat, kendaraan berjajar, nyaris tak bergerak. Mobil kami diarahkan lurus, tidak dijinkan masuk jalan. Kami lurus saja, berharap ada jalan tembus lain menuju pantai.
                Dan...tak ada jalan itu! Banyak mobil-mobil senasib, parkir di tepi jalan. Wajah-wajah kusut, lelah.
                “Ayo, makan siang dulu. Ayah tak cari info, barangkali bisa lewat jalan lain ke pantai,” ajak Mas Budi.
                Anak-anak manyun. Mereka sudah sangat berharap bisa segera melihat dan bermain di pantai. Mangkok bekal diturunkan. Rendang daging sapi, mujair goreng, nugget goreng, sayur asem. Mengampar karpet di atas rumput tepi jalan, piknik dimulai. Buah pir, kelengkeng, nyempil. Tapi tidak dipedulikan.
                “Gak ada jalan masuk lain, satu-satunya jalan masuk ya hanya yang tadi,” Mas Budi tiba dari cari-cari berita.
                Info tadi membuat anak-anak tambah manyun.
                “Kita coba ya, kalau gak bisa, ke pantai lainnya,” hiburan terakhir ini, tetap tidak bisa menipiskan ketebalan manyun anak-anak.
                Jadi, dengan gagah berani, Mas Budi mengarahkan mobil kami ke jalan semula, menuju timur. Bekalnya ditinggalkan? Nggaklah, diringkesi, tentu. Bagian itu dipotong, supaya gak lama-lama ceritanya. Ngetiknya juga pegel, tahu!
                Ternyataaaa... Antrian semakin panjang. Tentu saja mobil kami tidak bisa belok ke arah pantai. Dan malangnya lagi, sebab dari arah berlawanan masih saja berdatangan mobil dan motor, jalan semakin padat.
                Jalan yang sempit, siang yang panas, suara mobil dan motor yang menderum. Klop. Gerah, capek, bete. Sebuah mobil katana diparkir begitu saja di tepi jalan. Menghalangi kendaraan dari belakangnya. Pemiliknya, sepasang suami isteri yang sudah cukup tua, leyeh-leyeh dengan santai di depan rumah penduduk.
                “Bu, mobilnya pindahkan dulu. Tidak bisa lewat,” seorang pengemudi turun dari mobilnya dan menegur dengan sopan.
                “Wahahaha. Iya, nanti saja,” si Ibu dengan cueknya menjawab. Hadeeeeh. Kira-kira dong Bu, kalau parkir. Si ibu, kipas-kipas dengan santai. Dia melihat-lihat sekeliling sambil tertawa. Ih, menyebalkan.
                Nah, sepeda motor mulai berdesak-desakan di depan. Mobil kami terjebak di jalanan sempit. Tidak bisa mundur, sebab dibelakang sudah banyak kendaraan lain. Tidak bisa maju, sebab jalan di depan terhalang mobil dari arah berlawanan yang berjajar dua.
                Kami menuju timur, hendak keluar. Mobil dan motor yang hendak masuk ke arah barat.
                Mulai deh kerempongan itu. Sepeda motor di belakang mengklakson keras-keras menyuruh kami maju. Maju kemana? Kagak bisaaaaa. Sementara, sepeda motor dari depan semakin merajalela. Khas Indonesia. Khas sekali: the rule is: no rule. Mereka merangsek saja. Selokan sebelah mobil kami, tidak menghalangi mereka untuk usaha.
 Ada emak-emak dan anak gadisnya, yang sok jagoan. Ikut maju dan menuntun motornya. Ketika melihat selokan itu, dia nyengir dan mandeg. Gak jadi. Sebab dia berhenti, maka kemacetan lajur baru tercipta. Halah Mak, sing sabar po’o.
                Halaman rumah di tepi, dijadikan jalan. Dan ketika arus sepeda motor dari dua arah sama-sama memaksa maju melewati halaman itu, mereka stuck. Wis, kapok. Gak bisa kemana-mana sekarang. Salahmu dewe!      
                “Orang Indonesia memang susah diatur,” gumam mas Budi. Saya sepakat. Lihatlah. Sebab masing-masing tak sabar, jalan yang harusnya hanya muat untuk dua jalur, jadi tiga jalur.  Dua jalur ke barat, satu jalur ke timur. Dan ketiganya tidak bisa kemana-mana.
                “Kalau gini terus, kita gak bisa maju-maju. Itu, mobil elf di depan, harus diberhentikan dulu, supaya dari arah kita (barat, red) bisa gerak,” kata saya. Mas Budi setuju.
                “Bunda turun ya? Bunda aturin, ya?” kata saya. Mas Budi setuju, sambil tertawa geli. Maka, turunlah saya.
                Saya, emak-emak kecil, bersandal jepit hijau norak, berjalan di tengah kendaraan yang macet, menuju elf dan mengetuk jendelanya. Kacanya terbuka.
                “Bapak, maaf, mohon jangan maju dulu, nggeh. Supaya mobil dari sana bisa bergerak, biar gak macet lagi,” kata saya. Sopirnya bengong sejenak melihat saya. Lalu mengangguk.
                So, jadilah saya tukang atur mobil dadakan. Motor dari arah timur saya atur supaya tidak mengambil jalur berlawanan. Mobil-mobil juga menepi pelan, memberi ruang jalur dari barat. Entah bagaimana, mereka manut sama emak-emak ini. Sedikit-demi sedikit, mobil kami bisa bergerak. Dan..alhamdulillah, kemacetan di titik itu terurai.
                “Bunda bakat juga jadi tukang parkir!” Mas Budi tergelak-gelak.
                “Kok gak difoto sih?” kata saya.
                 “Mana kepikir! Ribet begitu!” kata Mas Budi. Wahaha.
                Langka loh, emak-emak berdiri di tengah jalan, dan sukses mengurai kemacetan. Apakah keseruan selesai? Oh, tidak. Tunggu episode berikutnya. 
                Bersambung, yak, ke sini

Abaikan pose mesra kami, dan Nabila yang nyenyak tidurnya. Fokus pada sandal jepit hijauku itu, ya! Mau pamer sandal bersejarah saja. Wahaha. 

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.