MACET-MACET

Rabu, Maret 02, 2016


              Satu waktu, saya  mendengar suara tangis dari kamar. Sendu sekali, terisak-isak sepenuh hati. Saya mendekati kamar.

             Dari pintu, tampak Najma tertelungkup di atas bantal. Bahunya berguncang-guncang. Di dekatnya, duduk Hafidz, memandangi dalam diam.
            Wajah Hafidz serius. Saya menyimpulkan, mereka bermain dan bercanda kelewatan. Lalu, mungkin Najma kena pukulan. Hafidz memang suka beraksi bak pendekar, tendang sana sini dan jumpalitan seenak udel.

"Najma kenapa?" Najma tidak menjawab. Suara tangisnya tambah banter.

"Kenapa, Kak?" Hafidz yang ditanya hanya menggeleng dengan wajah datar. Biasanya jika berwajah demikian, itu pertanda dia merasa bersalah.

"Hati-hati kalau bercanda, jangan kelewatan... Ayo, minta maaf," kata saya.

             Walah, Bundanya  sok tahu. Belum tahu apa masalahnya, suruh minta maaf segala. Kan mereka belum cerita apa-apa. Dengarkan dulu dong, jangan main vonis sembarangan!
             Eh, tapi biasanya memang gitu kok. Saya kan hafal gimana gaya anak-anak bercanda. Situ kan gak tahu banyak!
   Lho,  saya kok sewot sendiri gini, yak? Ngomong sama siapa, sih?

 "Ayo, berhenti nangisnya. Main lagi yang  bener," saya mengelus-elus punggung Najma.

Tiba-tiba Najma menegakkan badannya dan menoleh. Dia nyengir, wajah usilnya muncul.
"Laaaaa.... hahahahaha," Najma tergelak-gelak.

Hafidz juga begitu. Wajah datarnya berubah jail. Matanya berbinar-binar cerdik. Mereka terkikik melihat saya dan ayahnya bengong.

Saya dan Mas Budi meninggalkan arena dengan keqi. Tengsin. 

"Pintar sekali acting!" Mas Budi menggerutu.
"Tiru siapa?" batin saya, sambil nyengir  diam-diam.

Kemarin sore, sepulang sekolah, Zahra dan Hafidz bermain di ruang tengah. Ada Acil Tintin dan Paman Rofi' datang. Entah apa yang dimainkan mereka berdua. Tiba-tiba, Zahra menangis.

Saya tidak terlalu memperhatikan. Masih mondar-mandir, angkat ini bereskan itu.

"Kenapa?" saya bertanya sambil lalu.

Hafidz terpaku di depan Zahra. Wajahnya juga tampak bingung. Sesekali dia mengintip wajah Zahra yang tertelungkup di atas bantal.

Zahra menangis lagi. Suaranya lebih keras. Nangisnya tersendat-sendat.

"Lho, kalau nangis beneran, kok macet-macet?" Hafidz komentar dengan suara keras.

Kami terbahak bareng. Zahra mengagkat wajahnya, dan tertawa juga.

Gara-gara dikatakan macet-macet, aktingnya batal!

Kapan-kapan, coba menangis gaya macet-macet,  ya! Hehehehe.







1 komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.