PAHLAWAN BERTOPENG

Rabu, November 09, 2016
Rabu  lalu, tanggal 2 November 2016.

Berjalan menyusuri teras kelas menuju XI TOI 2. Melewati satu pintu kelas, saya terkejut.



Astaghfirullah.
Langkah saya tercekat. Sesosok laki-laki berdiri, berseragam batik. Pas ditengah pintu kelas. Pakai topeng putih. Dia menengok saya, saya menelisik wajahnya. Lubang matanya.
Teman-teman sekelasnya tertawa. Saya berhenti sejenak, dan senyum-senyum melihat pahlawan bertopeng itu.

Setelah menyimpan tas di kursi guru, saya keluar lagi. Kepingin ambil gambar pahlawan bertopeng dadakan, hihihi. Sebab ada bu guru di kelasnya, saya sungkan kalau memotretnya dari jarak dekat.

Semula si pahlawan tidak menyadari saya memotretnya. Begitu teman-temannya bersorak, dia balik kanan.
Saya melambaikan tangan padanya. Memintanya berpose. Eh, dia berpose beneran. Haha.
Penasarn jadinya, kenapa dia dihukum begitu. There must be a reason.

Jadi ingat kejadian saya sendiri.
Di satu kelas, ada satu anak yang butuh perhatian khusus. Awalnya, pekan pertama mengajar, satu anak laki-laki izin ke kamar mandi. Sampai bel berakhir dia tidak muncul.

Saya bertemu dengannya di tangga.

"Kok gak balik?" tanya saya.

"Malas, Bu,"katanya sambil menunduk.

What? Malas? Di jam saya? Haduuuuh, nyere hate, hik, hiks.

Saya mengajaknya duduk. Dia di sebelah saya. Kami mengobrol. Tepatnya, saya yang bertanya macam-macam. Tinggal dimana, sama siapa, naik apa ke sekolah. Dia satu desa sama suami saya, beda dusun.

Namanya, sebut saja,  Joko. Maaf ya, mas-mas yang punya nama Joko. Kalau kebetulan pemirsa punya teman bernama Joko, oJO KOndo-kondo kalau namanya saya pakai.
Ibu Joko kerja di Jakarta. Ayahnya sudah tidak ada. Dia tinggal bersama neneknya.

"Apa aktivitasmu sehari-hari di rumah?"

"Bantu-bantu mbah, Bu."

"Bantu apa?"

"Ya bantu-bantu," katanya sambil tertawa.

"Nyapu?"

"Nggak. Bu."

"Oooh, cuci piring?" Dia terkekeh.

"Ya bukan, Bu."

"Lha, apa? Cuci baju?" Dia tergelak lagi.

"Nyetrika? Masak?" Dia tambah tertawa.

Oh, lupa saya. Pekerjaan yang saya sebut itu mungkin bagi dia bukan pekerjaan laki-laki.

"Lalu, apa?"

"Ke sawah," katanya pelan.

Ah, kayaknya dia nggak pede menyebut ke sawah. Suami saya (menurut cerita) sejak SD sudah bantu-bantu ke sawah. Sampai SMA. Kenapa Joko  terkesan malu menyebut ke sawah? Lihat suamiku. Walau waktu kecil hingga remaja  rajin bantu-bantu ke sawah,  tetap ganteng kok. Tetap memesona saya. Harusnya Joko pede bersahabat dengan sawah. Siapa tahu dia seganteng suamiku.

"Jangan lagi kabur dari kelas saya. Kalau terjadi lagi, gak usah ikut sekalian sampai tahun ajaran baru, ya?" ancam saya. Sadis, bo. Saya bilang gitu  gak pakai acara mendelik-mendelik segala. Gak pakai tuding-tuding atau suara sedingin es. Tetap hangat, tapi tajam, setajam silet.

Joko memang  tidak pernah kabur lagi. Tapi ulahnya ada saja.

Seperti beberapa pekan lalu. Kelasnya dibagi kelompok, untuk presentasi. Disaat yang lain sibuk diskusi, kelompok Joko sibuk yang lain. Saya mendekati mereka. Sesuatu dilempar. Saya memungut sesuatu itu di bawah meja.
Kartu remi! Tahu, kan, kartu remi? Sejenis kartu fasol. kartu lasi.

Terkezutnya saya. Wah, ini sudah kelewatan.  Mereka ngelunjak. Okelah, kali ini ibu guru harus singsingkan lengan maju. Saya mengasah tanduk.   Lu jual, gua beli.

Saya tanya sisa kartu lainnya. Mereka pura-pura tidak tahu. Saling lempar tanggung jawab. Pada akhirnya, kartu dikeluarkan, dari laci meja dll.

Saya minta mereka bertiga maju. Yang dua berwajah takut-takut. Joko? Oh, tentu dia full smile.

"Ketiga temanmu bermain remi disaat harus kerjakan tugas. Ditambah lagi, mereka berusaha menipu saya. Hukuman yang pantas apa?" saya bertanya pada teman sekelasnya.

Ketika saya bicara, tak ada siswa sekelas yang berani berkomentar. Sepertinya mereka tahu saya marah besar.

"Lari keliling lapangan, Bu," salah satu siswa usul.
Saya menggeleng. Saya tidak suka hukuman macam itu. Ada beberapa usul yang mereka berikan, tapi saya tidak mau.

"Begini saja, sebeab kelakuan mereka yang melampaui batas, silakan saja mereka out dari kelas saya, tidak perlu ikut belajar bahasa Inggris," kata saya akhirnya. Ini hukuman yang kejam, sebetulnya.

"Jangan, Bu!" salah satu terhukum menyergah. Mukanya keruh, dia tampak menyesal sekaligus ketakutan.

Singkat kata, mereka minta maaf dan siap menerima hukuman. Baiklah. Mari beri hukuman yang mendidik.

Saya meminta mereka mempresentasikan salah satu materi yang ada di buku. Materi itu belum pernah saya ajarkan.

"Jika presentasimu tidak memadai, atau asal-asalan, saya menganggapnya  belum lunas," ancam saya. Ibu guru sedang bertaring, jadi ancamannya ganas.

Nah, pertemuan berikutnya, mereka telah siap.
Bagaimana kelanjutannya? Saya akan kembali  setelah iklannya habis, insyaaAllah. Iklannya adalah :saya makan malam, nungguin anak-anak. Lalu tidur, lalu siap-siap upacara besok pagi. Lalu piket, lalu ngajar. Dan lain-lain.

 Sing sabar  menunggu iklan lewat nggeh. Ntar saya kasih bocoran juga kenapa pahlawan bertopeng itu mejeng di pintu kelasnya. Informasinya shohih, sebab saya sudah memeriksa para saksi.

Sementara saya kasih gambarnya Joko dulu. Wajah tengil yang tersembunyi dibalik buku. Dia senyum malu-malu pas saya foto. Hehehe.





 To be continued.






4 komentar:

  1. bu guruuuu super ini tulisan. Asli aku seru sendiri bacanya: ngakak campur seru2 gimana gitu, ngebayangin kalo anak muridnya bu guru itu aku. Hahahaha....bu guru jail juga motoin pahlawan bertopeng ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, itu dia... kasihan dia kalau berdiri pakai topeng terus dianggurin. Sekalian dipoto, supaya posenya gak mubazir...qiqiqiqi... makasih sudah amampir ya mbaaa...

      Hapus

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.