TAKARAN KEBAHAGIAAN

Rabu, Januari 17, 2018


Tiga Puluh Tahun Lalu
Kecil dulu, saya pernah berteman akrab dengan Sani (nama samaran, yes!). Dia tinggal di kompleks. Seingat saya, dI sekolah dia supel, suaranya indah, dan lincah. Satu hal kecil yang cukup mengganggu adalah kebiasaannya memperhatikan barang orang lain. Seringkali, dia ikut membeli dan memamerkan dengan bangga.
“Aku punya kulkas baru,” pamernya suatu kali.
“Tiviku besar.”
“Mama punya kasur baru.”
“Aku beli ini.”
“Kami mengganti itu dengan yang baru.”
‘Kulkas kami dua.”
Saya hanya manggut-manggut saja. Tidak paham mengapa dia harus update terus tentang apa yang dimilikinya. Sering juga dia menceritakan ini dan itu tentang tetangga sebelahnya.Beberapa kali saya ke rumahnya, ibunya mengajak saya mengobrol.
Persis sama seperti putrinya, sang ibu getol menceritakan apa saja yang dipunya. Bangga punya motor dua, kulkas dua (satu berukuran sedang, satu besar), ranjang bagus (yang didesak-desakkan di kamar yang sempit, sehingga tampak menyedihkan). Juga tentang …tetangga sebelah!
Tetangga sebelah itu berdempet sekali, sebelah menyebelah persis, berbagi tembok. Jika membuka pintu rumah, melongok sedikit, kelihatanlah ruang tamunya! Deket bingiiiit!
Dari ceritanya, saya jadi tahu, beliau beli kulkas besar, sebab tetangga beli lebih dahulu. Kulkas besar tentu saja menganggur, sebab yang dipakai kulkas kecil. Konon kata beliau, jika tetangganya tahu ia membeli barang baru, pasti tak lama tetangga itu akan beli juga.
Beliau merepet, bercerita semangat empat lima.Saya, bocah sebelas tahun, duduk tegak di sebelah. Menampakkan wajah memperhatikan, walau hati sungguh terheran-heran. Ingat kulkas mungil di rumah, yang bagian bawahnya sudah keropos. Tidak pernah saya dengar Mamah mengeluhkannya. Kami tetap bisa berbahagia. Kulkas kecil, adalah masalah kecil.
Selama Ibunda Sani bercerita, saya menemukan cetakan gaya Sani. Pilihan kata, ekspresi, intonasi. Mirip.

Sepuluh Tahun Lalu
“Saya tidak berani tinggal di kompleks besar, Bu Umi,” kata Pak Aswin (samaran lagiiii) pada saya.
“Saya takut, nanti gak bisa punya mobil bagus. Sungkan kalau tetangga sana punya ini, tetangga sini punya itu, sementara saya tidak ada.”
Saat itu, saya merasa heran. Kenapa harus sungkan jika memang tak punya? Apakah tinggal di satu kompleks berarti harus sama?

Dua Tahun Lalu
Saya tinggal di kompleks. Sebagian rumahnya cukup luas. Beberapa berlantai dua, tinggi dan megah. Rata-rata pagar rumah tinggi, sekitar dua meter. Pagar rumah saya cuma semeter saja.
“Tinggikan saja, Mbak Umi,” komentar salah satu tetangga ketika kami mengobrol di depan rumah.
Saya hanya tersenyum.
“Biar sama dengan yang lain,” tambahnya. Saya tersenyum lagi.

Beberapa Hari Lalu
Rekan kerja bercerita tentang tetangganya.
“Dia mau beli mobil, yang dipikirkan adalah warna. Katanya, si Fulan sudah punya warna putih. Si Fulanah sudah beli warna hitam. Lalu si Anu warna coklat. Aku warna apa, ya?”
Saya tertawa.
“Lha yo, Bu. Mau beli mobil saja kok pusing mikir warna. Yang tidak punya uang ingin mobil, yang tinggal beli, bingung sendiri,” pungkasnya.

Kadar Kecukupan

Belilah kain, datangilah penjahit. Mintalah ia membuatkan pakaian cantik untuk kita. Saat penjahit itu mengukur, lebihkanlah ukuran itu barang lima sentimeter. Sedikit saja, bukan? Lalu, jika telah jadi, pakailah.
Apa yang Bunda pikirkan? Merasa puas? Merasa nyaman? Merasa percaya diri? Maukah Bunda mendatangi pesta dengan pakaian demikian?
Saya yakin, tidak. Sesuatu yang tidak benar, dipaksakan, dan tidak sesuai dengan diri, akan ditolak dan menumbuhkan ketidaknyamanan.

Kisah pertama, sang Ibu dirundung murung tak putus-putus. Melongok apa tetangga yang punya menjadi penting. Resah hati bila tak punya barang sejenis. Riang hati saat merasa bisa mengungguli. Bayangkan, hidupnya bak roller coaster. Menukik dikendalikan dengki, menanjak dipenuhi sesak. Semua karena apa yang tetangga beli, tetangga miliki.
Kisah dua, sama saja. Ketakutannya dipengaruhi oleh bisa tidaknya ia menyamai tetangga. Cemas tak mampu serupa. Gengsi. Alangkah sempit dunia dikepung rasa macam begini.
Kisah empat, oh, sama memusingkan! Membeli mobil bagi sebagian besar masyarakat adalah barang mewah. Merumitkan dengan dasar apa warna mobil tetangga, adalah hal konyol.

Ini tentang qonaah.
Betapa sering kita bercapek-capek dengan standar dunia yang tidak perlu. Membeli mobil, karena tetangga punya. Merenovasi pagar, sebab kiri kanan punya pagar model baru. Seberapa penting apa yang dilakukan tetangga mempengaruhi kebahagiaan dan kerelaan atas hidup? Hidup dengan milik sendiri jauh lebih melegakan. Meluaskan hati dan dada. Kita akan lebih mampu memandang dunia dengan bening. Keindahan tampak cantik. Kesejukan terasa teduh.
Sebaliknya, hidup dengan membanding-bandingkan masalah duniawi dengan milik orang lain menyebabkan rasa sempit. Berpikir bahwa diri ini sungguh tak beruntung. Lalu muncul dengki pada yang dianggap diberi nikmat banyak. Lalu meremehkan nikmat-nikmat lain.



Ini tentang rasa syukur.
“Barangsiapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (H.R Ahmad).
Betul si A punya mobil, bukankah kita punya motor? Tak ada motor, masih ada sepeda, bukan? Tak ada sepeda, bukankah banyak angkot, ojeg? Tak mampu sebab tak punya uang untuk membayar, bukankah masih punya kaki?
Ukurlah kadar kebahagiaan dunia dengan takaran qonaah . Tak perlu jadikan rezeki duniawi orang lain sebagai takaran keberhasilan, kecuali urusan taat dan taqwa. Inilah yang mestinya di’iri’kan, diharapkan ada pada kita jika tak punya. Rezeki iman adalah sebaik-baik karunia. Jika pada bagian itu kita lebih buruk dari tetangga, istighfarlah. Berbenah segera. Pancangkan resolusi keimanan sebagai ‘the most important part of life’.

Apa resolusi keimanan dalam keluarga, wahai Bunda?

Ibu Guru Umi, menulis agar bahagia.

4 komentar:

  1. Bahagia saat bisa berbagi, bahagia pas kita butuh Allah memberinya dari jalan yang tak disangka-sangka...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul Bu... Allah MAha Pemurah, sangat tahu kapan dan berapa besar kebutuhan kita.. MAsyaaAllah.

      Hapus
  2. Bahagia saat bisa berbagi, bahagia pas kita butuh Allah memberinya dari jalan yang tak disangka-sangka...

    BalasHapus
  3. Bahagia saat bisa berbagi, bahagia pas kita butuh Allah memberinya dari jalan yang tak disangka-sangka...

    BalasHapus

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.