POSITIF!

Senin, Februari 01, 2021

 



Selasa, 22 Desember 2020.

    Hari-hari dalam pekan itu, kami sibuk sekali. Hampir setiap hari berkutat di depan laptop atau komputer. Saya dan Mas Budi punya kantor khusus: perpustakaan. Zoom,  mengoreksi tugas murid-murid, hingga  tidur pun di sana. Anak-anak juga punya ruang belajar masing-masing. Pagi hari, lalu lintas WIFI padat. Ayah, Zahra, sesekali Hafidz dan Najma, juga Nabila, zoom bersamaan. 

      Masa pandemi memang jarang ke mana-mana; tapi tugas mengajar  seakan tak punya jam kantor. Semakin terkuras energi dan perhatian untuk urusan sekolah.

    Badan Mas Budi menghangat. Juga tampak loyo. Rabu, 23 Desember 2020, suhu badan semakin naik. Setelah zoom penerimaan raport, Mas Budi tidur. Malam hari, panasnya lebih dari 38 derajat. Something is wrong, saya khawatir thypusnya kambuh. 

    Kamis, 24 Desember, Hafidz juga demam.

     "Aku diare," kata Hafidz. Aduh, tetiba ingat cerita pasien Covid yang bergejala diare.

    "Sejak kapan? Sudah berapa kali hari ini?"

    "Emm...kayanya tiga hari. Hari ini sudah lima kali." Jawaban Hafidz membuat saya terkejut. Dia tampak baik-baik saja, masih bermain bersama anak-anak tetangga. Ke masjid seperti biasa. Tak nampak lemas atau loyo.

    Malam itu, saya siaga. Berkali-kali terbangun dan mengecek suhu tubuh Hafidz dan Mas Budi. Diam-diam saya menyimpan kekhawatiran. Semoga bukan Covid. Semoga hanya diare dan demam biasa. Sudah banyak kabar teman, sahabat, yang terpapar. Rasanya lingkaran penderita semakin dekat. 

"Penciumanku hilang, sejak kemarin sore," kabar dari Mas Budi, Jumat pagi, bagai sambaran geledek. Sejenak saya terpaku. Ya Allah, akhirnya...

    Kami saling berpandangan. Saya panik, sebenarnya. Saya takut. Lalu lintas macam cerita tentang penderita wabah ini  terpampang di benak. Saya menyimpan rapat-rapat dalam hati. Tak perlu resah berlebihan. Hadapi. Sikapi. Dengan hati yang berkabut, saya dan Mas Budi berdiskusi.

    Kami bicara tentang isolasi mandiri. Saya memakai masker,  mendatangi anak-anak, lalu saya sampaikan kabar terakhir ini. Beberapa aturan saya buat: tidak boleh mendekati Ayah, semua bermasker, rajin cuci tangan, jangan dekat-dekat Bunda. Bagi the girls, tidak terlalu jadi masalah. Bagi Hafidz, ini agak berat. Itu artinya, dia tidak bisa ndusel alais tidur berdempet-dempet dengan Ayahnya. Tidak bisa bercanda seperti biasa. Tidak boleh masuk perpus. Hafidz juga tidak boleh ke masjid, apalagi bermain bersama teman-temannya. 

    "Aku positif," kata Mas Budi. Kok yakin? Lebih baik demikian, sebagai antisipasi. Gejalanya sudah jelas: demam, pegal-pegal dan lelah, hilang penciuman, sempat diare juga. Saya pun menganggap diri positif, karena  tentu saya kontak erat dengan Mas Budi. Wong kalau tidur hampir selalu pelukan, seolah saya guling. 

    Jumat pagi, saya mengabari keluarga di grup WA. Saat saya tengah mengetik, Acil Tintin - adik saya- juga sedang mengetik. Tepat ketika pesan panjang saya terkitim, masuklah pesan Acil Tintin. Dia mengabari, bahwa sejak sepekan lalu, ia dan suaminya sakit. Gejalanya demam, batuk, pegal-pegal. Saya tercekat. Mereka terpapar  juga kah?

    "Jangan-jangan kena setelah mereka ke sini," tebak Mas Budi,

    Oh ya, tanggal 17 Desember, mereka memang ke sini. Sekitar sepekan sebelum datang, ia mengabari bahwa tengah isolasi mandiri. Tidak bisa ke mana-mana. Tetangga dekat rumahnya wafat dan positif covid. Acil Tintin sempat takziyah. Menurut cerita mereka, masyarakat sekitar sana abai; enggan menerapkan protokol kesehatan. Keluarga mereka termasuk keluarga yang ketat dan selalu bermasker jika keluar rumah. 

    Waktu mereka berkunjung, saya dan Mas Budi tidak bermasker. Mereka juga demikian, masker melorot ke dagu.  Kami mengobrol dengan jarak biasa, hanya terhalang meja. Merasa aman, saudara sendiri ini. InsyaaAllah safe. Selamat. Aman, seger waras. 


SWAB?

    Saya  mengabari teman-teman di sekolah.  Tanggal 22 dan 23 Desember saya masuk, dan saya berinteraksi di ruang kurikulum dengan beberapa orang. Saya katakan apa adanya, dan memohon doa mereka semoga semua bisa berlalu dengan baik.

    Selain itu, tetangga sekitar juga saya beritahu melalui grup WA  Dasa Wisma. Bu RT saya kabari pula. Ini langkah antisipasi karena beberapa anak tetangga sering bermain ke rumah. 

    Bagaimana perasaan? Macam-macam, campur aduk. Cemas, takut, khawatir, sedih. Juga heran; eh, kena juga akhirnya. Kok bisa ya? Kan sudah terapkan protokol dengan baik? Why us? Lha, why not? 

    "Akhirnya, mampir sini Mbak Covidnya!" seloroh saya pada Mas Budi. Saya masih tidur di ruang yang sama, walau tidak bisa lagi pelukan. Mas Budi menyuruh saya menjauh jika saya sudah mulai melipir.

    "Swab yuk!" ajak saya. 

    "Gak usah, sudah pasti positif, kok. Gak ada gejala lain, insyaaAllah aman," kata Mas Budi. Yakin, pede. Sebenarnya saya ingin tetap swab, memastikan saja.

    "Hasilnya sudah bisa ditebak. Sekarang fokus ke penyembuhan," terang Mas Budi.

    Baiklah. Saya akhirnya manut, walau dalam hati kecil, sejujurnya, saya ingin kepastian agar terang dan jelas bagaimana penyikapannya. 

    Saya mengabari Bu Agus, tetangga depan. Suami beliau, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Jombang. Pada hari Rabu, 23 Desember, saya jogging pagi dan bertemu beliau. Kami sempat mengobrol beberapa waktu. Saya, yang tidak bermasker, menjaga jarak aman. Bu Agus sendiri bermasker. Pengabaran ini sebagai tanggung jawab sosial, agar beliau waspada.

    "Mbak Umi sudah swab?" Bu Agus mengirim pesan WA.

    "Belum, Bu."

    "Kata Pak Agus, swab saja di Rumah Sakit Umum Ploso. Sudah didaftarkan langsung ke direkturnya, Senin besok Mbak Umi tinggal datang. Monggo, siapa saja yang swab, saya minta foto KTP dan KK."

    MasyaaAllah. Alhamdulillah. Ini pertolongan yang berharga. Saya kabari Mas Budi, lalu kami putuskan yang swab bertiga: saya, Mas Budi dan Hafidz. 

    Hasilnya? Alhamdulillah, sesuai dugaan. Mas Budi memang positif. Yang mengejutkan, saya negatif, sementara . Hafidz positif.

    Sejujurnya, saya menangis ketika tahu Hafidz positif. Saya yang sangat erat kontak dengan Mas Budi, harusnya saya yang positif. Jika saja bisa, ingin saya gantikan posisi itu. Wabah ini tidak pilih-pilih; dia bisa menimpa siapa saja. 

    "Yang penting, tetap bahagia!" kata Mas Budi, sambil memgang tangan saya.

    "Ya, ayo gembira!" Saya menggenggam tangannya erat sambil menggoyangkan-goyangkan ke kanan ke kiri.

    "Bahagia, bahagia!" Mas Budi bergerak-gerak  mengikuti irama tangan. Kami berjoget-joget berdua. Badan Mas Budi  meliuk-liuk kaku. Pinggul, tangan dan kaki  bergerak patah-patah. Macam wayang golek, bhahaha. Lupakan  wabah ini sejenak!

Ibu Guru Umi; menulis agar bahagia

2 komentar:

  1. Setelah berpegangan tangan, cuci tangan gak?

    BalasHapus
  2. sempet ngebet mo swab eh gajadi. Udahlah gausah bayarnya mahal .....

    BalasHapus

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.