SATU SERVER

Minggu, September 18, 2022

            “Bagaimana kalau aku pacaran?”

           Pertanyaan itu membuat kami, Ayah, Bunda dan dua putri remaja kami yang lain, melongo.  Yang melontarkan putri yang hampir lulus SMP.  Saya diam dulu, mencoba menebak  ke mana arah pertanyaan dia.

           “Emang mau pacaran?” Akhirnya saya balik bertanya.

           Nggak, aku nanya aja. Nanya thooook!” katanya sambil tertawa.

           “Ayah nikahkan saja,” jawab Ayah. Tiga remaja putri itu tertawa terbahak.

           Pacaran adalah satu hal yang dianggap wajar. Lazim, normal. Normalisasi ini, menurut saya, menjurus kepada pembiaran, pemakluman, tak apa. Yang berpacaran, biasa. Yang tidak berpacaran dianggap aneh.

           “Kata teman, saya gak laku, makanya tidak punya pacar,” kata seorang murid yang juga tim debat bahasa Inggris sekolah kami.  Gadis yang mungil, kalem, cerdas, dan fasih berbahasa Inggris itu tampak santai.

           Putri kami sesekali bercerita tentang teman putrinya yang menangis karena berantem dengan pacar. Sekarang menangis, besok akur lagi. Sekian lama, putus. Menangis lagi, tersedu-sedu di kelas. Sekian waktu, cerita lain mampir ke telinga saya: sudah punya pacar baru.



           Kisah lain dari putri kami tentang pertemanan dan lingkungan sekolahnya yaitu teman yang le****. Saya bertanya-tanya penuh minat. Kepo maksimal.

           “Dia bilang kalau le****?”

           “Iya, dia bilang.”

           “Terus gimana?”

           “Ya gak papa. Dia nembak temanku.” What? Wah, seru dah.

           “Yang ditembak mau?”

           “Gak mau.” Waaaaa. Kalau saya yang ditembak le*****, saya akan merespon bagaimana? Jadi ingat dua pengalaman ‘diganggu’ . Diberi kode, kedip-kedip, senyum-senyum mesum. Astaghfirullah.

           Topik pacaran adalah satu di antara topik seru seputar  kehidupan remaja. Topik lain semisal menyontek, konten media sosial, kasus teman di kelas, kegiatan ekskul sekolah, guru, dan lain-lain. Sekarang ditambah satu: tentang kucing.

           Ada yang mengatakan bahwa masa  remaja adalah masa terombang-ambing. Fase mencari jati diri. Dalam sebuah parenting, Ustaz FAuzil Adhim menyatakan bahwa anggapan ini tidak sepenuhnya benar. Remaja yang dididik dengan baik oleh orang tuanya tidak akan mengalami kebingungan. Mereka, dengan visi besar yang ditanamkan oleh orang tua, lebih kukuh dan mampu mengatasi berbagai konflik  atau kesenjangan  konsep di luar. Hasil didikan orang tua menjadi dasar berpikir dalam menganalisis pengalaman dan dasar pertimbangan pengambilan keputusan.

 

Peran Orang Tua bagi Remaja

Mendidik remaja tentu berbeda dengan mendidik anak usia prasekolah atau sekolah dasar. Anak usia pra sekolah atau sekolah dasar, masih menjadikan orang tua sebagai pusat. Sedikit terkurangi ketika bersaing dengan guru.

Pada remaja, kompetitor orang tua adalah teman. Jika orang tua gagal mendampingi remaja secara baik, anak akan semakin jauh dari rumah. Mereka  menjadikan teman atau komunitasnya sebagai prioritas. Curhat, berbagi masalah, bahkan  mencari solusi bersama teman.

Menyiasati keadaaan ini, orang tua perlu menjalankan perannya dengan baik. Sebagai manusia yang sudah akil balligh, remaja  terkena beban tanggung jawb. Sudah dihitung pahala atau dosa.


        Di bawah ini beberapa peran yang bisa dimainkan orang tua agar memiliki hubungan harmonis dengan anak remaja,

Pertama, peran sebagai pendorong. Dalam surat AL Mulk ayat 2, Allah subhanahu wata’ala menegaskan bahwa diciptakan kematian dan kehidupan bertujuan untuk melihat siapa yang terbaik amalnya. Orang tua perlu menanamkan visi dan misi besar ini kepada anak, dan mengondisikan mereka untuk fokus pada perbanyak amal, perbanyak ilmu, dan perbanyak pertemanan dengan orang-orang yang baik agamanya. Menjadi pendorong bukan sekadar memotivasi anak remaja melakukan sesuatu, namun sekaligus memberikan ruang sesuatu itu terwujud. Contoh, orang tua mendorong remaja untuk banyak membaca. Yang harus disediakan adalah buku-buku yang menarik, suasana membaca yang mendukung, momen membaca yang menyenangkan.

Kedua, peran sebagai panutan. Integritas orang tua menjadi penentu kelayakan sebagai panutan. Satu kata dan perbuatan. Tak boleh orang tua hanya menyuruh, menugaskan serta membebani tanpa memberi contoh lebih dahulu.  Akan lucu dan absurd orang tua melarang anak remaja merokok, sementara dia perokok berat. Tak akan membekas perintah salat berjamaah di masjid bagi anak lelaki jika orang tua sendiri jarang-jarang jamaah di masjid. Menyuruh anak membaca sementara orang tua jauh dari kesukaan terhadap buku.

Ketiga, peran sebagai pengawas. Orang tua memiliki wewenang penuh untuk melarang, membatasi, atau memerintahkan sesuatu dijauhi. Untuk sampai pada level ini, pengkondisian sejak kecil menjadi. Keliru besar jika atas nama demokrasi, orang tua memberikan ruang yang terlalu luas bagi anak-anak untuk melakukan sesuatu. Mereka harus terbiasa menerima wewenang orang lain, terutama orang tua. Bukan untuk membuat mereka takut, tetapi untuk menerima bahwa ada wewenang orang tua atas diri mereka. Jika ini sudah terbentuk, akan mudah bagi orang tua menjauhkan mereka dari kekeliruan langkah yang fatal.

Terakhir, peran sebagi teman. Sebagai teman yang asyik untuk diajak curhat, asyik untuk diajak lucu-lucuan, asyik untuk diajak jalan. Tidak membuat jarak yang menghalangi mereka dari mengobrol ringan tentang apa saja. Tidak terlalu banyak memberi ceramah, tapi terbuka memberikan solusi bagi semua masalah mereka. Tentu saja dalam batas koridor penghormatan dan tetap menjaga wibawa sebagai orang tua.

            Menjadi orang tua satu server bagi remaja masa kini adalah keharusan. Satu server, untuk  memandang masalah sekitar dengan kaca mata mereka, kemudian membantu memperkaya sudut pandang, persepsi dan wawasan agar semua bisa disikapi secara benar, baik, dan bijaksana.

            Wallahu’alam.


*tulisan ini dimuat di Majalah LAZUQ Edisi Agustus 2022

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.