BUKAN SEKADAR BAGI DAGING

Sabtu, September 17, 2022

“The greatest tragedy is not death, but life without purpose.”


         Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu masuk Islam pada usia 10 tahun. Jika dikomparasi dengan masa kini, usia 10 tahun baru kelas 4 SD. Masih suka bermain, berpikir dan bertindak ala kanak-kanak.  Bagaimana seorang anak kecil seperti Ali radhiyallahu ‘anhu bisa mengambil keputusan besar berkaitan dengan keyakinannya? Ia tahu betul bagaimana buruknya penerimaan kaum kafir Quraisy terhadap kaum muslimin saat itu. Risiko besar mengadang. Taruhannya nyawa.

           Katakanlah ada perbedaan sosio kultural, pengalaman, pola asuh antara anak ‘zaman dahulu’ dengan anak ‘masa kini’. Yang jadi pertanyaan adalah: apakah yang dilakukan orang tua saat itu, hingga anak mampu berpikir dewasa dan matang di usia belia? Atau pertanyaan lain: bagaimana kondisi sosio kultural saat itu, hingga  mampu memunculkan lingkungan kondusif bagi anak untuk tumbuh secara matang?

           Pertanyaan itu bisa ditemukan jawabannya dalam sirah nabawi. Tentu tidak bisa langsung ditemukan, jika baru sekali dua kali membaca. Atau baru satu dua sumber saja yang dijelajahi. Silakan mencari, semoga Allah subhanahu wata’ala mudahkan.

           Kisah lain, tentu saja Ismail ‘alaihissalam. Kelahirannya dikabarkan dengan diksi ghulam halim, anak sabar. Ismail alaihissalam  diberi kabar Ibrahim ‘alahissalam tentang perintah menyembelihnya. Sebagian meyakini, usia Ismail ‘alaihissalam saat itu 14 tahun. Sebagian lagi menyebutkan angka di bawah 10 tahun.

           Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!" Dia (Ismail) menjawab, "Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar." [QS. As-Shaffat: 102].

           Perhatikanlah, betapa matang dan dewasanya cara berpikir Ismali ‘alaihissalam. Barangkali  dalam hati terbersit: ‘Jelas matang dan alim, wong dia nabi!” Semua nabi dan rasul dari kalangan manusia, yang perlu makan, butuh rasa aman, kasih sayang, melakukan kawin dan beranak pinak. Normal. Bedanya pada keluhuran jiwa dan kekuatan iman yang dahsyat. Diturunkan demikian sebagai contoh dan teladan bagi manusia. Artinya, ketaatan yang para nabi lakukan bukan mustahil juga bisa kita tiru, walau  levelnya tidak setinggi mereka.

Gambar dari PIXABAY


           Jadi apa yang hendak saya tulis?

        Saya meyakini, kemampuan pemuda Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan Ismail ‘alaihissalam  itu tidak tumbuh begitu saja. Kecakapan mengambil keputusan dengan pikiran lurus, jernih, tegak di atas bimbingan Allah subhanahu wata’ala  menyeret minat untuk mencermati bagaimana mewujudkan itu.

           Ismail ‘alaihissalam dilahirkan dari orang tua yang sholih dan sholihah. Ali bin Abi Thalib, kedua orang tua saat itu berbeda keyakinan dengannya. Namun ia sangat dekat dengan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam dan terkoneksi secara intensif dengan lingkungan baik.  Mereka berdua salah dua contoh kukuhnya aqidah. Tinggi nilai tauhid dalam qalbu.

           Dua hal: orang tua sholih, dan atau lingkungan yang kondusif. Dua hal yang layak diperjuangkan oleh orang tua mana pun yang ingin mendapatkan anak sholih. Orang tua sebagai teladan; menjadi role model bagi anak-anak. Namun teladan saja tidak cukup. Orang tua perlu memberikan narasi secara kontinyu agar nilai tauhid tertanam kuat dalam hati.

           Tauhid menurut Abu al-A’la al-Maududi merupakan sebuah kalimat deklarasi/pengakuan seorang muslim, kalimat pembeda seorang muslim dengan orang kafir, ateis dan musyrik. Sebuah perbedaan yang lebih terletak pada peresapan makna tauhid dan meyakini dengan sungguh-sungguh kebenaranNya dengan mewujudkan dalam perbuatan agar tidak menyimpang dari ketetapan Ilahi.

           Abu A’la Al Maududi menyebutkan pengaruh aqidah tauhid  sebagai berikut:

a.       menjauhkan manusia dari pandangan yang sempit dan picik,

b.      menanamkan kepercayaan terhadap diri sendiri dan tahu akan harga diri,

c.       membentuk manusia jujur dan adil,

d.      menghilangkan sifat murung dan putus asa,

e.       membentuk pendirian yang teguh, kesabaran.


            Tauhid mengajarkan hidup terarah, bertujuan jelas dan pasti. Sebagaimana kutipan di atas, tragedi terbesar bukanlah kematian, tetapi hidup yang tanpa tujuan.  Mukmin yang kukuh aqidah tauhid, menyambut kematian dengan suka cita. Mereka akan memasuki kehidupan akhirat  yang merupakan momen indah bertemu Kekasih, Zat Mahaagung.


            ‘Idul Adha dapat dijadikan sebagai momentum  penguatan aqidah  bagi keluarga. Bacakanlah kisah Ibrahim ‘alaihissalam dan Ismali ‘alaihissalam, garisbawahi pada ketaatan, kekukuhan iman dan aqidah tauhid. Kisahkan dengan gamblang bagaimana efek perintah menyembelih jika dilihat dari  tinjauan ilmiah psikologis bagi manusia. Ini bukan perintah main-main. Dijadikan peristiwa itu lalu diberitakan melalui Al Quran bukan kebetulan. Semata-mata Allah subhanahu wata’ala hendak pelajaran bagi manusia.


            Jika nilai-nilai tauhid itu ditanamkan secara intensif di keluarga, maka ibadah bukan lagi sekadar rutinitas. Anak-anak akan mencari, menemukan dan menguatkan terus menerus alasan besar di baliknya. Sebagaimana halnya kurban, mereka akan meresapi makna secara dalam. Sehingga berkurban bukan sekadar membagi daging. Penyembelihan, pembagian daging dan ritual lain yang mengiringi, semata-mata menjadi wasilah meninggikan ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala.

Wallahu’alam bishshawab.

 

*Tulisan dimuat di Majalah LAZUQ  Edisi Juli 2022

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.