SEPATU GANJAL KAKI MEJA
Tiga malam lalu, 6 September 2016, sekitar sekitar pukul delapan malam.
Anak-anak berkutat dengan aktivitasnya masing-masing. Membaca (buku pelaran, sebentar saja; yang lama baca novel hehehe), Hafidz bermain lego, sekaligus hewan-hewanan. Dia jejerkan hewan-hewan itu, dan membuat ceritanya sendiri. Nabila di ruang tamu, berkutat dengan lap topnya.
Saya menuju ruang makan dan dapur. Sesuatu di bawah meja menarik perhatian.
Sebuah sepatu, diganjal di bawah meja makan. Sepatu Nabila.
Sepatu itu sudah pernah menganga lebar bagian belakangnya. Dilemnya, dan mengatup kembali.
Sekarang, sepatu itu ditekan sedemikian rupa di bawah meja makan setelah diberi lem.
Saya geli, campur haru.
Ingat masa kecil dulu. Jika sol sepatu sedang purik, enggan bersahabat. Ia menjauh, memisahkan diri. Separuh bagiannya saja yang ngambek, seringnya bagian depan.
Jika sedang tidak ada dana lebih untuk membeli sepatu (saya delapan bersaudara, perempuan semua, dengan selisih usia yang rata-rata tidak jauh), maka jurus yang sama dipakai. Kami sedia lem Castol (lem kuat saat itu). Sepatu itu dilem, ditiup-tiup sejenak, kemudian dikatupkan. Semalaman sepatu kami akan menjadi ganjal kaki meja atau kursi yang berat. Besok paginya, sepatu itu siap menemani kami berlari-lari di sekolah.
Begitu seterusnya. Sepanjang yang bermasalah adalah sekedar mangap, solusinya gampang. Kalau sudah sobek sana-sini, barulah dimuseumkan.
Saya geli, campur haru.
Geli karena ingat masa lalu. Haru, karena menyadari betapa qonaahnya Nabila. Ia memang jarang menuntut macam-macam. Tidak memaksakan keinginannya. Apalagi pakai ngambek-ngambek segala. Eh, pernah ngambek, dengan gaya halusnya. Waktu hampir kami larang berangkat rekreasi bersama pengurus OSIS sekolahnya.
Sepatu ganjal itu, akan jadi cerita tersendiri. Cerita geli campur haru.
Anak-anak berkutat dengan aktivitasnya masing-masing. Membaca (buku pelaran, sebentar saja; yang lama baca novel hehehe), Hafidz bermain lego, sekaligus hewan-hewanan. Dia jejerkan hewan-hewan itu, dan membuat ceritanya sendiri. Nabila di ruang tamu, berkutat dengan lap topnya.
Saya menuju ruang makan dan dapur. Sesuatu di bawah meja menarik perhatian.
Sebuah sepatu, diganjal di bawah meja makan. Sepatu Nabila.
Sepatu itu sudah pernah menganga lebar bagian belakangnya. Dilemnya, dan mengatup kembali.
Sekarang, sepatu itu ditekan sedemikian rupa di bawah meja makan setelah diberi lem.
Saya geli, campur haru.
Ingat masa kecil dulu. Jika sol sepatu sedang purik, enggan bersahabat. Ia menjauh, memisahkan diri. Separuh bagiannya saja yang ngambek, seringnya bagian depan.
Jika sedang tidak ada dana lebih untuk membeli sepatu (saya delapan bersaudara, perempuan semua, dengan selisih usia yang rata-rata tidak jauh), maka jurus yang sama dipakai. Kami sedia lem Castol (lem kuat saat itu). Sepatu itu dilem, ditiup-tiup sejenak, kemudian dikatupkan. Semalaman sepatu kami akan menjadi ganjal kaki meja atau kursi yang berat. Besok paginya, sepatu itu siap menemani kami berlari-lari di sekolah.
Begitu seterusnya. Sepanjang yang bermasalah adalah sekedar mangap, solusinya gampang. Kalau sudah sobek sana-sini, barulah dimuseumkan.
Saya geli, campur haru.
Geli karena ingat masa lalu. Haru, karena menyadari betapa qonaahnya Nabila. Ia memang jarang menuntut macam-macam. Tidak memaksakan keinginannya. Apalagi pakai ngambek-ngambek segala. Eh, pernah ngambek, dengan gaya halusnya. Waktu hampir kami larang berangkat rekreasi bersama pengurus OSIS sekolahnya.
Sepatu ganjal itu, akan jadi cerita tersendiri. Cerita geli campur haru.
Awalnya saya geli juga, Mbak.. tapi trus terharu.
BalasHapusMasya Allah... anak secantik Nabila, qanaahnya bikin haru.. Alhamdulillah ya Mbak, punya putri cantik nan salihah. Salam buat Nabila, Bu Guru :)
Iya, melihat sepatu pose begitu, makjleb banget buat saya. Kok saya gak tahu kalau sepatunya jebol? Hiks, emaknya gak teliti...
HapusInsyaaAllah salam disampaikan...
TErima kasih sudah mampir, Mba Diah Kusumastuti..
Hapus