JEBAKAN BATMAN

Kamis, April 12, 2018
Adegan 1.
“Kita nyapu-nyapu dan ngepel-ngepel kemarin itu, jadi bahan omongan.”
“Emang gimana ngomongnya?”
“Fulanah yang tahu.”
“Konteks pembicaraannya bagaimana?”
“Fulanah juga yang tahu.”
“Ya ampun, mereka kurang kerjaan amat sih, mengomentari amalan orang lain.”
“Iya, kenapa tidak beramal sendiri?”
“Nah, itu.”
Mengomentari orang yang nyinyir, sama saja ikut nyinyir. Lagi pula, belum tentu juga niat dan konteks pembicaraan benar dan sesuai dugaan, bukan? Astaghfirullah.

Adegan 2.
“Ada isu tentang Fulanah. Katanya dia menabur garam di ruang itu. PAdahal yang ditaburnya kapur barus.”
“Kok bisa bilang garam?”
“Gak tahu. Mungkin maskudnya bercanda.”
“Apa maksudnya dengan garam? Garam kan biasanya ditabur untuk maksud sihir. Dugaannya ke sana kah?”
“Gak tahu juga. Tapi kok ya terlalu mereka itu, sampai menduga-duga kapur barus sebagai garam.”
“Kalau konteks bicara mereka seperti itu, menduga ada suatu maksud dengan menyebar garam, itu jahat betul. Kurang kerjaan.”
Nah, sama-sama kurang kerjaan. Untuk apa juga menduga-duga suatu dugaan yang sama-sama tidak jelas? Ish, ish, syetan canggih betul menggelincirkan. Pintar mencipatakan suasana yang samar. Namanya saja syetan, hidupnya jauh lebih lama daripada manusia. Jadi tahu tabiat manusia dan hebat membelokkan kepada kemaksiatan. Hush, hush, enyah! A’udzubillahiminasy syaitoonirrojim.

Adegan 3
“Dia bilang kamu pernah kasih dia amplop.”
“Amplop apa?”
“Ya amplop. Dia sebutkan orang lain yang sering beri amplop. Kan dia yang kerjakan tugas-tugas a, b c.”
“Kan memang sudah tugasnya.”
“Iya, tapi yang lain kasih amplop. Makanya mereka dipermudah. Yang tidak kasih amplop, dibiarkan saja.”
“Wah, padahal dia sudah dapat kemudahan A, B, dari saya saat bla bla bla. Dapat fasilitas lain.”
Nah, nah. Sama saja, kan? Mengundat-undat pemberian dan pertolongan. Setali tiga uang dengan yang mempersulit sebab tidak diberi amplop. Aaaah, dasar syetan!

Adegan 4
“Di rumah duka, ada yang rasan-rasan.”
“Rasan-rasan apa?”
“Ya, macam-macam. Yang begini, begitu. Itunya harus begini, kenapa begitu.”
“Ya Allah.”
“Saya heran, kok tega. Mbok diam saja, gak usah diungkap begitu.”
“Harusnya takziyah menjadi ajang introspeksi, ya.”
“Iya, si Fulan malah bilang bla…bla…bla….”
Lho, kok diteruskan panjang kali lebar. Jadi sama saja, sama-sama rerasan. Hiks.

Pernah mengalami begitu?
Hiks. Begitu mudahnya tergelincir dalam keburukan. Jebakan batman para syetan. Terjebak dalam perilaku yang sama jeleknya tanpa disadari.
Memang diam itu lebih utama. Tapi untuk diam, bagi perempuan, susaaaaaahhhhhhh.
Astaghfirullah. Laa haula walaa quwwata illa billah.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.