MAHMUD

Senin, April 16, 2018


Ahad sore tadi, ada yang hendak pinjam perpustakaan kami, Taman Bacaan Monster Pintar, sebagai tempat belajar. Sebut saja si peminjam itu Anggrek. Jangan Mawar ya, ini bukan berita kriminal. Nah, saya mengijinkan.
Sudah sering kegiatan rapat, atau kelas menulis, atau kelas mentoring PLASMA berada di situ. Saya sih hepi saja, sepanjang acaranya positif dan maslahat bagi dakwah.

Nah, Mbak Anggrek adalah seorang teman di sebuah organisasi penulis. Katanya jumlah anak atau peserta ada 7 orang.
“Jam setengah tiga saya ke sana,” katanya.
Bayangan saya, setengah tiga dia sudah sampai di rumah. Kebetulan sejak siang saya ada acara di luar. Menjelang pukul setengah tiga, saya izin pulang sejenak. Sebab ruangan belum dibersihkan maksimal. Acara bermalam untuk remaja (yang dilakukan sejak Sabtu sore kemarin) baru berakhir menjelang dhuhur. Jadi ruangan perpus agak kotor, walau tidak pakai bingits.

Saya menyiapkan tempat tergesa-gesa. Sudah lebih dari waktu yang dikatakan Anggrek. Dia belum datang juga. Saya kirim wapri, katanya baru akan berangkat.
Lhooo. Tiwas saya buru-buru keluar dari tempat acara. Eh, astaghfirullah, tidak boleh begitu, ya. Keterlambatannya sudah ditakdrikan terjadi. Saya kudu bersabar menerimanya. Sementara Anggrek, semoga belajar juga untuk tidak terlambat.

Nah, sedang santai dengan anak-anak, tiba-tiba datang ibu muda, alias mamah muda. Membawa anak kecil yang lucu. Saya kira masih usia TK.
“Benar disini tempat belajarnya?” Tanyanya.
“Betul, tapi Mbak Anggrek belum hadir. Monggo ditunggu sebentar,” saya menunjuk perpus dan mengantarkan sekaligus.

Mahmud itu, ya ampun, sepatunya belum dilepas. Dia enak saja memakai hingga depan perpus. Anaknya juga sama. Padahal di bagian depan, berjarak semester dari gerbang, sudah berjajar-jajar rak sepatu atau rak sandal. Lantai hall ini juga keramik dalam, bukan jenis keramik outdoor.
Saya agak jengkel. Secara, menurut saya, jika bertamu, kehati-hatian harus didahulukan. Kebiasaan saya, begitu memasuki gerbang seseorang, jika lantainya adalah keramik indoor, saya akan otomatis melepas sandal atau sepatu.

Mahmud ini masuk ke dalam perpus dengan lagak pede. Eh, dia memang pede. Matanya menyapu ruangan, menatap rak dan buku yang berjajar.
“Yang di depan itu, tahfidz balita?” Tanyanya. Yang dimaksud adalah banner atau spanduk yang dipasang di pagar sebelah selatan. Berisi informasi dan ajakan bergabung acara seminar tentang tahfidz bagi balita yang diselengarakan Rumah Tahfidz Balita daerah Ceweng.
“Disini ada tahfidz balita?” tanyanya lagi.
“Bukan, itu acara lembaga RUTABA di daerah Ceweng sana. Kalau disini TK biasa,” jelas saya.
“Iya, saya tahu ini TK,” katanya lugas. Lho, sudah tahu kenapa tanya begitu tadi? Saya geli melihat gayanya.
“Rutaba ada di Ceweng, Bu,” kata saya.
“Jauh ya, dekat-dekat sini tidak ada?”
“Ada, di eerrr… Mutiara Hati, kalau tidak salah.”
“Permaata Hati!” Selanya. Nah, sudah tahu gitu kok.
“Iya, di sana kalau tidak salah sudah ada program tahfidz untuk Balita.”
“Tapi di sana hanya juz 30. Saya mau 30 juz,” katanya yakin.
“Kalau di lembaga utnuk balita itu, rata2 juz 30, Bu. Bukan 30 juz.”
“Oh, iya. Nanti juz selanjutnya waktu SD, ya? Yang tidak fullday,” katanya lagi. Terus terang, saya sebal lihat gayanya yang sok tahu itu.
“Kalau SD bla, SD bla, dan SD bla, tidak ada program tahifdznya ya?” Katanya lagi.
“Sekolah anak saya target lulus SD 8 juz, Bu. SMP 12 juz.”
“ Oh, sekolah mana itu? Ini anak saya di SD bla (salah satu SD yang dia sebutkan itu).”
“Di SDIt bla bla, Bu.”
Sejenak dia diam. Saya mengamati wajahnya yang cantik.
“Banyak bukunya di sini, ya Mbak?” Kata Mahmud itu pada putri kecilnya.
“Ini punya sekolah, perpus sekolah,” katanya lagi, masih dengan gaya yang ‘menggemaskan’.
“Bukan, ini perpus pribadi,” jawab saya.
“Ooh.”
Ah, apa dia fikir hanya sekolah saja yang punya perpus? Jadi ingat perpusnya SBY, Habibie… Keren!
Satu persatu para mamah dan anak-anaknya berdatangan. Dan, ya ampun, mereka juga sama. Meleggang saja dengan sepatu dan sandalnya. Helooooo… Apakah rak sepatu dan sandal di depan itu invisible?
Saya undur diri kemudian. Masih terbayang-bayang hingga kini rasa geli campur sebal tadi. What a day!

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.