MENU FAVORIT

Kamis, April 12, 2018
Hari Sabtu dan Ahad itu hari belanja.

Berangkat ke pasar dengan gembira. Menyusuri gang-gang dalam pasar yang ramai. Tebar senyum sana sini. Ada ibu penjual kerupuk yang lincah dan sigap. Ada ibu penjual klanting yang halus. Penjaja serbet yang lantang. Penjual celana selutut dua lima dua. Pedagang tempe yang sendu.
Juga pedagang sayur mayur. Seorang bapak tua, yang membungkusi jenis sayur berdasar masakan. Jadi tinggal pilih, mau beli sayur asem, bayam, tumis kangkung. Harganya seribu saja satu plastic. Harga yang bikin hati tidak tega. Harga seribu, keuntungan beliau berapa? Pertanyaan sama juga bagi penjual kecambah. Beli seribu lima ratus dapat hampir sekantung kresek kecil.
“Stop, pak. Stooop!” Saya menyudahi gerakan tangannya yang hendak meraup segenggam cambah lagi.
“Cukup segitu saja, terlalu banyak kalau ditambahi.”
Dia melongo, memperhatikan saya yang mengikat kreseknya. Duh, maaf ya Pak kalau mengejutkan.

Langganan Sabtu dan Ahad itu bapak penjual ikan. Dibagian timur, dekat kamar mandi belakang. Disitu saya biasanya cipika cipiki. Sama bapak itu? Weh, ya bukan. Saya sering cipika cipiki dengan ibu-ibu, atau mbak-mbak yang saya kenal dan kebetulan melintas disitu. Kenalan saya banyak, ya? Ah, biasa saja. Hihi. #gaya alay.

Nah, kembali ke penjual ikan.
Mejanya tidak seberapa lebar. Paling timur biasanya ikan mujair, ikan merah, lalu ikan gurami. Lalu ikan bandeng. Kadang ada ikan kakapnya. Kemudian patin, tongkol, tuna. Paling barat adalah udang dan cumi-cumi. Ah, baru sadar kalau saya hafal. Itu akibat sering mengamati ketika diam berdiri menunggu giliran.
Menu favorit liburan adalah ikan bakar a la saya. Emang saya bisa masak? Ah, meremehkan. Btw, pertanyaan itu sering sekali dilontarkan oleh teman-teman. Mereka selalu tidak percaya bahwa saya juga ke dapur. Hello, aku bukan kanjeng ratu atau nyonya besar yang tinggal tunjuk dan, wuuss, terhidang begitu saja.
Lalu, tahukan saya bumbunya? Gampang, guys. Ada cara simple untuk masalah bumbu. Ambil tab, simpan dekat-dekat, lalu katakan : “OK GOOGLE. BUMBU IKAN BAKAR!”
Mak zaman nooowww…(tepuk dada).


Ini ikan masakan saya? Oh, tentu bukan!

Nah, kembali ke tulang ikan eh, tukang ikan.
Beli ikan gurame atau ikan mujair. Sampai rumah, cuci ikan itu, dan beri bumbu. Biasanya sih cuma bawang putih dan garam saja. Rendam dulu selama beberapa waktu.
Selama menunggu bumbu itu meresap, lakukan hal lain. Bongkar keranjang belanja. Keluarkan klanting, jongkong, dan sayur. Simpan sayur dalam kulkas. Bawa klanting dan jongkong ke ruang tengah. Mari duduk. Nikmati klanting dan jongkong itu perlahan-lahan. Resapi kenyamanan makan kue tradisional tanpa dipusingkan dengan pekerjaan kantor. Indahnyaaaaa!


Kembali pada ikan.
Semula saya mematangkan ikan dengan dibakar. Tanpa digoreng. Enak sih, tapi lamaaaaaa. Dua ekor matang, lalu menunggu dua ekor lainnya untuk dibakar. Yang kedua belum matang, dua ekor pertama sudah ludes. Anak-anak membawa piring berisi nasi masing-masing dan duduk menyerbu. Saya kembali ke ruang makan, tinggal tulang belulangnya saja.
Apa bumbu ikan bakar? Simpel saja: kecap dan mergarin atau mentega. Jika semangat, saya buatkan bumbu terdiri dari cabe merah, bawang putih, bawang merah, sedikit laos, sedikit jahe, sedikit kencur. Darimana bumbu begitu? Ngawur. Wehehehehe.
Bumbu itu diblender bersama gula dan garam. Lalu ditumis. Nah, saat ikan dibakar, oleskan bumbu itu diatas ikan. Saat penyajian, beri bumbu itu diatas ikannya. Tambahi kecap sedikit, dan silakan nikmati. Enak kah? Kata anak-anak sih enak. Jarang sekali ikan bakar bersisa. Ludes des des.
Aih, senangnya emak ini. Dibalik ketidakmampuan memasakanya, ternyata ada ikan bakar yang jadi menu favorti anak-anak.
Akibatnya, saya smeakin rajin mengunjungi penjual ikan itu. Eh, saya belum tahu namanya! Ingatkan saya untuk menanyakan Ahad depan, ya.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.