MENYONTEK DAN PLAGIARISME

Senin, April 02, 2018
Kamis kemarin, siswa siswi kelas XII berkeliling dari ruang ke ruang. Mereka menemui para Bapak Ibu guru, staf dan karyawan. Tujuannya meminta restu menghadapi ujian nasional bagi SMK mulai Senin besok hingga Kamis.
Ada sebagian kecil yang berwajah sembab, mata basah dan hidung merah. Menangis, entah sebab haru atau sebab lainnya.
Saya menyalami mereka dengan pesan-pesan sponsor begini: “ Semoga dimudahkan.” Atau “Semoga lancar.” Jawaban mereka selalu ‘Aamiin’ dengan sungguh-sungguh.
Yang paling saya suka adalah sponsor: “Semoga Allah beri kekuatan untuk mengerjakan dengan jujur.” Atau “Kerjakan sendiri semuanya, ya.” Dan jawaban mereka untuk sponsor ini adalah tersipu-sipu (ini mungkin hobi nyontek teman), terkejut dan gagap (ini juga!), ada juga yang menjawab ‘Aamiin’ dengan tidak yakin (ini pertanda apakah?).



PENYAKIT MENAHUN
Persoalan menyontek, kerja sama, dan sejenisnya ini menjadi keprihatinan tersendiri. Satu dua sekolah malah tersistem dengan baik dan rapi (ya Allah!). Legitimasi membiarkan kebiasaan ini adalah ‘kerja sama’ alias ‘saling bantu’.
Pesan sponsor dikemas dengan berbagai bentuk. Misalnya, ‘Anggap anak Bapak Ibu sendiri’. Juga begini: ‘Mohon kerjasama pengawas agar anak-anak tidak tegang, merasa nyaman dalam ujian.’
Anggap anak sendiri punya makna khusus.
Bahwa setiap orangtua pasti menginginkan anaknya sukses dan berhasil. Jika kesuksesan itu perlu dilakukan dengan menyontek dan bekerja sama dalam ujian, lakukanlah. Asumsi dasarnya adalah orangtua pasti melakukan segala daya upaya demi anak. Maka, saat mengawas , perlakukanlah mereka sebagai anak sendiri yang diharapkan mampu melewati ujian dengan baik.
Sebab itu, buatlah kenyamanan dan rasa aman. Makna sederhananya, lakukan kompromi, yang berujung pada (minimal) pembiaran. Biarkan mereka nyaman dan aman dalam bekerja sama. Biarkan leluasa bisik-bisik berdiskusi. Biarkan tenang mengintip dan menyalin jawaban temannya. Biarkan kertas jawaban beredar. Salah seorang siswa yang dulu saya ajar bahkan bercerita bahwa jawaban satu orang itu dibagi ke seluruh peserta dalam kelas itu. Berlaku prinsip three musketeer: One for all, all for one! Yeah!
Segitunya? Yang saya temui hampir 11 tahun mengajar, demikian.
Sembilan belas tahun mengajar, tahun pertama hingga tahun ke delapan, idealisme masih berwujud di depan mata.
Bahkan tahun ketiga hingga kelima, ada power untuk membuat sistem sekolah yang berintegritas tinggi. Menyontek adalah aib, perbuatan memalukan. Jika ada siswa yang melirik sedikit saat ulangan, maka teman-teman sekitarnya akan mencemooh.
Nah, bertemu dengan realitas lain, lumayan mengejutkan saya.
Mengajarkan ‘tidak bekerja sama dalam ulangan’ katanya membuat anak-anak kehilangan sifat solidaritas. Lebih terkejut lagi ketika menyontek tersistem dan diatur secara profesional. Kaget bingiiiits. Rasanya kok kebacut. Ngunu ya ngunu, ning ya ojo ngunu!

EFEK BURUK
Pertama, tidak terlatih untuk percaya diri. Tidak yakin dengan kemampuan dan pemikian sendiri.
“Kalau pun sudah tahu jawabannya, kalian pasti tetap melirik jawaban teman, kan?” tanya saya suatu waktu. Anak-anak tertawa.
“Minimal, kalian memastikan bahwa jawabannya sama, begitu? Kalau sama, alhamdulillah, ayem. Kalau nggak, mulai kedip-kedipan, saling tanya dan diskusi. Begitu?” Anak-anak semakin tergelak.
Kedua, tidak terlatih menanggung resiko. Tidak belajar, ada resikonya. Belajar dan siapkan diri sebaik-baiknya, ada konsekwensi logisnya. Bertahun-tahun menyontek, mengandalkan teman yang pintar untuk menjawab soal, sama dengan menanam bibit pecundang dalam jiwa. Dewasa nanti, kepribadiannya akan gamang dan labil. Tidak mampu menanggung resiko dan menghilangkan keberanian. Repot kalau berhadapan dengan orang dewasa macam begini. Tidak bisa diandalkan.
Ketiga, menebar bibit bangga dengan kepalsuan. Sebab sudah biasa dengan angka raport palsu. Predikat palsu. Tidak ada lagi izzah dan rasa malu melakukan penipuan. Kebiasaan ini sudah jamak dan menjadi ‘budaya’ sebagian besar pelajar. Apalagi ada contoh dikondisikan dan direstui guru dan sekolah. Komplit sudah kerusakan yang ditimbulkan.


PLAGIARISME
Tahun lalu, ramai kasus plagiarisme yang dilakukan seorang pelajar putri. Gagasan besar dan ide-ide briliannya semula mendapat aplus dan mengundang decak kekaguman. Dia bahkan diundang secara khusus dalam berbagai acara penting.
Dalam satu wawancara, ketika ditanya bagaimana proses yang dilalui hingga punya gagasan hebat itu, dengan bangga (dan gaya yang …) dia bilang: “Saya berpikir.”
Ternyata.. Begitu, deh. Apa yang diakuinya sebagai tulisan ternyata menjiplak tulisan orang lain. Dia sudah dapatkan nama terkenal, dipuja puji sebagai pelajar hebat, kemudian berbalik mendapat cemoohan dan cercaan sebab lancung.
Belakangan ini di beranda FB beredar kasus-kasus plagiarisme yang pelakunya juga remaja. Salah satunya bahkan memenangi berbagai perlombaan menulis dengan naskah orang lain. Dia diduga memplagiasi lebih dari dua puluh naskah. Salah seorang komentator di beranda Fbnya sampai bertanya manakah diantara tulisan (yang pernah dibaca) yang asli buatannya sendiri. Tidak ada respon atas pertanyaan ini. Saya ikut kepo dengan jawabannya.
Astaghfirullah.
Kalau melihat kultur (maaf menyimpulkan gegabah begini, red.) yang saya lihat, dengar dan alami sendiri selama 11 tahun terakhir, maka maraknya plagiarisme di kalangan pelajar rasanya bukan hal aneh. Bibit-bibit penipu sudah ditanam sejak SD. Meniru jawaban teman itu normal. Menjiplak jawaban dari buku catatan atau buku paket itu lumrah. Tidak aneh. Yang aneh justru yang tidak mau melakukan. Sok suci. Sok alim. Tidak peduli teman. Tidak mau membantu. Menghalangi kerja sama.
Mengaku-aku jawaban hasil berpikir orang lain sebagai jawaban sendiri itu boleh. Biasa. Sangat wajar.

Segitunya ya?
Tidak usah kaget. Beberapa tahun belakangan kita sudah sangat terbiasa menyaksikan tipu daya pemimpin dan orang-orang sekelilingnya. Mencla menclenya. Pendusta dipuja-puja, pelaku plagiarisme didudukkan dengan mulia.
Fakta ini akan memberikan pesan bahwa plagiat boleh. Dimuliakan kok. Itu bukan hal buruk.
Sudahlah kebiasaan umumnya adalah aksi tipu menipu di sekolah melalui menyontek, diberi tambahan contoh ‘baik’ itu. Klop.

MENGUBAH KEBIASAAN
Mengubah budaya, butuh waktu minimal satu generasi. Jika ingin mengganti budaya menyontek, plagiat, dengan yang lebih baik, harus dimulai sekarang. Hasilnya mungkin baru muncul minimal dua puluh lima tahun mendatang.
Mungkin kita sudah mati. Tapi setidaknya, ada andil yang dipersembahkan. Ada amal sholih kita dalam proses perjuangan itu.
Semoga menjadi pemberat timbangan amal di yaumil hisab kelak. Allahumma aamiin.

Sekian curcol ini.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.