WHEN I AM KEMRUNGSUNG

Sabtu, Maret 31, 2018


DULU, WAKTU KEMRUNGSUNG
Hati saya sedang kemrungsung. Kemrungsung itu bermakna gelisah, galau, ingin marah, dan lainnya. Campur aduk. Biasanya orang kemrungsung itu bawaannya emosi. Sensitif. Diusik sedikit, uring-uringan, atau sedih. Disinggung, meraung. Merasa tertampar, mencakar. Diserang, meradang. Istilah Jawanya: ‘senggol bacok’. Widiw, seram.

Apa yang dilakukan saat kemrungsung? Dulu sekali, saat SMA, jika kemrungsung, saya jalan-jalan. Bisa jalan kaki, bisa naik becak, bisa pakai sepeda gowes. Kalau cuma begitu saja, aman. Badan jadi sehat sebab banyak gerak. Yang susah itu, jika sepeda gowes kemudian parkir di depan toko. Atau becak berhenti di dekat swalayan. Saya gelap mata. Coklat, roti, biskuit, tiba-tiba nebeng ke keranjang sepeda. Tiba-tiba dompet saya meringis sebab menipis atau bahkan habis! Kemrungsung babak kedua menghadang. Saya jadi bokek.

Dalam kondisi sehat iman, sering merenungi kebiasaan ini. Ngeh bahwa kemrungsung itu sebenarnya gangguan syetan. Yuwaswisu fii suduurinnaas. Menghembus-hembuskan was-was ke dalam hati manusia. Was-was itu sohibnya cemas, takut, khawatir, galau. Setali dua uang.

SEKARANG BEDA
Kini saya punya cara jitu menghalau kemrungsung itu.
Pertama, bertemu orang. Jangan menghindar bertemu orang lain saat sedih. Niatkan pertemuan itu sebagai obat. Kadang saya berdoa sebelum bertemu. Saya mohon pada Allah agar mampu menemukan pencerahan. Doa ini sambil mengangkat tangan. Dalam kondisi berdiri, duduk. Pokoknya kudu doa yang serius walau sebentar.
Pertemuan dengan orang lain itu tarbiyah, alias pendidikan, terutama bagi jiwa. Ketika mereka bercerita banyak hal, banyak pelajaran pula yang dipetik. Bahkan ketika orang itu jutek dan menyebalkan sekalipun, selalu ada hikmah tercecer. Minimal saya melihat secara langsung, bahwa orang jutek, nyinyir, dengki itu memalukan. Menjatuhkan kehormatan.

Kedua, mendengarkan atau menghadiri kajian. Ini jelas ampuh. Halangan untuk mendatangi majelis ilmu ini ada saja bentuknya. Alasan malas, sedang ingin sendiri, bad –mood, menjadi rintangan yang membutuhkan perjuangan lain agar terkikis. Bisa hadir ke majelis ilmu merupakan separuh penyembuhan.

Ketiga, membaca. Membaca Al Quran yang utama. Tilawah, murajaah. Atau membaca terjemahnya. Membaca membuat simpul-simpul dalam otak menyerap gagasan-gagasan besar. Sehingga menjadi cermin bagi hati, bahwa masalah diri ini kecil dibanding dengan gagasan besar yang didapatkan. Paling tidak saya bisa bilang begini pada diri sendiri: “Hey, ngapain galau berlebihan? Masih banyak hal manfaat lain yang bisa dipikirkan secara serius ketimbang masalahmu.”



Atau bisa bilang begini juga: “Lebay ah. Gayamu itu seperti orang yang tidak punya Allah Yang Maha Besar saja!” Atau begini: “Badai pasti berlalu. Setelah kesedihan akan muncul kesenangan. Cemunguth!”
Langsung manjur? Nggak juga. Tapi setidaknya ada letupan-letuap energi positif yang muncul. Ketimbang terus menerus memikirkan masalah. Selalulah mencari alasan untuk gembira dan optimis.

Dalam buku La Tahzan, tertulis begini: ‘Jangan bersedih, sebab rasa sedih itu laksana angin puyuh yang hanya akan mengacaukan arah angin, membuat air bah dimana-mana, mengubah cuaca langit, dan menghancurkan bunga-bunga nan indah yang ada di taman.’
MasyaaAllah, baca bagian ‘ air bah’, saya jadi ingat air mata yang berderai-derai keluar saat berdoa dan tilawah. Sesak dada diluapkan dalam doa-doa dan pengharapan yang dilangitkan. Allahu ma’ana.

<b>Keempat, berbuat baik pada orang lain. Bila galau meraja lela, berpikirlah untuk mencari-cari amal sholih sederhana yang bisa dilakukan. Sebab berbuat baik pada orang lain itu jalan yang lapang untuk menuju kebahagiaan.
Salah satu kisah Ibnul Mubarak layak menjadi inspirasi.
Ibnul Mubarak memiliki tetangga Yahudi. Ia selalu mendahulukan tetangganya itu saat memberi makan daripada anak-anaknya sendiri. Ibnul Mubarak lebih dahulu membelikannya pakaian sebelum membeli pakaian anak-anaknya. Orang-orang banyak menawr rumahnya: “Jual saja rumahmu pada kami.”
Orang Yahudi itu berkata: “Saya akan jual rumahku ini dengan harga dua ribu dinar. Seribu dinar untuk harga rumahku. Seribu lagi karena kau bertetangga dengan Ibnu Mubarak.”
Mendengar jawaban itu Ibnul Mubarak berdoa: “ Ya Allah, tunjukilah ia ke dalam Islam.” Atas izin Allah, si Yahudi itu akhirnya masuk Islam.

Tapi... I do know that it is not easy. Kebayang bagaimana repotnya menata hati menghadapi orang yang sulit saat bermasalah. Jika bisa diajak bicara baik-baik, masih ada peluang mencari solusi secara wajar dan waras. Menghadapi orang yang sok, petantang petenteng, temperamental, dan hobi bertengkar itu yang makan hati. Eh, rugi sangat sebenarnya kalau makan hati ya. Makan tahu campur lebih maknyussss...
Prinsip menyelesaikan masalah dengan cara santun ini juga bagian dari kesehatan jiwa, kematangan dan kedewasaan berpikir, serta kualitas keimanan. Syaikhul Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa orang mukmin itu tidak akan menuntut, tidak akan menghina dan tidak akan memukul.

HIKMAH DALAM KEMRUNGSUNG
Kemrungsung timbul sebab hati tidak mampu mengolah kesulitan, musibah, sehingga muncul rasa sedih, tidak berdaya, marah, kecewa, mangkel, bete. Dan lain-lain.
Di akhir rasa kemrungsung, ketika sudah menemukan cara untuk mengatasi kesulitan, baru terasa banyak himah. Itu pun jika dibarengi dengan perenungan dan muhasabah. Meneliti dan mengevaluasi proses kemrungsung. Mulai dari awal hingga akhir.

Kesulitan atau musibah itu sejatinya membawa kebaikan-kebaikan. Diantaranya:
1. Kesulitan tu menguatkan hati. Terlatih menghadapi masalah akan menambah perbendaharaan cara dan solusi mengatasinya. Suatu waktu pengalaman itu akan bermanfaat bagi orang lain yang mengalami kesulitan serupa. Kita bisa berbagi, dan proses berbagi itu akan mendatangkan amal jariyah, insyaaAllah.
2. Kesulitan itu menghapus dosa. Berusahalah menyelesaikan dengan cara yang Allah ridho. Berdarah-darahnya (lebaaaay!) mengatasi kesulitan semoga menjadi penghapus dosa-dosa kita.
3. Kesulitan menghancurkan rasa ujub, sombong, dan takabur. Mestinya menjadi pembelajaran penting bagi hati, betapa lemahnya kita di hadapan Allah SWT. Disentil sedikit musibah dna kesulitan saja sudah kalang kabut.
4. Kesulitan menjadi peringatan agar tidak cenderung kepada dunia, merasa aman dengan kehidupan dunia dan lupa hisab di akhirat. Jika kesulitan di dunia saja kita sudah meras alemah, bagaimanakah kita akan sanggup menanggung kesulitan di akhirat? Allahu Akbar. Laa haula wa laa quwwata illa billah.
5. Kesulitan kelalaian, merupakan peringatan dini terhadap tugas-tugas mukmin sebagai seorang hamba. Kesulitan memaksa manusia untuk mengerahkan seluruh kemampuannya dalam mengatasi. Proses tersebut bisa menjadi suri tauldan bagi orang lain. Bukankah mukmin yang satu adalah cermin bagi mukmin yang lain?

BERBAHAGIALAH SEBAB KAU MUSLIM
When I am kemrungsung, ada kesyukuran yang dalam bahwa saya beragama Islam. Agama yang mengajarkan : ‘Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidaklah putus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang kafir.’ (QS. Yusuf : 87)

When I am kemrungsung, Islam mengajarkan untuk melihat lebih jauh ke depan, : ‘Kamu tidakmengetahui, barangkali Allah mengdakan sesudah itu suatu hal yang baru.’ (QS. Ath Thalaq 1).

When I am kemrungsung, kehadiran Allah menjadi keyakinan kokoh yang menentramkan : ‘Janganlah kamu bersedih karena sesungguhnya Allah bersama kita.’ (QS At Taubah 40)

When I am kemrungsung, berdoa menjadi senjata terbesar : ‘Dan, mereka berdoa kepada kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada kami.’ (QS Al Anbiya 91)

Ada sebab-sebab musibah terasa ringan, yang ditulis oleh Aid Al Qarni dalam La Tahzan.
1. Menunggu pahala dan ganjaran dari Allah.
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS Az Zumar 10)
2. Melihat kepada orang lain yang mendapat musibah. Memperhatikan musibah dan kesulitan orang lain akan menyadarkan kita bahwa hakikat hidup adalah berjalan dari satu kesulitan kepada kesulitan lain sebagai jalan untuk meninggikan keimanan.
3. Selama musibah ini berkaitan dengan dunia, dan bukan musibah atas agamamu, maka ini adalah musibah yang kecil. Jika agamamu yang cacat dan sakit, itulah kesulitan yang akan menyeretmu pada kesulitan besar di akhirat kelak.
4. Kepasrahan dalam ibadah saat tertekan dalam kesulitan itu terkadang lebih agung daripada yang dilakukan saat-saat bahagia

Berbahagialah sebab kita muslim. Nikmat agama ini adalah nikmat terbesar dalam hidup.
So, when I am kemrungsung, agama menjadi jawabannya. Yaa Muqallibal quluub, tsabbit qalby ‘ala diinika.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.