DIMULAI KELUARGA

Minggu, Maret 18, 2018


“Bu, Fulan, fulan dan fulan, melecehkan saya. Menyentuh … (sensor!) saya,” lapor seorang siswi. Dia tidak sendirian, ada dua siswi lain yang juga menghadap saya.
Di kelas-kelas di mana saya mengajar, saya memang menekankan bahwa siswa harus menjadi pelindung para siswi. Tidak diperkenankan melecehkan, membully, atau memperlakukan teman-teman putrinya dengan buruk.
Saya memanggil ketiga pelaku. Tidak bersama-sama. Mereka menghadap satu per satu. Saya menunjuk kursi di sebelah saya, berdampingan. Dialognya tidak banyak. Hanya mengajukan pertanyaan dengan nada rendah. Saya tidak memberikan petuah panjang lebar.

“Betul, kamu menyentuh tubuh temanmu dengan sengaja?”
Dia mengangguk, tertunduk.
“Kenapa?”
Dia diam.
“Punya Ibu?” Dia mengangguk.
“Punya adik?” Dia mengangguk lagi.
“Kalau ibumu ke pasar, lalu ada yang colek-colek badan ibumu, perasaanmu bagaimana?”
Dia diam. Semakin menunduk.
“Kamu senang, Ibumu diperlakukan begitu?” Dia menggeleng.
“Kamu marah?” Dia mengangguk.
“Kenapa marah? Kan gak papa dicolek-colek begitu?”

Nafasnya mulai memburu. Kepalanya semakin tertunduk. Dadanya turun naik. Tangannya gemetar menghapus air matanya yang mulai berjatuhan.
“Apa yang akan kamu lakukan?”
“Pukul!” jawabnya tersendat.
Saya menghela nafas. Tidak mengira dengan reaksinya. Selama ini saya mengenalnya sebagai siswa yang urakan, seenaknya, dan jarang bisa serius. Rambutnya gondrong, bajunya tak rapi, dan kata-katanya kasar. Secara fisik dan perilaku, dia layak dicap anak nakal. Saya sering mengatakan bahwa mereka “mendapat perhatian khusus’ dari saya. Dalam catatan. Harapan saya sampaikan dengan diksi begini: “Walau kamu tidak bisa bahasa Inggris, juga tidak suka, setidaknya tunjukkan akhlaq dan adab yang baik dalam belajar.” Ternyata cukup manjur. Dia jarang berulah.

Kembali ke kisah di atas.
“Kalau kamu mau colek teman-teman wanitamu, bayangkanlah bapak mereka, kakak laki-laki mereka, yang punya perasaan marah yang sama denganmu jika itu terjadi pada ibu atau adikmu.”

Mereka kembali ke kelas dengan kepala tertunduk dan air mata basah. Seingat saya, tidak ada lagi aduan sejenis sampai mereka lulus. Alhamdulillah.

**
“Anak saya dipanggil ‘kepala tempe’,” cerita seorang Ibu. Matanya berkaca-kaca, nada suaranya bergetar.
“Saya dengar sendiri ketika menjemput. Anak saya lewat di depan beberapa siswa, dan mereka berkomentar dengan suara keras ‘Ada kepala tempe’,” lanjutnya.
“Saya pandangi mereka, dan mereka juga sempat melihat saya. Mungkin mereka tidak tahu bahwa saya ibunya.”
“Apa reaksi putera Ibu dipanggil demikian?”
“Dia tidak mendengar, sepertinya. DI rumah sempat saya tanya, bagaimana perasaannya dengan julukan itu. Katanya dia baik-baik saja. Saya tahu dari ekspresi wajah, sebenarnya dia terluka, Mungkin dia katakan baik-baik saja untuk menghibur saya.”

Hati Ibu.
Bagi seorang ibu, anak adalah bintang. Kebanggaan yang menjadi cahaya mata. SIapa saja tentu menghendaki buah hatinya diterima dan diperlakukan dengan baik oleh lingkungannya. DIakui keberadaannya, dan dihormati dengan selayaknya.

“Barangkali, sesekali, jika suatu waktu Ibu mendengar lagi julukan buruk itu dilontarkan langsung di hadapan Ibu, Ibu bisa ajak anak-anak itu bicara baik-baik. Sebagai seorang Ibu. Sampaikan saja bahwa Ibu bersedih dengan ungkapan itu,” saran saya.
Entah benar atau tidak saran itu. Bayangan saya, Ibu itu cukup katakan dengan nada rendah dan pelan kalimat ini:”Saya mendengar julukanmu ada dia. Sebagai Ibu yang melahirkannya, saya bersedih dan sakit hati. Tolong jangan lakukan itu lagi Saya yakin, Ibumu juga akan merasakan hal yang sama dengan saya jika kamu diperlakukan demikian.”

Saya pernah melakukan hal yang serupa. Ketika Hfidz bersepeda ke sekolah, ia sempat mengadukan sepedanya yang sering dimainkan oleh kakak-kakak kelasnya.
“Katakan pada mereka, jangan mainkan sepedaku,” kata saya.
“Aku gak berani,” katanya. Saya maklum, dia masih kelas dua.
Saya sudah adukan ada sekolah, namun sepertinya tidak mempan.
Suatu pagi, saya menunggu di masjid dekat tempat parker sepeda. Beberapa anak kelas lima dan enam berjalan ke tempat parker lalu mengambil dua sepeda. Salah satunya sepeda HAfidz. Mereka bergantian berboncengan keliling halaman di depan masjid.

Saya mendekat, lalu melambai, meminta mereka berkumpul dekat saya. Mereka menurut.
“Maaf Mas, ini sepda siapa yang dimainkan?”
Mereka tidak menjawab.
“Sudah izin dengan yang punya ?” Mereka menggeleng.
“Mohon lain kali tidak begini lagi ya. Jangan mainkan sepeda di tempat parkir sembarangan, itu tidak bertanggung jawab. Kalau mau pakai, minta izin dulu pada yang punya. Jika yang bersangkutan tidak mengizinkan, tidak boleh memaksa, apalagi mengolok-olok,” kata saya.
“Maaf Bunda,” kata salah satu diantara mereka.

Eh, nyambung nggak ya? Poinnya adalah pada mengajak mereka bicara sebagai seorang Ibu, dengan nada kasih sayang. Bukan memarahi atau berkata kasar dan keras.

**

Inti pesan dari dua kisah di atas sama. Ajaklah pelajar (yang melakukan perundungan pada temannya) berpikir dari sudut pandang lain. Tentang perasaan ibu, atau keluarga intinya, jika ia alami hal serupa.

Rasulullah saw pernah memberikan nasihat dengan cara yang sama ketika ada pemuda yang meminta izin berzina. RAsulullah saw tidak langsung mengatakan tiadak boleh, tetapi memberi pertanyaan-pertanyaan retoris dengan : “Relakah kami jika ibumu dizinai?” Tentu saja jawabannya adalah tidak.

Menurut saya, ada beberapa keuntungan jika nasihat diberikan dengan cara begitu.

Pertama, agar ia bisa memahami ekses perbuatan buruknya. Agar dia bisa meraba perasaan korbannya.
Kedua, menyadarkan bahwa keburukan akhlaqnya berpengaruh luas, tidak hanya pada personal korban, tapi juga keluarga. Ini berpotensi menimbulkan permusuhan dalam skala yang lebih besar. Bayangkan jika pihak keluarga korban adalah tipikal keluarga temperamental, pendendam, dan sama kasarnya. Akan terjadi balasan-balasan yang memperuncing keadaan.
Ketiga, keburukan akhlaqnya itu melukai kehormatan keluarga lain dan meruntuhkan wibawa keluarganya sendiri. Pihak keluarga korban merasa terhina. Sementara keluarga pelaku akan dianggap tidak bisa mendidik, dan gagal mengkondisikan anak-anaknya.

Namun muncul pertanyaan berikutnya.
Apakah cara itu mempan bagi anak-anak yang kehilangan arti keluarga dalam dirinya?
Anak-anak yang merasa tidak dipedulikan orang tua?
Atau anak-anak yang merasa orang tuanya sibuk bertengkar di hadapannya, atau sibuk dengan urusannya sendiri sehingga dia kehilangan labuhan jiwa?
Atau anak-anak yang jauh dari belaian dan kehangatan kasih sayang orang tua?

Aih, sesak perasaan membayangkan anak-anak itu.
**
Kokohkan keluarga, wahai Ayah Bunda.

Ajarkan anak-anak sikap saling mengayomi, mengasihi, menghormati. Berikan contoh riil bagaimana itu dilakukan. PAstikan anak-anak melakukan proses pertemanan yang hangat. Dorong mereka untuk berkawan dengan prinsip surat Al Ashr: saling menasehati dalam kesabaran dan saling menasihati dalam kebenaran.
Dua prinip diatas insyaaAllah akan membuat pertemanan mereka sehat, produktif, dan mengarah pada perbaikan dan kebaikan.
Apakah prinsip dalam surat A Ashr itu selalu relevan? Saya yakin demikian. Tinggal kita sebagai orangtua memilih cara, waktu, dan diksi yang tepat.

Mulailah kebiasan itu dalam keluarga. Anak-anak akan meniru, dan menerapkannya dalam interaksi sosial mereka.
Begitchu. Wallahu’alam.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.