SIE KONSUMSI

Sabtu, Maret 24, 2018


TUGAS MENDADAK BARU
Dua hari menjelang berakhirnya diklat perpustakaan, saya mendapat kabar bahwa saya dialihkan menjadi koordinator konsumsi. Sebelumnya saya berada id kesekretariatan bersama 4 rekan guru lainnya. Menjadi seksi konsumsi di sekolah adalah pengalaman baru. Pada dasarnya sama saja dengan sie konsumsi umumnya, namun ada hal-hal khusus yang membuat saya agak cemas. Apalagi beralihnya di tengah kegiatan, ketika kepanitiaan sudah berjalan separuh.

Hal-hal khusus itu adalah:
Pertama, rekan-rekan di sekolah termasuk orang-orang yang ‘rumit’ untuk urusan konsumsi. Konon kabarnya, ada yang protes dengan cara melempar kuenya di depan salah satu panitia. Aduh, (hampir) seram. Setidak enak apa itukue sampai perlu diekspresikan dengan cara demikian?
Baca: Nikmati atau Tinggalkan.
Kedua, satu dua orang (konon lagi) cukup vokal. Berani menuntut dan meminta standar konsumsi yang sesuai dengan kelayakan yang mereka yakini.
Ketiga, memenuhi selera banyak orang tidak mudah. Jika orang-orangnya nriman dan legowo, tidak apa-apa. Jika tidak, itu berabe. Bahasan seputar konsumsi (alias makanan) akan menjadi bahasan serius dan panjang.
Baiklah. Seseram apa pun cerita, saya tetap harus memenuhi amanah, bukan?

Ternyata, kisah seram itu tidak benar. Yang benar adalah: serrrr....ruuuuu.
Mungkin sebab saya sudah dibayang-bayangi oleh berbagai kisah sedih dan duka tim konsumsi yang harus menempatkan diri antara kebijaksanaan (alias ‘peraturan’) dan keinginan atau harapan.
Mereka (tim konsumsi sebelum saya bergabung) kudu salto, jungkir balik, dan putar-putar untuk menyelesaikan amanahnya. Segitunya? Itu penggambaran saya saja, untuk mendeskripsikan secara sederhana. Detil kisahnya bagaimana? Ah, jangan ditulis. Biar jadi kenangan manis mereka berdua. Jadi, konon katanya, saya ditugasi bergabung agar bisa membantu mereka.

**


Bu Lela curcol (picture was taken by Bu Robiatul A)

Tidak sekedar sie konsumsi, ternyata. Saya menjadi tim konsumsi plus. Plus curhat! Hehehe.
Adalah Bu Lela, yang menjadi teman diskusi (nyerempet curhat!). Kami mengobrol tentang usia dini, memulai sekolah dan berbagai pernik-pernik polemik. Sesi curhat colongan ini difoto, dan saya tertawa melihat hasilnya. Ekspresi saya yang terekam cie cie. Sok serius. Sementara Bu Lela juga tampak antusias.

Ada tragedi lucu berkaitan dengan konsumsi. Senin, banyak guru berpuasa. Salah satu bapak guru menyimpan nasi kotakny adalam kresek merah, lalu menggantung di motornya. Seekor kucing yang hamil tua (penting gitu, hamil tua disebutkan?), berambisi melihat kantong itu. Dia berjuang dan berusaha gigih. Berhasil, uyeee! Kantong merah robek, kotaknya jumpalitan keluar. Beruntung ada guru lain yang memergoki. Kucing itu lintang pukang menyelamatkan diri. Kotak itu gagal diselamatkan! Ujungnya sudah lubang, isinya tumpah berantakan. Kotak itu disimpan di atas jok. Saya berhasil menfotonya, dan mengirimkan pada bapak guru tersebut.
“Pak, kardusnya dieker-eker kucing. Nanti kami ganti, ya Pak.”
“Nggeh, matur nuwun, Bun,” balasnya. Kamis berikutnya, beliau menyimpan nasi kotak di ruang guru. Aman dari kucing.


kotak pak Anam yang mengenaskan..

KERJA RODI
“Konsumsi ya?” seseorang menuding saya dengan telunjuknya.
“Saya mau komplen,” dia kembali menunjuk saya. Kilatan matanya tajam, sepertinya kecewa. Mulailah beliau bicara. Intinya, bagi beliau, konsumsi tidak memadai. Sebab cuma sekotak nasi.
“Memangnya kerja rodi?” pungkasnya, sambil berjalan meninggalkan saya.
Saya menjelaskan seperlunya saja. mendengar kalimat terakhir, saya terdiam. Kalimat terakhir yang menyentil. Kerja rodi.
Saya membayangkan kerja rodi ala romusha: mengangkat batu-batu besar, di tengah terik matahari. Berpeluh-peluh, di bawah pengawasan mandor yang kejam. Salah sedikit, dipecut. Lembek sedikit, dicambuk.

Sepanjang membaca kisah sejarah kerja rodi, saya belum temukan persoalan konsumsi diceritakan. Jadi, ungkapan kerja rodi yang dikaitkan dengan kurangnya konsumsi itu tidak masuk di nalar saya. Walaupun berlama-lama di kantor sebab pekerjaan yang menumpuk, masih sangat jauh dari penderitaan kerja rodi. Saya bekerja di ruang ber-ac. Minum tersedia, tinggal pencet galon. Tempat duduk nyaman. Bisa leyeh-leyeh kalau capek, tanpa takut pecut dan cambuk. Dimana kerja rodinya? Ah, mungkin saya yang gagal paham, yes. Baiklah, lupakan saja.

SEBELAH MATA
“Maaf ya, Bun, dijadikan konsumsi,” kata seseorang.
“Memangnya kenapa?”
“Yaaa, kan Bunda habis ikut diklat, terus sekarang ngurusin konsumsi. nJomplang! (tidak sebanding, red).”
“Tim konsumsi itu sering diremehkan, diperlakukan seenaknya,” kata yang lain.
“Kenapa?”
“Dianggap rendahan,” katanya lagi.

Oh ya. Anggapan bahwa tim konsumsi hanya mengurusi hal-hal remeh, mungkin sudah jamak. Istilahnya, tak perlu orang hebat untuk menjadi anggota tim konsumsi. Padahal bagi saya menjadi tim konsumsi itu menantang.
Pertama, saya tidak bisa masak. Orang tidak bisa masak, sekaligus juga tidak peka dengan makanan. Standar enak tidak enaknya tdaik jelas.
“Jangan tanya rasa sama Bunda Umi. Semua dibilang enak!” celetuk teman yang jago masak dan hobi incip-incip dan hafal warung-warung enak. Dia benar! Horee!

Kedua, memikirkan pergantian menu, itu cukup memusingkan. Bayangkan, perlu sediakan nasi kotak untuk sekitar 100 orang selama hampir dua pekan! Ah, saya gak sanggup. Serahkan saja pada catering, yes!
Selain anggapan sie konsumsi itu bagian ecek-ecek, ada faktor lain lagi.

“Mereka (dua tim konsumsi saya, red.) kan juga masih PTT dan GTT,” kata yang lain.
“Terus kenapa?” Saya melongo lagi.
“Iya, kan bukan PNS.”
“Terus kenapa kalau bukan PNS?”
“Kalau bukan PNS, biasanya direndahkan.”
“Emang kalau jadi PNS, otomatis jadi hebat, gitu?” Saya masih tanya. Gagal paham lagi dengan logika ini. Apa hebatnya jadi PNS? Jutaan PNS di Indonesia. Apa istimewanya? Apa otoritas seorang PNS hingga boleh merendahkan yang bukan PNS? Hallo, help me to understand this!

Ah, ya sudahlah. Intinya begitulah.
Menjadi tim konsumsi ujian sekolah itu berarti menjadi tim konsumsi selama berbulan-bulan, Ini kepanitiaan panjang. Yoooo...ayooo semangat, rek!




2 komentar:

  1. jadi seksi konsumsi itu emang bikin tegang Mbak. ingat dulu teman yg jadi ketua seksi konsumsi, duuhh ikutan dag dig dug derr juga lihatnya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha.. iya benar. Tegang. Khawatir tidak sesuai dengan selera orang banyak. Khawatir konsumsinya datang terlambat dan jadi bahan omelan orang-orang yang sudah kelaparan... Seru-seru syedaaaap...

      Btw, makasih sudah mampir, mba Diah.. Muah.

      Hapus

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.