APA BERHALAMU?

Rabu, Maret 14, 2018


Di hadapan shahabatnya, Rasulullah saw bersabda:
Akan datang suatu zaman atas manusia, perut-perut mereka menjadi tuhan-tuhan mereka. Perempuan-perempuan mereka menjadi kiblat mereka. Dinar-dinar (uang-uang) mereka menjadi agama mereka. Dan kehormatan mereka terletak pada kekayaan mereka.”
Para shahabat menyimak dnegan takzim dan khusyuk.
Waktu itu tidak tersisa dari iman kecuali namanya saja. Tidak tersisa dari Islam kecuali ritual-ritualnya saja. Tidak tersisa Al Quran kecuali sebatas kajiannya saja. Masjid-masjid mereka makmur, tapi hati mereka kosong dari petunjuk (hidayah Allah). Ulama-ulama mereka menjadi mahluk Allah yang paling buruk di muka bumi.”

Kecemasan membayang di wajah para shahabat. Mereka sedih membayangkan keadaan buruk yang digambarkan Rasulullah saw dalam kalimat-kalimat di atas. Rasulullah sawa menerukan sabdanya dengan penjelasan lebih lanjut.
Kalau sudah terjadi zaman seperti itu, Allah akan menyiksa mereka dan menimpakan kepada mereka empat perkara (azab). Pertama, kekejaman tak terperi dari penguasa. Kedua, kekeringan tak terhingga yang sangat lama. Ketiga, beraneka kezaliman para pejabat kepada rakyat jelata. Dan keempat, pisau hukun para hakim tumpu, sekarat dan berkarat.”

Para shahabat terheran-heran. Mereka bertanya:
Wahai Rasulul Allah, apakah mereka penyembah berhala?
Ya! Bagi mereka, setiap dirham (uang) menjadi berhala (dipertuhankan/disembah),” jawab Rasulullah saw.
Hadist ini diriwayatkan oleh Bukhari Muslim.

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah sawa bersabda bahwa:
Orang tidak mengenal ulama kecuali karena pakaiannya yang khas (sorban), dan bukan karena ilmu serta akhlaqnya. Orang tidak mengenal Al Quran kecuali karena suaranya yang merdu. Mereka tidak beribadah kepada Allah kecuali di bulan Ramadhan saja. Bila ulama-ulamanya sudah seperti itu, dan bila umat Mulsim hanya bersungguh-sungguh melakukan ibadah di bulan Ramadhan saja, maka mereka akan diberi penguasa yang tidak memiliki ilmu. Tidak ingin memafkan rakyatnya. Dan tidak mempunyai kasih sayang pula terhadap mereka.”
Lalu Rasulullah saw melanjutkan:
Nanti pada akhir zaman, ada sekelompok umatku yang datang ke masjid. Mereka duduk dalam barisan yang rapat. Mereka berdzikir. Namun dzikir merek adalah dunia, dan kecintaan mereka terpaut pada dunia. Janganlah kamu duduk bersama mereka, karena Allah tidak berkepentingan dengan mereka.”

**

Dahsyatnya fitnah dunia! Kabar tersebut menampar kita yang hidp pada zaman sekarang, zaman now.

Apa berhalamu?
Perut-perut meraka menjadi tuhan-tuhan mereka.
Saya jadi menelisik diri sendiri. Apakah makanan sudah menjadi tuhan? Menjadikan makanan sebagai prioritas utama hidup. Senang jika makan enak, sedih jika sebaliknya. Mencari-cari yang lebih dan mengeluhkan makanan yang sederhana atau tidak sesuai harapan.
Rakus mengambil dalam jumlah besar namun akhirnya membuang sebab tak kuat menghabiskan. Ah, lapar mata, tamak, menjebak manusia pada keburukan lain: mubadzir.

Apa berhalamu?
Perempuan-perempuan mereka menjadi kiblat mereka.
Para bapak membiarkan putri-putrinya dengan pakaian ketat, pendek, memamerkan rambutnya. Yang berjilbab tidak diarahkan untuk memakain jilbab sesuai syariat: yang tidak membentuk badan, tidak tipis,
Para suami biarkan isterinya tabarruj. Berlipstik menyala, alis yang dipahat, pipi dan mata merona sebab make up. Tak ada cemburu ketika isterinya melakukan itu, malah bangga dan senang sebab isteri modis dan cantik.
Laki-laki menjadikan perempuan sebagai obyek syahwat. Dengan candaan, dengan perbuatan. Guyonan-guyonan saru menjadi bumbu percakapan yang seru. Status perawan atau janda adalah kelakar nakal yang menjurus pada pelecehan. Dan mereka merasa melakukan itu. Tak ada perasaan malu apalagi hina. Mereka lupa, bahwa memuliakan wanita hanya bisa dilakukan oleh laki-laki mulia. Mereka tidak merasa, perkataan dan perbuatan mereka tentang atau terhadap perempuan menujukkan kehinaan.



Apa berhalamu?
Dinar-dinar (uang-uang) mereka menjadi agama mereka. Dan kehormatan mereka terletak pada kekayaan mereka.
Kini sudah terjadi. Uang sudah menjadi buruan sebagian besar manusia.

Contoh sederhananya adalah bergairah bekerja jika ada iming-iming uang. Tidak bersemangat ketika dirasa tidak menguntungkan secara materi.
“Untuk apa bekerja sungguh-sungguh jika gajinya kecil?” Kalimat ini sering saya dengar.
Gaji memang hak yang harus diperjuangkan. Namun jika kontrak kerja sudah dilakukan, dan kita bersepakat atas nominal yang sudah ditentukan, maka ada amanah yang harus dituntaskan. Amanah menyelesaikan pekerjaan dengan usaha dan ikhtiar terbaik.
Jika dirasa tidak memadai, atau tidak kuat lagi menanggung beban pekerjaan dengan gaji yang disepakati, letakkan jabatanmu. Kembalikan amanahmu. Itu namanya bersikap konsisten dengan konsekwen dengan pilihan. Itu baru ksatria.

Saya akan bekerja sungguh-sungguh jika sudah jadi pns.” Atau “Kerja akan maksimal jika gaji besar.”
Kalimat pengandaian, sebagian besar tipuan. Gedabrusnya syaitan dalam jiwa kita. Pembenaran syaitan yang dihembus-hembuskan untuk membuat kita tidak merasa bersalah atas etos kerja dan sikap tanggungjawab yang rendah.

Etos kerja itu habit, karakter yang dipupuk dari kebisaan sehari-hari. Jangan mimpi punya etos kerja tinggi saat jadi PNS, misalnya, jika sehari-hari kini seenaknya. Datang terlambat, pulang paling cepat. Ngersulo, nggerundel, dan saling melemparkan tanggung jawab dalam kerja tim. ‘Saya sudah kerja, dia belum. Sekarang saya istirahat dulu.’

Bekerja tidak dianggap sebagai ladang amal. Pahala tidak menjadi orientasi. Yang penting hanya uang. Ada uang aku senang, tak ada aku meriang.
Ada uang hati riang, tak ada hati sungsang. Terhadap orang-orang yang memberi ‘amplop’ besar ramah, pada yang tidak memberi ‘amplop’ marah.
Kita sering lupa, kesungguhan bekerja akan mengundang rahmat Allah SWT. Rezeki akan mengalir dari arah yang tidak diduga. Rahmat Allah SWT juga menumbuhkan ketenangan, keyakinan atas pertolongan Allah SWT.

Dan kehormatan mereka terletak pada kekayaan mereka.
Kita memberikan pelayanan dan penghormatan maksimal pada orang dengan jabatan tinggi, atau orang kaya. Tak ada yang salah dengan itu, sebenarnya, jika dilakukan dengan proporsional. Yang menjerumuskan adalah ketika penghormatan pada si kaya itu diikuti dengan kebiasaan merendahkan si miskin. Pelayanan menjadi seenaknya. Perlakuan semena-mena, tak ramah, ketus, dan menyepelekan.
Berani mengintimidasi kelompok yang dianggap ‘rendahan’, bawahan, tapi merunduk-runduk, menjilat pada pejabat dan orang kaya.
Itu menjijikkan.
Bibit-bibit pengkhianat dan pengecut dipupuk dalam kultur demikian. Seiring jabatan hilang, penghormatan melayang. Setelah uang lenyap, penghargaan menguap. Seram. Pertemanan demikian tidak akan mendekatkan kita pada syurga. Jauh.

Waktu itu tidak tersisa dari iman kecuali namanya saja. Tidak tersisa dari Islam kecuali ritual-ritualnya saja. Tidak tersisa Al Quran kecuali sebatas kajiannya saja. Masjid-masjid mereka makmur, tapi hati mereka kosong dari petunjuk (hidayah Allah). Ulama-ulama mereka menjadi mahluk Allah yang paling buruk di muka bumi.

Astaghfirullah.

Telisiklah dalam hati, Bunda. Apa kabar iman?
Bagaimana Islam dalam dirimu? Sekedar sholat? Sekedar puasa, zakat, haji? Masih menghabiskan waktu untuk hal sia-sia? Bagaimana pakaianmu? Asal menutup saja, tidak memperhatikan batas-batas syariat? Bagaimana pergaulanmu di sekolah, tempat kerja? Bebas aktif, alias aktif berkata kotor dengan alasan bercanda? Aktif bersentuhan dengan yang bukan mahwram atas nama tuntutan sosial? Masih getol mendekati riba, dengan berbagai alasan?

Bagaimana Al Quranmu? Dibaca hanya sepekan sekali? Atau dismpan rapi, dan menjadi pajangan cantik di lemari?
Masjid megah, namun tak penuh oleh jamaah. Laki-laki banyak sholat di rumah. Dengan dalih baru pulang kerja, ingin istirahat, masih lelah. Berjauh-jauh mengayuh sepeda, menyetir mobil mencari tempat indah. Namun melupakan labuhan jiwa resah yang terdekat, yaitu masjid.
Kata seorang ustadz: “Kalau laki-laki tak mau jamaah di masjid, sholat di rumah saja, pakai mukena!” Sepakat!

**
Btw, saya sudah capek menulis. Sementara ini dulu. InsyaaAllah ditulis lanjutannya.
Kebenaran dari Allah SWT, keburukan sebab hawa nafsu saya pribadi.
Salam rindu! Eh.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.