ENERGI HEBAT FLP

Kamis, Maret 22, 2018


MENDADAK FLP
Kecemplung di FLP adalah momen terindah. Kecemplung, dalam arti sebenarnya. Asli kecemplung, kejlungup, lalu ketiban rejeki nomplok.

“Bu Umi, FLP saya serahkan Antum, ya?” kata Ustadz Fathoni. Seingat saya itu diucapkannya ketika kami bertemu di sekolah. Sama-sama menjemput anak. Jangan bayangkan kami sedang berdiskusi panjang kali lebar, ita itu, ini inu. Bertemunya kami adalah sama-sama di atas…motor!
Mendapat (kulit) durian runtuh itu membuat saya ‘tolah toleh’. Tolah toleh means saya bingung, tak tahu harus berbuat apa. Mau nanya, pada siapa?

Saat itu saya sedang mencoba mengasah kemampuan menulis cerita anak setelah memenangkan lomba menulis cerita. Belum ada pengalaman yang memadai untuk menakhodai organisasi penulis yang saya dengar isinya orang-orang hebat.
Sebagian nama-nama pendiri, pengurus pusatnya pernah saya baca karyanya di majalah Annida atau Ummi. Seperti melihat menara gading, saya berdecak kagum dengan karya dan semangat yang membuncah dalam karya-karyanya. Bukan sekedar menulis, ruh dakwah dan pesan-pesan kemanusiaan sangat terasa. Karya demikian tidaklah muncul kecuali dalam diri penulisnya memiliki ruh dan semangat yang tinggi.
Lalu, apa yang saya lakukan? Tidak melakukan apa-apa. Berbulan-bulan saya bengong. Tidak tahu harus mulai dari mana.

Takdir Allah mempertemukan saya dengan Friliya, mahasiswi UNIPDU yang enerjik. Ia memprakarsai pertemuan dengan Pipit Senja, dalam sebuah bedah buku di aula UNIPDU. Itu acara besar pertama atas nama FLP Jombang.
Saya sendiri pernah mencoba membuat acara dengan mengundang Sinta Yudisia. Yang hadir adalah…dua orang saja! Acara batal? Tidak, urat malu saya putus saat itu. Muka saya tebal, berbahan beton.

Sementara itu, saya berusaha tetap menulis. Mengirimkan naskah ke majalah anak-anak. Beberapa dimuat, beberapa ditolak. Beberapa undangan mengisi acara kepenulisan saya penuhi. Saya masih haus semangat, haus ruhiyah dakwah pena.
Komunikasi dengan Ketua FLP Jatim saat itu, Luthfi Adam, tidak terlalu intens. Sebab saya sendiri memprioritaskan kegiatan dinas dan rumah.
Nama-nama pendiri dan pengurus pusat FLP yang saya tahu juga Cuma satu dua saja.

MULAI INSAF
Tanda-tanda keinsafan belum terbit dari timur. Saya masih sok sibuk begini dan begitu. Saya tidak mengenal ketua flp dari kota lainnya. Informasi seputar kegiatan FLP JAtim tidak banyak diketahui. Saya adalah ketua FLP cabang yang bingung dan membingungkan.
Tahun 2013, saya menghadiri MUNAS di Denpasar, Bali. Ikut sebab perlu ada yang hadir dari cabang. Saya hadir sendirian, modal nekat saja. Ada keponakan di Bali, dan saya berniat main ke sana. Niat ingsun hadir sebentar di acara pembukaan plus satu dua sesi, lalu anjangsana ke rumah ponakan itu. Bermalam di sana, supaya bebas bercengkrama.

Saya memilih duduk di belakang. Squad JATIM hadir beberapa, dan sebagiannya saya kenal ketika workshop menulis di rumah ketua FLP Jatim. Mereka duduk di depan. Masih muda-muda, dan cerewet-cerewet.Suaranya lumayan dominan, alias terdengar sampai belakang.
Beberapa saat, tibalah pemilihan pimpinan sidang. Saya sibuk chatting dengan keponakan, merencanakan kapan dan bagaimana bertemu.

“Pimpinan sidang salah satunya muslimah. Siapa calonnya?” Suara tin SC (steering comittee) terdengar. Saya masih asyik dengan hape.
“Mbak Umi, JATIM!” Lantang suara itu, saya terlonjak. Siapa sebut nama saya? Saya tidak kenal siapa-siapa kecuali squad Jatim.
“Mbak Umi, mana?” Kawanan muslimah yang paling depan menoleh dan menunjuk saya. What? Hey, saya tidak mau. Aduh, tidak ada plan B dalam rencana anjangsana ini. Adanya 3 rencana saja: Rencana, A, A lagi, A saja!

Saya menolak. ‘Tidak, tidak, jangan saya. Pilihlah yang lain saja. Tidak...’ (Gaya dubbing telenovela jaman baheula. You paham? Aih, jadul!)
“Saya tidak bisa,” saya berusaha menolak.
“Tidak apa-apa Mbak, dicoba saja!” Ada yang membujuk begitu. Aduh, Oom, bukan itu. Saya pernah memimpin sidang-sidang di kampus dulu, dari sidang yang tenang hingga sidang yang penuh huru hara. Tapiii... Ah, piye iki? Kan tidak mungkin saya bilang saya mau kabur? Niat ingsunnya bakal ketahuan!

Squad Jatim? Walah, dengan hip hip hura mereka mendukung seribu persen!
Akhirnya, pasrah deh. Mau tidak mau kudu menjadi satu diantara tiga pimpinan sidang. Dua pimpinan sidang lainnya dari Kalimantan dan NTB. Keduanya ustadz asli, kalem, tenang, dan sholih. Tidak seperti saya yang gegap gempita. Ya sudahlah, palu di tangan, meja di depan, mari berjalan!

SIDANG YANG INDAH
Ini sidang terindah yang pernah saya lewati. Beberapa hal sama dengan sidang-sidang terdahulu: bertele-tele, titik koma, diksi A diprotes supaya bisa jadi B, perdebatan ke sana ke mari, ke sini ke situ. Yang berbeda, tak ada nada tinggi, tak ada yang banting kursi, tak ada otot di leher yang menonjol. Diskusinya bernas, cerdas, dan dalam. Ah, daku melongo-melongo mendengar berbagai paparan argumen. Hiks, daku terharu. Allah Maha Baik padaku, mahluknya yang banyak khilaf ini, diperkenankan bertemu orang-orang yang dahsyat.
Selama ini saya sudah sering bertemu dan beraktifitas dengan teman-teman dakwah di Jombang. Level kabupaten, dengan ciri khas yang sama: tenang, damai, menyejukkan. Di arena MUNAS itu bertambah beberapa poin: cerdas, berkelas, sekaligus melangit.

Ada Maimon Herawati (dari Bandung, dosen PTN di sana), Sinta Yudisia (Suarabaya), Afifah Afra (Solo), Intan Savitri (Jakarta), Habiburrahman El Shirazy (siapa tidak kenal beliau?), Helvy Tiana Rosa (Jakarta). Mereka penulis-penulis yang saya lihat dari jauh, sebagai menara gading. Cuma bisa dilihat dan dikagumi, saya melambai saja belum tentu kelihatan. Sekarang satu ruangan, dan bisa mendengar mereka berpendapat. Saya menyerap banyak hal, terutama semangat dakwah dan kecerdasannya. MasyaaAllah. Ini fase ketiban sampur yang sangat saya syukuri.

Sidang berjalan baik, alhamdulillah. Setelah pemilihan ketua, terjadi lobby ketua terpilih saat itu. Agar saya bisa bergabung menjadi pengurus pusat. Maafkan, saya tidak bisa. Bukannya sok sibuk atau sok menolak, tapi sebab saya tahu saya tidak akan mampu. Saya bukan ornag yang pintar memenej waktu, ditambah fisik yang tidak cukup kuat. Menjadi pengurus pusat bukan amanah sederhana dan enteng. Perlu usaha ekstra untuk membagi waktu untuk amanah-amanah lain di level Jombang. Dan saya tahu bukan saya orangnya.

MESIN FLP JOMBANG BERGERAK
Dengan semangat copas dari MUNAS, FLP Jombang mulai bergerak. Walau dengan lagkah seadanya, tertatih-tatih dan serba bingung, langkah harus dibuat. Berkumpullah saya dan beberapa orang (yang rata-rata sudah usia ‘matang’!). Raker dilakukan. Dan...ternyata sulit!
Mesin yang komponennya para pekerja itu tidak efektif. Sudah ribet dengan urusan domestik dan tempat kerja.

Rapat-rapat selanjutnya berjalan alot. Satu acara besar dilakukan dengan mengundang Kang Abik. Acara berjalan cukup sukses. Namun kami kesulitan membina yang mendaftar sebagai anggota FLP. Akhirnya... Tak ada foloow up. Ah, sedih sebenarnya.
Namun, inilah awalnya. Qodarullah, melalui seminar itu, saya dipertemukan dengan dosen UNIPDU yang kemudian menitipkan beberapa mahaisiswinya untuk dibimbing menulis. Mereka Tarwiyah, Ninik, dkk. Saya juga dipertemukan dengan Zaky, komikus, yang merintis belajar membuat komik otodidak dari bawah. Dia baru lulus MAN dan beberapa kali ke rumah.

Akhirnya, saya membuat kelas menulis sore hari. Membedah karya, latihan menulis, dan diskusi. Jurus yang dipakai masih jurus drunken-master, yang penting mereka mulai berlatih menulis.
Kesempatan ikut writing camp di Malang tidak saya sia-siakan. Saya ajak Zaky hadir. Saya termasuk peserta tertua, hahaha. Bae lah!

Singkat cerita...
Capek juga menulis lengkap. Disingkat saja yes.
Mesin FLP Jombang mulai panas lagi. Berturut-turut bergabung Sylviy, dan Listi. Lalu berikutnya, berikutnya. Kami adakan Musyawarah Cabang untuk pergantian pengurus. Terpilih Syiviy, dan dia nakhoda yang tepat. Emak-emak macam saya kudu undur segera, agar darah muda menjadi energi utama organisasi ini.

MUNAS IV
Munas ke IV, kali ini saya tidak sendiri. Ada Sylvi dan kawan-kawan. Squad Jatim datang berombongan naik kereta. Heboh, heboh, heboh. Saya naik pesawat, bersama Sylviy dan Vita, dari Ngawi. Kami sama-sama pasukan pekerja, yang harus memperhitungkan izin kerja.
Sejarah berulang, kembali menjadi salah satu pimpinan sidang di Munas IV ini. Bersama f=delegasi NTB (lagi!) dan dari Sulawesi.

Kisah seputar MUNAS IV bisa dilihat di sini.

Juga disini.
Dan disini.


Munas IV ini menambah kecintaan pada FLP. Senang sekali berkesempatan berfoto bersama 3 perempuan keren: Teh Maimon, Mba Afra, dan Mba Sinta Yudisia. Tiga perempuan tangguh yang meluangkan waktu banyak untuk dakwah dan kemanusiaan. Membuat saya bercermin mengenai kontribusi: sudah berbuat apa untuk ummat? Sudah menulis apa untuk kemanusiaan? Sudah melakukan apa untuk perbaikan?

Pertanyaan itu bikin hati jadi malu. Bismillah, tiru-tiru mereka. Mau ikut? Yuk.

1 komentar:

  1. Masya Allah membaca tulisan bunda tentang FLP seolah sedang menyelam dan menikmati pesona terumbu karang.
    Barakallah FLP

    BalasHapus

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.