WAJAH-WAJAH RATA (MUNAS IV FLP BAG 3)
Di Trowulan, perjalanan menuju Surabaya, saya baru ingat satu hal: kacamata! Kacamata teringgal! Astaghfirullah. Ceroboh, gegabah! Tidak teliti! Pikun!
Biasanya jika akan pergi, saya buat list. Daftar barang yang harus dibawa. Semua tertulis detil. Dari yang sangat sepele sampai yang puwenting. Dari yang kecil sampai yang buwesar.
Di sekolah sempat membuat list, tapi belum komplit. Sudah begitu, tertinggal pula di meja kerja. Huh.
“Kacamataku keri!” Saya berbisik-bisik.
Mas Budi mencibir, jengkel. Ya ya ya, memang menjengkelkan. Sudah tahu kacamata itu super penting, kenapa bisa luput? Saya gak bisa baca kalau gak pakai kacamata. Berbeda dengan mas Budi. Matanya jauh lebih baik, belum menggunakan kaca mata.
Saya meraba tas. Ada buku yang akan dibaca. Terpaksa dianggurkan. Saya memikirkan acara Munas nanti. Pasti ada bahasan yang memerlukan membaca. Rencananya masuk di Komisi A, membahas Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Biasanya, pembahasan Komisi ini agak alot, dan pasal-pasalnya lumayan banyak. Bagaimana bisa membaca dan membahas dengan baik tanpa kacamata? Ya Allah!
Di pesawat, saya memikirkan alternative membeli kaca mata murah meriah. Konon kata salah satu ibu guru, ada kacamata yang harganya hanya kisaran puluhan ribu. Oleh sebab itu, beliau punya lebih dari dua kacamata. Satu di mobil, satu di kantor, satu di tas, dan satu di rumah. Namun demikian, walau sudah punya banyak kacamata, tetap saja beliau suka lupa membawa. Yang ada di mobil terbawa entah kemana. Di dalam tasnya lenyap tak terlacak rimbanya. Alhasil, jika sudah kelimpungan karena perlu membaca, beliau meminjam kacamata dari siapa pun. Asal bisa buat baca, yo wis.
Turun dari pesawat, saya menyampaikan keinginan membeli kacamata murah pada adik yang menjemput. Dia berjanji akan mengantar. Kami berhenti di salah satu optic di sekitar jalan Pajajaran.
“Cari kacamata baca yang murah,” kata saya pada penjaga optic. Dia menunjukkan sudut kacamata murah meriah itu. Harganya diatas seratus. Itu sudah yang termurah.
Saya mencoba satu persatu.
“Bagaimana?” say amenoleh pada Anis, adik nomor enam.
“Terlalu serius, ah, jangan.”
Saya mencoba yang lain.
“Gimana?” Saya menoleh pada Siylvi.
“Ah, nggak, nggak, jangan!” Siylvi menggeleng kuat-kuat. Wajahnya tampak terkejut. Mungkin saya menjelma jadi mahluk berwajah sangat aneh.
“Ini, Cil?” Kembali saya meminta pendapat Anis.
“Yang warna lain gak ada kah? Jangan hitam, coba yang putih,” sarannya.
Saya mengintip etalase. Ada yang putih, tapi mehoooong! Ogah! Eman duitnya. Masa habis gara-gara kacamata.
Akhirnya, dipilihlah satu kacamata berbingkai coklat. Modelnya kekinian. Cuma karena wajah saya kecil,dan frame kacamata itu agak lebar, jadi aneh aja. Tapi lumayan lah, buat ganti gaya.
Yang penting, saya jadi tenang karena masalah kacamata terpecahkan.
Dan, segala sesuatu yang terburu-buru itu memang buruk akibatnya!
Saya tidak mencermati kaca bagian atas. Entah kenapa, pandangan jarak jauh saya jadi kacau. Obyeknya tidak tampak jelas. Jadi bayang-bayang begitu. Seolah-olah semua wajah samaaaaa. Hal ini baru saya sadari begitu sudah di tempat, Wisma PU. Mau balik lagi, sudah malas. Ya sudahlah. Kapan-kapan dibenahi lagi.
‘Ala kulLi hal, kacamata baru itu sangat membantu. Apalagi sebagai salah satu pimpinan sidang, saya harus mencermati draft. Kebayang kan, kalau draft itu tidak mampu dibaca dengan baik.
Saat dipakai membaca, tulisan memang jadi terang benderang. Yang repot itu, begitu harus melihat ke arah audiens. Wajah-wajah mereka tiba-tiba jadi rata. Cuma tampak putih. Apakah mereka tersenyum, melet, melotot, atau mewek-mewek, saya gak bisa lihat.
Tampak menakutkan? Nggak. Malah jadi lucu. Sebab hidung mereka hilang, garis bibirnya gak ada, alisnya apalagi. Mereka komat kamit juga gak kelihatan. Jadi, suara terdengar, ekspresi tercemar! Wahaha. Maapkeun!
Nah, saat Kang Fahruddin memimpin sidang, beliau kesulitan membaca sesuatu. Kacamata ajaib saya itu ada di dekatnya.
“Ini kacamata punya mbak?” tanyanya. Saya mengangguk.
“Pinjam, ya.” Saya mengangguk lagi.
Diambilnya dan langsung dipakai.
“Nah, ini jelas nih!”
Wahahaha. Sepertinya kacamata itu berfungsi maksimal. Sepertinya Kang Fahruddin sangat terbantu. Saya lupa gak tanya, apakah di matanya wajah audiens sama seperti yang saya lihat: tak tampak mata, tak tampak bibir, alias berwajah rata?
Biasanya jika akan pergi, saya buat list. Daftar barang yang harus dibawa. Semua tertulis detil. Dari yang sangat sepele sampai yang puwenting. Dari yang kecil sampai yang buwesar.
Di sekolah sempat membuat list, tapi belum komplit. Sudah begitu, tertinggal pula di meja kerja. Huh.
“Kacamataku keri!” Saya berbisik-bisik.
Mas Budi mencibir, jengkel. Ya ya ya, memang menjengkelkan. Sudah tahu kacamata itu super penting, kenapa bisa luput? Saya gak bisa baca kalau gak pakai kacamata. Berbeda dengan mas Budi. Matanya jauh lebih baik, belum menggunakan kaca mata.
Saya meraba tas. Ada buku yang akan dibaca. Terpaksa dianggurkan. Saya memikirkan acara Munas nanti. Pasti ada bahasan yang memerlukan membaca. Rencananya masuk di Komisi A, membahas Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Biasanya, pembahasan Komisi ini agak alot, dan pasal-pasalnya lumayan banyak. Bagaimana bisa membaca dan membahas dengan baik tanpa kacamata? Ya Allah!
Di pesawat, saya memikirkan alternative membeli kaca mata murah meriah. Konon kata salah satu ibu guru, ada kacamata yang harganya hanya kisaran puluhan ribu. Oleh sebab itu, beliau punya lebih dari dua kacamata. Satu di mobil, satu di kantor, satu di tas, dan satu di rumah. Namun demikian, walau sudah punya banyak kacamata, tetap saja beliau suka lupa membawa. Yang ada di mobil terbawa entah kemana. Di dalam tasnya lenyap tak terlacak rimbanya. Alhasil, jika sudah kelimpungan karena perlu membaca, beliau meminjam kacamata dari siapa pun. Asal bisa buat baca, yo wis.
Turun dari pesawat, saya menyampaikan keinginan membeli kacamata murah pada adik yang menjemput. Dia berjanji akan mengantar. Kami berhenti di salah satu optic di sekitar jalan Pajajaran.
“Cari kacamata baca yang murah,” kata saya pada penjaga optic. Dia menunjukkan sudut kacamata murah meriah itu. Harganya diatas seratus. Itu sudah yang termurah.
Saya mencoba satu persatu.
“Bagaimana?” say amenoleh pada Anis, adik nomor enam.
“Terlalu serius, ah, jangan.”
Saya mencoba yang lain.
“Gimana?” Saya menoleh pada Siylvi.
“Ah, nggak, nggak, jangan!” Siylvi menggeleng kuat-kuat. Wajahnya tampak terkejut. Mungkin saya menjelma jadi mahluk berwajah sangat aneh.
“Ini, Cil?” Kembali saya meminta pendapat Anis.
“Yang warna lain gak ada kah? Jangan hitam, coba yang putih,” sarannya.
Saya mengintip etalase. Ada yang putih, tapi mehoooong! Ogah! Eman duitnya. Masa habis gara-gara kacamata.
Akhirnya, dipilihlah satu kacamata berbingkai coklat. Modelnya kekinian. Cuma karena wajah saya kecil,dan frame kacamata itu agak lebar, jadi aneh aja. Tapi lumayan lah, buat ganti gaya.
Yang penting, saya jadi tenang karena masalah kacamata terpecahkan.
Dan, segala sesuatu yang terburu-buru itu memang buruk akibatnya!
Saya tidak mencermati kaca bagian atas. Entah kenapa, pandangan jarak jauh saya jadi kacau. Obyeknya tidak tampak jelas. Jadi bayang-bayang begitu. Seolah-olah semua wajah samaaaaa. Hal ini baru saya sadari begitu sudah di tempat, Wisma PU. Mau balik lagi, sudah malas. Ya sudahlah. Kapan-kapan dibenahi lagi.
‘Ala kulLi hal, kacamata baru itu sangat membantu. Apalagi sebagai salah satu pimpinan sidang, saya harus mencermati draft. Kebayang kan, kalau draft itu tidak mampu dibaca dengan baik.
Saat dipakai membaca, tulisan memang jadi terang benderang. Yang repot itu, begitu harus melihat ke arah audiens. Wajah-wajah mereka tiba-tiba jadi rata. Cuma tampak putih. Apakah mereka tersenyum, melet, melotot, atau mewek-mewek, saya gak bisa lihat.
Tampak menakutkan? Nggak. Malah jadi lucu. Sebab hidung mereka hilang, garis bibirnya gak ada, alisnya apalagi. Mereka komat kamit juga gak kelihatan. Jadi, suara terdengar, ekspresi tercemar! Wahaha. Maapkeun!
Nah, saat Kang Fahruddin memimpin sidang, beliau kesulitan membaca sesuatu. Kacamata ajaib saya itu ada di dekatnya.
“Ini kacamata punya mbak?” tanyanya. Saya mengangguk.
“Pinjam, ya.” Saya mengangguk lagi.
Diambilnya dan langsung dipakai.
“Nah, ini jelas nih!”
Wahahaha. Sepertinya kacamata itu berfungsi maksimal. Sepertinya Kang Fahruddin sangat terbantu. Saya lupa gak tanya, apakah di matanya wajah audiens sama seperti yang saya lihat: tak tampak mata, tak tampak bibir, alias berwajah rata?
Waaahh wajahku yg cantiikk tak terlihat dong Buuu huhuuhu...
BalasHapusWajahnya sama semuaaaaa...wahahaha.
HapusWaaahh wajahku yg cantiikk tak terlihat dong Buuu huhuuhu...
BalasHapus