PAHLAWAN KLARIFIKASI

Selasa, November 14, 2017


Hape Narti berdering. Hape di meja ruang tengah, Narti di dapur. Ikan mujair di penggorengan sudah matang. Suara ringtone menjerit-jerit.
“Mbak Aisy, tolong angkatkan dulu, Nak,” Narti memanggil putri sulungnya. Narti kembali sibuk dengan mujairnya. Sudah hampir pukul lima sore, sebentar lagi adzan maghrib. Tadi baru saja pulang dari menjemput Aisy di pendopo. Aisy terpilih menjadi satu diantara dua puluh siswa SMP yang akan memeragakan gaun muslimah untuk remaja. Peragaan ini akan ditampilkan di depan ibu-ibu Dharma Wanita kabupaten Jombang. Ada isteri Bupati yang akan hadir. Dua pekan Aisy berlatih sepulang sekolah. Narti mengantar dan menjemput setiap hari. Pelatihnya adalah Bu Meri, guru dari SMKK.

Sebenarnya Narti keberatan Aisy terpilih. Narti tidak suka puteri semata wayangnya itu melenggak lenggok di depan umum. Mas Ari apalagi. Namun wali kelas Aisy meyakinkan bahwa peragaan busana itu hanya dihadiri oleh ibu-ibu dan remaja puteri saja.
“Bu, ini siapa?” Aisy datang, berbisik-bisik sambil menyodorkan hapenya. Ada suara-suara melengking dari hape itu.
“Orangnya marah-marah!” Aisy berbisik lagi. Narti mengangkat mujair yang setengah matang, dan mematikan kompor.

Narti menuju meja makan, menarik kursi dan duduk. Aisy ikut-ikut duduk di depan Narti.
“Hallo, assalamu’alaikum,” Narti uluk salam. Suara melengking itu lenyap sejenak.
“Ini siapa?” Suara di seberang sana getas dan judes.
“Saya Narti, Bu. Ini dengan siapa saya bicara?” Narti merendahkan suaranya.
“Saya mama Anjar! Bu Narti, saya mau komplen! Sampeyan temannya Mama Indah? Mama Indah tadi pinjam bros Anjar, kenapa tidak langsung dikembalikan? Mana tanggung jawabnya? Anak saya bingung cari brosnya, tidak ketemu sampai sekarang. Mama Indah itu langsung merampas bros dari tangan Anjar. Banyak saksinya...” Perempuan itu bicara cepat, tak ada jeda. Nadanya tinggi, pernuh kemarahan.
“Sebentar Bu, ada apa? Maaf, saya kurang paham,” Narti cepat angkat bicara sebelum Mama Anjar itu mulai mengomel lagi.



Anjar adalah salah satu peraga pakaian muslimah seperti Aisy. Ia berasal dari sekolah lain. Biasanya jika latihan, para Mama menunggui hingga selesai. Narti lebih sering mengantar, lalu kembali ke kantor. Kembali lagi saat penjemputan. Latihan berlangsung setelah dhuhur hingga setelah ashar.
“Saya mau komplen tentang Mama Indah. Dia kan teman sampeyan! Saya kirim wa, cuma dibaca saja. Saya telpon, tidak mau mengangkat. Pengecut! Beraninya sama anak-anak saja!” Mama Anjar mencak-mencak lagi.

Narti gagal paham. Ini perempuan, mengomel-ngomel tidak karuan. Yang dikomplain orang lain, tapi kenapa omelannya nyasar kesini?
“Maaf Bu, kenapa Ibu komplen ke saya?” Narti bertanya balik.
“Ya jelas, toh!! Sampeyan itu temannya! Kasih tahu sama dia, jadi orang yang tanggung jawab! Pinjam bros tanpa permisi, main rampas seenaknya saja. Banyak saksinya, banyak yang lihat! Saya diberitahu mama-mama yang lain! Bilang sama dia ya, Bu, jangan begitu! Orang kok tidak punya tanggung jawab!!” Dia masih nyerocos. Narti geleng-geleng. Baru kali ini menemukan model mahluk begini. Mungkin bila perlu disodori ember, biar dia tuangkan seluruh sumpah serapahnya pada ember. Sampai puas.

Mama Anjar masih berbicara panjang lebar. Narti salut pada kemampuannya berbicara dengan intensitas nada tinggi yang konstan. Seolah-olah dia sudah sangat terbiasa nyelathu orang, sehingga benar-benar terampil dan ahli.
“Jadi, mau Ibu apa?” Narti bertanya.
“Saya cuma mau klonfirmasi sama sampeyan, bahwa teman sampeyan itu ndak beres, ndak tanggung jawab!” katanya. Tandas, lugas, getas. Lalu, klik, telepon ditutup.

Narti geleng-geleng kepala lagi. Mimpi apa dia semalam, mendapat semprotan cantik seperti sore ini? Apa tadi katanya? Konfirmasi? Konfirmasi dengan cara begini? Ah, ini ada definisi baru konfirmasi. Yaitu: marah-marah, mencak-mencak, dan tuduh-tuduh seenaknya. Apa yang sebenarnya terjadi? Narti pusing.

Aisy diam, tak bergerak. Aisy khawatir ibunya ikut marah.
“Masalah bros ya, Bu?” Aisy bertanya takut-takut. Ah, suara Mama Anjar pasti demikian keras hingga Aisy bisa dengar.
“Aisy tadi lihat, Bu Meri pinjam bros Anjar, lalu minta tolong Mama Indah untuk carikan bros seperti itu. Bros Indah hilang, dan Mama Indah akan belikan. Jadi sekalian, Bu Meri titip carikan bros seperti bros Anjar. Jadi, bros Anjar dipinjam Bu Meri sebagai contoh,” kata Aisy takut-takut.
“Jadi, bukan Mama Indah yang pinjam ke Anjar?” Narti menegaskan.
“Bukan, tapi Bu Meri. Aisy tadi lihat,” jawab Aisy.
“Ada siapa saja dekat situ tadi?”
“Banyak, ada Bundanya Aulia, Mama Vera, Mama Zahra, dan mama-mama lain. Sebagian aku gak hafal,” kata Aisy. Aulia, adalah teman sekelas Aisy. Dia sering belajar bersama.

Narti percaya kata-kata Aisy. Sebentar kemudian, Narti mengontak Mama Indah. Mama Indah menceritakan kronologinya persis seperti yang diceritakan Aisy.
“Brosnya saya kembalikan ke Bu Meri, Mbak Yu. Saya kan tidak tahu itu bros siapa,” kata Mama Indah.
Mama Indah menceritakan isi WA Mama Anjar, yang kata-katanya kasar dan berisi tuduhan-tuduhan. Dikatai tidak bertanggung jawab, seenaknya sendiri, tidak peka, dll.
“Saya sudah jelaskan bahwa yang pinjam Bu Meri, dan saya tidak tahu itu bros siapa. Tapi tetap dia tidak terima. Telponnya tidak terangkat, sebab saya sedang di perjalanan pulang dari kantor,” jelas Mama Indah.

Malam hari, Narti menelpon Bunda Aulia dan Bu Meri. Dari keduanya, Narti mendapatkan keterangan yang nyaris sama.
Esok sore, Narti menemui Mama Anjar di pendopo. Perempuan mungil itu tampak masih kesal dan marah. Narti menjelaskan apa yang diketahuinya.
“Ibu tidak ingin menemui Mama Indah, agar masalah ini jelas?” Narti bertanya.
“Untuk apa? Dia yang salah, dia yang harusnya datang pada saya. Dia merampas bros dari Anjar, kok. Apa bagus kelakuan begitu?” Mama Ajar berapi-api berbicara.
“Menurut Bu Meri, beliau sendiri yang pinjam ke Anjar bu, bukan Mama Indah,” Narti pelan-pelan berusaha meluruskan.
‘Kata siapa? Anak saya sendiri bilang kalau brosnya dirampas dari tangannya. Sampeyan menuduh anak saya berbohong? Mama-mama lainnya juga ada yang bilang begitu!” Dia semakin marah. Narti tersenyum. Gemas, mangkel, heran. Kok yo ada tipe emak-emak macam begini!
“Ibu tidak ingin klarifikasi ke Bu Meri? Apa perlu saya temani ke Bu Meri, supaya mendapat penjelasan yang berimbang? ” Narti bertanya lagi.

Mama Anjar semakin meledak. Mukanya merah padam. Nafasnya terengah-engah.
“Untuk apa? Urusan saya sama Mama Indah! Dia harusnya minta maaf pada saya! Gara-gara dia, masalah ini terjadi.”
“Ibu tidak malu dengan tuduhan yang salah?” Narti semakin gemas. Menghadapi orang bebal macam begini, sungguh merepotkan.
“Saya gak malu! Wong saya tidak salah! Ngapain saya malu? Mama Indah yang harusnya malu!!”

Masih banyak kalimat-kalimat kemarahan lainnya. Narti hanya diam menedengarkan, sembari tersenyum. Geli. Pertemuan ini, tidak menghasilkan perbaikan. Yang ada, omelan Mama Anjar semakin panjang dan tidak terkendali.
“Jadi, aku harus bagaimana, Mbak Yu?” Mama Indah bertanya.
“Biar saja dulu, percuma dijelaskan sekarang. Dia ngotot sama keyakinannya. Dia sangat percaya pada informasi dari Mama lain bahwa panjenengan yang mengambil bros itu langsung dari Anjar,” kata Narti.
“Dia tidak ingin bertanya pada Bu Meri?” Mama Indah bertanya lagi. Narti tertawa kecil.
“Dia tidak akan mau melakukan itu. Mungkin gengsi, mungkin takut ketahuan kalau tuduhannya salah. Biarkan saja dulu,” kata Narti.

Mama Indah termenung.
“Aku gak pernah diclathu orang seperti ini. Kaget, Mbak Yu. Sudah dijelaskan kok ya masih ngeyel sama pendapatnya,” Kata Mama Indah.
Wis kadung isin sama clathuannya, gengsi mau ngaku,” kata Narti sambil tertawa.
“Selain putrinya, siapa yang memberi info kalau aku rampas dari tangan anaknya, ya? Tega sekali begitu,” Mama Indah geleng-geleng, sedih.
“Betul, informasi itu jadi fitnah. Bahaya. Keji sekali kalau itu disengaja. Sabar ya, semoga jadi pembelajarn bagi kita. Jika mendengar berita, perlu klarifikasi dengan pihak-pihak yang terlibat. Jangan asal tuduh begitu saja, ” Narti menambahi.
Matur nuwun, Mbak Yu. Sudah membantu saya klarifikasi. You are my heroine!” kata Mama Indah sambil menepuk-nepuk pundak Narti.
“Pahlawan apa aku ini?” Tanya Narti sambil tertawa.
“Pahlawan klarifikasi!” kata Mama Indah. Mereka tergelak-gelak berdua.

Klarifikasi dengan gaya methithi, marah, mencak-mencak, menuduh begitu?
BIG NO!







2 komentar:

  1. Sabar banget ya Narti itu, Bu Guru.
    Klo saya tuh udh balas ngamuk jg kali. Lah bukan saya yg salah, saya ikut dibawa2 jg, hihihih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... Itu true story, Mak. Bukan pengalaman saya, tapi pengalaman teman...
      Sama kaya Mak Diah, kalau saya, sudah saya 'labrak' ala saya wehehehe.
      Makasih sudah komen ya Mak.

      Hapus

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.