CINTA (TIDAK) BIASA

Senin, November 20, 2017


Apa yang dibayangkan dari jatuh cinta, bagi pemuda pemudi? Debar-debar, rindu, pertemuan. Harapan merajut cinta bersama sang kekasih menjadi mimpi besar.

Bicara cinta, terutama bagi remaja, sungguh mengasyikkan. Ada yang menjadikan cinta sebagai wasilah petualangan. Saya sering survey kecil-kecilan di sekolah. Menanyai murid-murid jumlah mantan mereka. Menakjubkan angka-angkanya. Sekitar sepertiga diantara mereka punya mantan dibawah lima. Sisanya lebih dari itu.
Ada yang punya lima belas! Kelas satu SMK, punya mantan lima belas?
“Sejak kapan kamu pacaran, Mbak?”
“Sejak SD, Bu,” begitu jawabnya, malu-malu.
Ada yang sama sekali tidak mengacung sampai angka lima belas.
“Jadi berapa mantanmu?”
“Sebentar Bu, saya hitung dulu. Lupa jumlah persisnya,” dia menjawab sambil komat-kamit menghitung.
“Lima belas, kali?”
“Lebih, Bu.” Lalu dia tertawa. Temannya riuh menyoraki.
Pembicaraan seputar cinta memang mengasyikkan.

Muara seluruh cinta itu antara tiga,menurut saya.
Pertama, cinta itu sesuai dengan harapan. Dua hati bertaut, lalu menikah, happy ending forever.
Kedua, bertepuk sebelah tangan. Salah satu tak cinta, tak menganggap lainnya istimewa.
Ketiga, saling mencinta, namun tak bisa bersatu.
Begitu, bukan?

Dimensi lain tentang cinta, sangat perlu dikenalkan pada pemuda pemudi. Buku Reem yang say abaca, bisa menjadi salah satu refernsi tentang dimensi cinta yang mulia. Cinta yang bervisi dan bermisi besar. Bukan sekedar cinta biasa.

REEM

Buku setebal 350 halaman ini, bagi saya, istimewa.
Pertama, sebab saya beli di MUNAS FLP IV, di Bandung. Setelah dibayar, saya meminta tanda tangan penulisnya yang lembut, Mba Sinta Yudisia.
Kedua, sebab isinya.
Yang ini, saya coba ceritakan sedikit. Sedikit saja, yes. Namanya juga review. Jangan khawatir, saya gak akan bocorkan ending atau bagian lainnya, yang akan menjadikan tulisan ini jadi spoiler.
Kalau ternyata ada spoilernya juga, tolong ingatkan. Tengkyu sebelumnya.
Buku ini diterbitkan oleh Mizan, bulan Dzulqa’dah 1438 H atau Agustus 2017. Masih lumayan baru. Terdiri dari sepuluh bab, dimulai dari bab pertama yang berjudul Cantik Palestina. Bab terakhirnya, Surga Kita, sungguh ending yang manis. Seolah-olah penulis, secara tidak langsung, hendak menyadarkan para pembacanya tentang cita-cita besar yang layak diperjuangkan sepenuh jiwa. Yaitu surga.
Reem, adalah gadis cantik yang berdarah campuran, Indonesia-Palestina. Ummi asli Indonesia yang bertemu sang Baba dalam misi kemanusiaan di Jalur Gaza. Masa kecil Reem dihabiskan di beberapa negara, mengikuti tugas Baba dan Ummi sebagai dokter.
Reem sendiri tinggal bersama Bibi Aisyah. Sementara Baba banyak menghabiskan waktunya berkeliling dalam misi kemanusiaan, menuntaskan kesedihannya sejak Ummi syahid. Syahidnya Ummi adalah momen yang menjadi bagian puzzle kebijaksanaan hidup yang Reem akan temukan. Bersama keeping-keping puzzle lainnya. Keping puzzle yang menyempurnakannya menjadi muslimah kuat, tangguh, dan komitmen dalam memeluk cita-cita besarnya. Komitmen itu, dihiasi cinta agung yang halus, lembut, dan manis. Cinta dalam perspektif lain, yang mengandung penerimaan taqdir. Ikhlas, tulus, dan kokoh.
Reem kecil akrab dengan puisi. Karya penulis dunia, Jalaluddin Rumi dan Abu Qasim Firdausi Tusi, dilahapnya. Reem mahir membuat puisi sekaligus membacakannya.
Puisi inilah yang menjadi titik awal munculnya warna pelangi baru dalam hidupnya.
Pelangi yang mengantarkannya pada debar-debar cantik, halus, tersembunyi rapi.
Reem dan Kasim.

LINGKARAN CINTA

Kasim memiliki adik bernama Alya. Kasim bersahabat erat dengan Ilham.
Siapa Kasim? Siapa Alya? Siapa Ilham? Bagaimana mereka bertemu?
Baca sendiri, deh. Lebih seru.
Cerita persoalan jatuh hati dalam buku ini tidak melulu antara Kasim dan Reem. Namun juga antara Alya dan Ilham.
Cerita cinta kedua pasangan ini saling bertaut dalam sejarah hidup yang tidak pernah mereka duga. Ilham nyaris merasa gagal mengejar cintanya. Sementara Kasim merasa sulit meyakinkan Baba atas kesungguhannya.
Bagaimana endingnya? Bagaimana cinta kedua pasangan ini memberikan inspirasi baik tentang kesucian cinta? Baca sendiri, deh. Beli, yes. Jangan pinjam. Bagus buat koleksi. Diturunkan ke adik, ponakan, anak, cucu. Jaga baik-baik jangan sampai lecek, kucel dan memble.

YANG SAYA SUKA

Cara penulis melukiskan perasaan cinta para tokohnya, sungguh bagus. Tidak ada ungkapan-ungkapan gombal over dosis.
Yang banyak digambarkan justru visi, misi hidup yang indah. Bahwa sejatinya hidup adalah jalan menuju kematian. Bahwa kematian harus disiapkan sebaik-baiknya, sebab ia menyergap kapan saja. Dimana saja. Siapa saja, tak pandang usia.
Jalan menuju kematian, dicontohkan sebagai jalan persembahan amal. Cinta menjadi salah satu wasilah beramal. Sehingga cinta antar dua manusia layak diberi wadah yang membuat nilai kemanusiaan manusia melangit. Dirindu penghuni langit, disambut malaikat.
Apakah novel ini kaku, dan banyak ceramahnya? Tidak, dong. Seru, bener.
Baca deh. Baca. Biar gak penasaran.

Kuy, beli, baca!

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.