MENDADAK PITA

Jumat, November 24, 2017


Rabu malam, tanggal 22 November kemarin, Zahra minta dibelikan bunga. Katanya untuk ustadz ustadzahnya besok Kamis.
“Dimana ada bunga?” Mas Budi memandang saya.
“Coba serba seribu, atau itu...di toko tas.”
“Toko tas mana?”
“Itu, di depan sana, jalan Gubsur. Toko tas itu loooh...” Saya berusaha mengingat nama tokonya, tapi macet. Nama toko itu ngumpet entah dimana.
“Yang mana?” Mas Budi memandang saya, gemas sepertinya.
“Di ruko?” Zahra yang bertanya.
“Bukaaaaan. Ituuuuu, disituuuu. Yang anak-anak minta belikan....” Tangan saya menunjuk-nunjuk, Mas Budi memandangi saya. Zahra bengong.
“Iyaaa, mana? Toko apa?”
Ya Allah, apa namanya? Aku lupaaa!
“Ituuu...Adoooh, yang itu loh. Anak-anak suka sama modelnya. Di Gubsur ituuuu...”
“Oh, yang sebelah toko itu taaaah?” Mas Budi ketularan geje. Tentu saja sebelah toko, lha wong sekitaran situ toko mulu!

Semakin saya ita-itu, semakin gak jelas dan menjengkelkan. Mas Budi dan Zahra beranjak menuju pintu, sementara otak saya berpikir keras. Woi, nama toko, sini dong. Nongol-nongol satu dua huruf, kek, buat mancing ingatan di memori.
Sampai suara motor dihidupkan terdengar, hingga mereka melaju pergi, saya tetap bertahan lupa.
Sekian puluh menit kemudian, mereka berdua muncul. Zahra manyun. Wah, pertanda buruk ini!
“Gak ada bunganya,” Mas Budi menggeleng-geleng.
“Besok deh, insyaaAllah ada di ruang Bunda.” Zahra langsung nyungsep, tidur dengan sukses.

Beberapa hari lalu, ketika berwudhu, saya berdiri di depan salah satu meja di ruang kurikulum. Ada mawar merah yang disimpan di toples (?) besar. Jumlahnya banyak. Itu bunga yang diberikan siswa ketika peringatan hari guru setahun dua tahun lalu. Masing-masing guru mendapat satu. Kawanan Beb mengumpulkannya jadi satu wadah.
Cerita kawanan Beb ada disini. Juga disini.
“Minta bunganya yaaaa.”
“Yaaaaa...” Entah siapa yang menjawab. Jangan khawtir, suara itu asli suara manusia, bukan mahluk halus lain yang (konon) suka nongol sesekali.
Saya mengambil tiga tangkai, lalu menyimpannya di meja kerja perpustakaan.

Kamis pagi, seperti biasa, ibu guru mengojek. Anak-anak memakai seragam pramuka lengkap. Hari ini upacara peringatan hari guru di SDIT Ar Ruhul Jadid, sekolah anak-anak.
Sebelum berangkat, saya menyerahkan bingkisan untuk Zahra bawa. Sudah tersimpan di kotak, dan dimasukkan ke dalam kantong kertas bermotif batik.

Saya menghentikan motor di sebelah utara masjid. Sudah ada siswi muslimah dan muslim yang berdiri berjajar dekat masjid.
“Mbak Zah, ayooo!” Seseorang memanggil.
“Mbaaak, mbaaak, cepetaaaan!” Farah, teman Zahra yang lain, melambaikan tangannya pada musimah lainnya. Mereka tampak bersemangat, bergairah dan suka cita. Sesekali melonjak-lonjak.

“Bunganya gimana?” Zahra berbisik.
“Kan sudah dibawakan bingkisan yang itu, masa perlu bunga lagi? Kasih saja hadiah yang mbak Zahra bawa,” kata saya. Zahra manyun.
“Kata Ustadz Rizal, anggota Kostrad bawa bunga.”

Cerita Kostrad, bisa dibaca di sini.

“Bawa itu saja, gak cukup?”
“Nanti bunganya dikasihkan ke Ustadzah.” Zahra semakin menunduk, matanya mulai berair. Dia mulai baper, deh.
“Ya sudah, nanti Bunda balik sini, ambil bunga dulu,” akhirnya saya menyerah.
Terbayang tiga kuntum mawar merah di atas meja kerja. Wait for me, flowers!

Ceritanya disingkat saja ya. Gak usah saya beberkan bahwa saya buru-buru, bahwa jalanan agak macet. Bahwa saya masih memakai gaun panjang, belum berganti baju kerja. Jadi, dengan langkah-langkah cepat (supaya segera sampai ruangan dan tidak banyak berjumpa bapak ibu guru!), saya menuju perpus.
Mengambil mawar tersebut, lalu membungkusnya dnegan plastik. Plastik untuk bunga? Bukan, plastik sampul buku! Wahahaha. Plastiknya minimalis pula, sebab itu plastik sampul apkiran!
Selotip sana, selotip sini. Ditata sedemikian rupa, sehingga ketiga bunga mawar kawe itu terbungkus cantik.

Saya kembali ke sekolah. Teman-teman Kostrad Zahra sudah berbaris, membentuk pagar betis di kanan kiri. Masing-masing memegang pita hijau muda yang berhias.
Satu ustadzah lewat, mereka tersenyum bungah.
“Ustadzah, lewat siniiii!”
Satu muslimah maju, menyematkan pita di kerudung Ustadzah tersebut, lalu menyalami.
“Selamat hari guru, Ustadzaaah!” Mereka koor serempak ketika Ustadzah itu menyalami para muslimah satu persatu.



Wajah-wajahnya itu. Senyumnya. Antusiasmenya. Sesekali melonjak. Berdebar-debar memperhatikan satu persatu guru yang sampai.
Saya mendekati Ustadzah Norma, sang Komandan Kostrad.
“Nanti minta fotonya, ya!” Bisik saya.
“Siap, tadi sudah banyak foto-foto! Selamat hari guruuuu!” Ustadzah Norma menyalami saya.
“Ayo, saya kasih pita juga!” Kata Ustadzah Norma lagi.
Rejeki nomplok, nih! Saya turun dari motor, lalu Ustadzah Norma menyematkan pita ke jilbab. Satu anggota Kostrad muslim memotret kami.



Pagi ini semakin hepi. Karena mendadak dapatkan pita khusus itu. Juga karena berkesempatan mendapatkan momen ini. Melihat, merasakan, memotret kebahagiaan anggota Kostrad memberikan hadiah kecil istimewa bagi para guru.

Senyumnya. Antusiasmenya. Sesekali melonjak. Menahan nafas ketika satu dua guru tiba. Ungkapan ‘Selamat Hari Guru, Ustadzaaah!’ yang menguarkan keceriaan khas anak-anak.
Keceriaan penuh cinta.


Selamat Hari Guuruuuuuu!


Note:
Coba lihat foto ini. Saya berangkat pulang dengan kantong putih yang masih nangkring di spion motor. Itu kantong berisi pita-pita untuk para guru. Kudu putar balik lagi, deh!-








Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.