DAFTAR TUGAS

Rabu, November 22, 2017



“Waktu tinggal lima menit lagi!” suara Pak Harits terdengar. Aku terkejut. Teman-temanku ada yang bergumam,
ada yang menghela nafas.
“Kurang berapa nomor, Rifqi?” tiba-tiba Pak Harits sudah ada di dekatku. Aku terkejut lagi. Pak Harits membolak
balik kertasku.
“Kok baru dua nomor? Apa saja yang kamu lakukan?” Pak Harits bertanya lagi.
“Pensil saya putus, Pak,” jawabku.
“Kenapa diam saja? Bukankah kamu bisa pinjam temanmu? “ suara Pak Harits mulai meninggi.

Aku jadi takut. Tapi ini memang salahku. Kenapa tadi aku lupa pinjam, ya? Aku mencoba mengingat-ingat. Dari tadi, apa saja yang
kulakukan? Oh ya, aku memikirkan kejadian pagi tadi. Ibu marah karena kamarku berantakan. Semalam aku belajar
sambil minum sirup. Sirup itu tumpah, menggenang di bawah kursi. Aku lupa membersihkan karena tertidur. Aku
juga memikirkan nilai-nilai ulanganku yang selalu dibawah tujuh, memikirkan Bapak yang berjanji
ini dan itu tapi sering lupa. Rasanya aku terlalu banyak berpikir, sehingga sering lupa dengan tugas-tugasku.

“Rifqi!!” terdengar suara Pak Harits lagi. Aku tergagap. Teman-teman sekelasku tertawa. Pak Harits memandangku
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Istirahat nanti, Riifqi Bapak tunggu di kantor!” kata Pak Harits. Aduh, kena marah lagi!
“Makanya, jangan melamun! Masih kelas lima kok suka bengong!” sindir Cahya, teman sebangkuku. Aku hanya tersenyum kecut. Apa memang aku pelamun? Rasanya bukan! Setahuku, pelamun itu orang yang suka menghayal. Aku kan tidak menghayal. Aku cuma memikirkan pengalaman-pengalamanku. Coba kalau kamu dimarahi terus terusan, disuruh ini itu sambil dibentak-bentak, pasti kamu juga akan berpikir seperti aku. Paling tidak, kamu berpikir : ‘kenapa aku selalu dimarahi?’ Atau : ‘kenapa aku selalu salah?’
“Dooorrrr.. ,” Cahya berteriak mengejutkanku. “Melamun lagi kaann?” Hehe.. Aku cuma tertawa.

Waktu istirahat, aku menemui Pak Harits. Beliau mengajakku ke perpustakaan.
“Bapak perhatikan, kamu sering sekali tidak menyelesaikan tugas-tugasmu. Apa kesulitanmu, Rifqi?” Pak
Harits bertanya.
“Saya ...,” aku bingung harus bilang apa. “ Saya... kadang-kadang lupa, Pak.” Pak Harits tertawa mendengar jawabanku.
“Lupa apa melamun?” goda Pak Harits. Aku tersipu-sipu. Malu, ketahuan sering bengong!
“Nah, coba ceritakan, apa saja yang kamu pikirkan?” tanya Pak Harits lagi. Aduh, aku malu menceritakan semua
pikiranku! Kalau Pak Harits malah mengomeliku, bagaimana? Aku menggelengkan kepala. Tidak, ah, tidak usah
kuceritakan.

“ Ya, sudah kalau tidak mau. Sekarang Bapak mau ajak Rifqi bermain peran. Bapak sudah sediakan daftar untuk Rifqi isi dengan tugas-tugas selama satu bulan. Setiap tiga puluh tugas yang Rifqi bisa selesaikan tepat waktu,
Rifqi akan mendapatkan satu hadiah,” Pak Harits menjelaskan sambil menyodorkan sebuah buku tipis. Aku membuka buku itu. Ada kolom-kolom yang berisi nomor, hari dan tanggal, tugas, target waktu, tanda tangan.
“Itu kolom tanda tangan untuk yang memberi tugas,” Pak Harits menunjuk kolom yang dimaksud. Aku diam,
membolak-balik buku itu. Tantangan yang menyenangkan, tapi apa aku bisa? Aku tidak yakin. Pasti nanti melamun
lagi, tidak selesai lagi. Rasanya sudah banyak orang yang mengeluhkan kebiasaanku itu.
“Rifqi pasti bisa!”Pak Harits memegang pundakku. Aku tersenyum malu.
“Ada hadiah tambahannya, lho. Kalau Rifqi bisa mencapai 70 tugas dengan baik, Rifqi boleh memancing sepuasnya dihari Minggu di kolam Bapak. Mau, kan?” kata Pak Harits lagi. Wah, memancing adalah kegiatan kesukaanku! Apalagi di kolam Pak Harits yang terkenal dengan ikan yang banyak dan besar-besar itu!

Akhirnya aku menerima tantangan Pak Harits. Mengumpulkan 50 tugas dalam satu bulan
sebetulnya tidak sulit. Coba bayangkan, ada banyak tugas harian yang bisa kukerjakan. Misalnya, membereskan
kamar, membantu ibu menyapu halaman , membantu Bapak membersihkan taman . Ada juga tugas mengerjakan
pe-er, menyelesaikan latihan-latihan soal di sekolah, menyelesaikan ulangan-ulangan. Kamu pasti heran, sebelum ini
aku sering tidak bisa menyelesaikan semua nomor soal. Selalu ada beberapa nomor yang tertinggal.

Tapi ternyata pelaksanaannya tidak semudah yang kubayangkan! Ketika mengerjakan latihan atau soal ulangan,
aku berjuang keras untuk dapat berkonsentrasi penuh. Aku hampir tidak tuntas mengerjakan soal latihan
matematika di kelas. Untunglah Cahya mengingatkan, sehingga cepat –cepat kuselesaikan semua soal-soal itu.
Ada juga beberapa tugas yang gagal kuselesaikan. Misalnya, aku tidak berhasil membersihkan taman sesuai target
waktu. . Ketika menyiram tanaman, aku mengerjakannya sambil melamun. Ibu tidak memarahiku, hanya berkata
sambil tertawa,” Ibu tidak mau tanda tangan, ya!”

Hari ini, tepat sebulan, aku menghadap Pak Harits. Bukuku sudah hampir penuh. Tertulis 115 tugas, dan 89
diantaranya dapat aku selesaikan.
“Wah, lumayan! Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Pak Harits.
“Saya...,” aku mencari kata-kata yang tepat.
“Saya puas, Pak!” jawabku.
“Oh ya? Kenapa?” tanya Pak Harits lagi. Kenapa, ya? Setiap mampu menyelesaikan satu tugas dengan baik, muncul
perasaan bangga. Oh, ternyata aku mampu. Aku bisa tepat waktu. Apa nama perasaan itu?
“Saya ternyata bisa, seperti yang Bapak bilang dulu...,” kukatakan saja begitu.
“Itu karena kamu berusaha konsentasi penuh! Punya target dan tujuan! Teruskan begitu, jangan putus asa,” Pak
Harits memberiku semangat. Aku hanya bisa mengangguk.
“Hadiahnya baru bisa Bapak berikan besok,” janji Pak Harits.
“Terima kasih, Pak. Tapi saya minta hadiah memancing saja. Apa saya boleh ajak bapak saya, Pak?,” tanyaku.
Memancing seharian bersama Bapak pasti sangat menyenangkan! Pak Harits tertawa.
“Boleh! Besok Minggu Bapak tunggu di kolam. Kita berlomba memancing! “
“Saya ajak Cahya juga, ya Pak?” aku menawar lagi. Pak Harits hanya mengacungkan jempolnya. Siip lah, pasti akan seru.
“Terima kasih, Rifqi. Kamu sudah berusaha begitu keras,” kata Pak Harits sebelum aku meninggalkan kantor.

Terima kasih juga Pak, atas daftar tugasnya!

( dimuat di Bobo edisi tanggal 19 agustus 2010)

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.