SINERGI LILLAH

Senin, Maret 12, 2018


Narti duduk di tembok dekat pagar masjid Jami. Alun-alun hingar bingar. Sebuah terop besar dan panggung yang tinggi terpasang megah di alun-alun. Umbul-umbul melambai. Sebuah merk otomotif terpampang besar-besar. Sepertinya akan ada pentas di panggung itu. Kendaraan melintas padat, menuju bagian tengah alun-alun. Sebagian besar remaja.

Narti bersedekap. Dingin menggigit. Baru saja hujan berhenti. Air menggenang di beberapa titik halaman masjid. Beberapa tampak berswafoto di dekat air mancur kecil depan teras masjid. Narti bersyukur, masjid Agung cukup indah dan nyaman untuk anak-anak. Termasuk masjid yang ramah anak, menurut Narti demikian.

Sebuah mobil merapat trotoar. Mobil tua, merek lama. Seorang muslimah muda keluar dari pintu depan, sementara seorang pemuda keluar dari sisi lain. Ia lalu membuka pintu belakang. Seorang laki-laki tua turun. Ia tidak segera berjalan, namun mengulurkan tangannya ke dalam mobil. Seorang ibu tua perlahan berdiri. Ia perlu diam sejenak, menggenggam erat-erat tangan lelaki tua itu. Muslimah tadi berdiri di sebelahnya, turut menahan lengan ibu tua.



Lelaki tua itu menuntun perlahan. Sementara ibu tua itu tertatih-tatih mengikuti. Satu anak tangga, ke anak tangga berikutnya. Sampai di anak tangga ketiga, ibu tua berhenti. Menghela nafas, mengeratkan pegangan. Laki-laki tua juga ikut berhenti, memandangnya dengan sabar. Narti mengamati. Wajah mereka tampak tidak asing. Lebih dari sepuluh tahun lalu, di sekolah tempat Narti pertama mengajar. Dua orang sepuh itu, suami isteri. Wali murid yang dahulu sering konsultasi tentang anak bungsu mereka. Narti biasa memanggil Pak Eko dan Bu Eko. Keduanya bekerja sebagai PNS di lingkungan PEMKAB.

Muslimah yang turut menuntun tidak Narti kenal. Pandangan Narti beralih ke pemuda di belakang mereka. Wajahnya juga tak asing. Ada gurat-gurat khas yang mengingatkan Narti pada seorang siswanya dahulu. Anak baru, pindahan dari sekolah negeri, berkulit putih, berambut lurus. Anak yang kemudian sempat membuat Narti dan kawan-kawan repot. Sebab dia sering kabur, lari dari kelas menuju sawah tebu. Menyusup di dalamnya, berdiam selama bermenit-menit, bahkan hingga hitungan jam. Si bungsu yang sukses membuat ayah ibunya pusing sekaligus bingung.

Narti hendak menyapa, namun sungkan. Dibiarkannya mereka melewati tempatnya duduk. Menuju masjid, menaiki anak tangga teras masjid dengan langkah patah-patah. Lelaki dan isterinya masuk ke masjid. Anak lelaki itu, Narti ingat namanya – Arga-, kembali ke kendaraannya. Membuka bagasi, mengambil sesuatu, lalu kembali menutupnya.

“Arga!” Narti memberanikan diri memanggil ketika dia melintas di depannya lagi.
Pemuda itu menoleh, memandangnya sejenak, lalu tersenyum.
“Assalamu’alaikum, ustadzah,” Arga menangkupkan tangannya di depan dada.
“Apa kabar?”
“Baik, Ustadzah.”
“Kuliah dimana?” Sejenak Narti menyesal menanyai itu. Dahulu sempat didengarnya cerita seputar Arga. Kebiasaan mogok sekolah masih berlanjut hingga SMP. Selepas SMA, menurut kabar, Arga tidak langsung melanjutkan kuliah.
“Di Malang, Ustadzah. Tapi sekarang ambil cuti dulu setahun.”
“Kenapa cuti?” Narti merutuk lepasnya pertanyaan itu. Merasa lancang, kepo, dan ingin tahu urusan orang lain. Astaghfirullah, ampuni hamba ya Allah.
“Menunggui Bapak dan Ibu dulu, Ustadzah. Ibu kena serangan stroke, Ayah diabetes. Mereka tidak ada yang menemani di rumah.”
Narti dan Arga berbincang cukup lama. Arga bercerita tentang isterinya (muslimah yang menuntun tadi), tentang Pak Eko dan Bu Eko.Terutama mengenai sakit Bu Eko.
“Masih suka sembunyi di sawah?” Arga tertawa mendengar pertanyaan Narti.
“Dulu saya nakal, ya Ustadzah,” kata Arga.
“Bapak dan Ibu sering pusing dengan ulahmu,” kata Narti. Arga tertawa lagi.
“Sekarang gantian, Ustadzah. Waktunya saya berbakti. Bapak dan Ibu hanya berdua saja di rumah. Saya dan isteri memutuskan pindah ke sini, menemani. Kami baru menikah tiga bulan lalu. Ibu yang sangat membutuhkan perawatan khusus. Sudah sulit melakukan aktivitas sehari-hari,” Arga bercerita.
“Isteri orang Malang?”
“Ya, dia penulis. Waktunya lebih fleksibel. Alhamdulillah kuliahnya sudah selesai. Saya sendiri masih merintis bisnis di sini.”
“Tidak eman meninggalkan Malang?”
“Ya, eman sebenarnya. Tapi insyaaAllah disini ada pintu rizki bagi kami. Yang penting Bapak dan Ibu ada yang menemani,” kata Arga.
Narti manggut-manggut mendengarnya. Tidak dinyana, Arga yang dahulu keras kepala, seenaknya sendiri, dan sering menyusahkan orang tuanya, sekarang menjadi sosok dewasa yang tenang dan berbakti.
“Permisi Ustadzah, mau ke masjid dulu,” Arga pamit.
“Monggo, silahkan.”
Arga uluk salam, Narti menjawabnya dengan lirih.



Sekian menit berlalu, Mas Ari belum muncul juga. Narti mendekati teras masjid. Ia duduk di teras, menghadap ke barat. Tak lama, Pak Eko, Bu Eko, Arga dan isterinya muncul dari selasar masjid. Arga membuntuti di belakang Bapak dan Ibunya.

Narti reflek berdiri. Mendekati Bu Eko dan menyalaminya. Bu Eko memandangnya lama.
“Siapa?” tanyanya.
“Ustadzah Narti, Bu,” Arga yang menjawab.
Bu Eko memandangnya tajam Narti merasa risih dipandangi demikian.
“Aku gak ingat... enggak..enggak.. Aku gak tahu siapa!” Bu Eko mengucapkan dengan cepat. Kepalanya menggeleng-geleng kuat.

Narti salah tingkah. Reaksi Bu Eko diluar perkiraannya. Namun ia berusaha bersikap wajar. Mengangguk takzim, menerima uluran tangan isteri Arga, dan menyisih. Memberi jalan mereka.
“Maaf Ustadzah, memori Ibu rusak. Banyak teman dan kerabat kami yang beliau lupa.” Arga berkali-kali menyampaikan permohonan maafnya. Dan Narti berkali-kali menyampaikan permaklumannya; menegaskan bahwa ia sangat menegrti keadaan ini.
Memandangi kendaraan yang meluncur, Narti mengucap syukur. Alhamdulillah, Allahu Akbar. Betapa Allah telah menunjukkan pelajaran hari ini. Keputusan berbakti Arga dan isterinya adalah sinergi cinta yang mulia. Sinergi berbakti, sinergi lillah. InsyaaAllah ridho dan rahmat akan melingkupi mereka berdua. Allahumma aamiin.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.