SUP AYAM JAGUNG

Senin, April 16, 2018

Gambar dari Nestle Indofood Citarasa Indonesia


“Masak apa?” Saya bertanya pada Najma dan Zahra yang sedang duduk di ruang tengah. Keranjang belanja sudah siap di liar. Saya hendak ke pasar bersama Mas Budi. Saat itu Sabtu pagi.
“Ikan bakar?”
“Bosan ah. Jangan ikan bakar lagi, kata Zahra. Episode ikan bakar bisa dibaca disini.
Saya memakai kaus kaki. Sampai selesai, belum ada request apa pun.

Baiklah, anak-anak.
Biarkan Bunda mencari inspirasi masakan di sela lorong pasar.
Biar resep tersembunyi dibongkar.
Lirik saja waluh, bawang bombay atau wortel besar.
Kreasikan dengan sabar.


Nah, nah. Puisinya kelar. Mang Ojek ganteng, let’s goooo...*colek dagu mas ojek.

“Masak sup ayam jaguuung!” Tiba-tiba Najma berteriak. Saya berbalik ke ruang tengah.
“Apa aja bahannya?”
“Jagung manis, ayam... Sek, sebentar, lihat lagi,” Najma memelototi tab.
“Bumbu lada hitam, minyak wijen.”
“Catat deh...Ditulis,takut lupa!”
“Cuma limaaa. Ingat-ingat: ayam, jagung, lada hitam, minyak wijen...,” Najma menyebutkan lagi satu persatu. Saya lupa apa bahan satu lagi.
“Lihat dulu, cara bikinnya gimana,” kata saya.
“Sudaaah, itu aja kok!”
“Siap,” saya mengacungkan jempol.

Di pasar, fokus saya pada mencari bahan-bahan yang disebutkan Najma. Yang lainnya titipan Nenek: jamur dan sawi. Saya menambahkan ikan kuniran. Sekedar simpanan, untuk sewaktu-waktu ingin makan ikan.
Sebenarnya berangkat ke pasar pukul delapan pagi itu termasuk siang. Pasar sudah agak sepi. Mbah penjual klanthing sudah kukut, mengemasi jualannya.
Masalah mbah penjual klanthing itu bisa disimak disini. Mbah tua yang bikin saya betah menunggu beliau menyediakan pesanan para pembeli. Biar lama juga tidak apa-apa.

Sampai rumah, kembali berjibaku dengan rupa-rupa pekerjaan. Mak Ying, bagian cuci piring dan masak, tidak masuk sejak Jumat. Cucian piring menggunung. Nabila sudah berangkat les sejak pagi. Ini hari-hari dia digempur dengan waktu les yang padat. Emaknya harap-harap cemas, menemani proses dia belajar. Menguatkan hati juga, menyiapkan diri menerima taqdirNya. Harapannya adalah, semoga Allah arahkan anak-anak kami pada ilmu yang akan membawa kemaslahatan bagi dunia akhirat. Memberi kontribusi besar bagi dakwah. Menjadikan mereka pejuang-pejuang agama Allah yang bertebaran di muka bumi dengan segala kebaikan dan amal sholih. Allahumma aamiin.

Najma menemani. Dia mulai mencuci jagung manis, dan mendidihkan air di panci. Di kompor lain, ada panci lebih besar yang juga mendidihkan air. Ini untuk merebus ayam.
“Ayamnya diapakan? Sudah Bunda potong kecil-kecil,” kata saya.
“Ayamnya nanti disuwir.”
“Gak usah disuwir gak papa. Kan sudah dipotong kecil-kecil,” saya keukeuh.

Sudah jam sembilan, saya baru ingat ada undangan di Kediri. Putera Bu Yulita, sahabat mengaji, menikah. Undangan untuk jam sembilan hingga sebelas siang. Mepet. Kalau harus disuwir, lamaaa.
“Disuwir ajaa!” Najma juga keukeuh. Ha, ibu dan anak yang sama-sama koleris berusaha saling mempengaruhi.
Gencatan senjata dulu. Fokus pada cucian piring. Juga membumbui ikan kuniran tadi.
“Ini jagung sudah?” Tanya Najma.
“Sudah, angkat saja. Pakai saringan besar itu, bawahnya beri baskom biar airnya gak netes.”
Najma mengambili potongan jagung rebus itu satu per satu. Sesekali dia ber’aw-aw’ , terpercik air panasnya.
“Emang sudah matang? Coba cicipi dulu,” tiba-tiba Ayah sudah ada di belakan saya.
“Kata Bunda sudah!”
“Cicipi dulu. Nanti kalau gak matang, jadi atos.”

Saya hanya mendengarkan saja. Berusaha menebak arah saran Ayah. Asli saran atau ada modus tersembunyi.
“Cobain... Hm, hm... Lagi. Hm...hm..,” Ayah menyomot beberapa butir jagung manis.
"Sudaaaaaah!” Najma menjauhkan mangkok jagung. Nah, betul, bukan? Ayah tertawa, lalu masuk ke ruang tengah.
“Tanganku panaaas!” Saya melongok, melihat cara Najma menyisir jagung. Ya Allah, ya jelas panas to Nduk. Dia memisahkan butir jagung dari bonggolnya dengan jari-jarinya!

“Pakai pisau. Kalau begitu caramu, lama dan kepanasan,” saya menyodorkan pisau, talenan. Lalu kembali mencuci piring.
“Aduuuuh, susaaaaah!” Najma mengeluh lagi. Saya melongok kembali.
“Ya Allah, ya jelas susah to Mbaaak. Pisaumu kebalik!”
Najma terkekeh-kekeh. Saya kembali lagi pada cucian piring.
“Yaaah, susah laagiii!” Najma mengomel lagi. Saya mengintip dari balik punggungnya.
“Aduuuuh, itu pisau kebalik lagi!”
“Wahahaha, maap. Gak perhatikan!”
Hadeeeh. Saya geleng-geleng takjub. Zahra lari-lari dari dalam dan bergabung.
“Aku ikut! Bantu-bantu yaaa!” Saya beri dia talenan dan pisau lain.

Ayam di panci sudah mendidih sejak tadi. Saya mematikan kompor. Melirik jam dinding, sudah menjelang jam sepuluh. Aduh, keburu nggak nih. Bawang bombay saya tumis menggunakan mentega. Ayam rebus ditiriskan.
“Biar gini aja, ya? Gak usah disuwir? Lebih asyik, lho, bisa diisap-isap tulangnya,” bujuk saya lagi.
“Nggaaaak. Suwir ajaaah,” Najma bertahan.
“Enak disuwir kok,” kata Zahra.
“Bunda mau kondangan. Nunggu ayam suwir lama,” kata saya.
“Sudahlah Bunda, jangan khawatir. Tinggalkan saja kami,” kata Najma. Idih, sok iye.
“Iyaaa, Bunda jangan cemas. Berangkat saja kondangan. Kami bisa,” timpal Zahra. Wew, bahasanya itu lhoo..
“Itu tumis bawang bombaynya. Tinggal cemplungin. Begini cara suwir ayamnya,” saya memberi contoh. Dengan garpu dan pisau, saya tunjukkan pada mereka bagaimana memisahkan daging dari tulangnya tanpa perlu memegang dengan tangan langsung.
“Nah, gini. Bisa?” Mereka berdua mengangguk.
“Kalau kalian rajin ke dapur begini, akan....”
“...terlatih, trampililll...,” Najma dan Zahra meneruskan kalimat saya. Wahahaha. Mereka hafal diksi nasihat-nasihat saya. Pinteeeeer!
“Bunda ini mestiii!”
“Hehehe. Bunda siap-siap dulu yes. Tinggal cemplung-cemplungkan saja ke panci,” saya menunjuk panci yang di kompor barat.

Emak lari menuju ruang dalam. Membuka pintu lemari, memilah baju yang akan dipakai. Lari lagi ke kamar, ke tempat jilbab digantung. Nah, ini, jilbab merah, outer merah menyala, dan dress biru. Tabrak lari? Tak ape-ape.
Saya tengah memakai jilbab ketika Zahra masuk.
“Minyak wijennya gimana?”
“Gak usah gak papa,” kata saya smabil memasang bros.
"Kalau kata Ayah pakai ini, boleh?” Zahra menunjuk botol minyak zaitun di tangannya.
“Boleh, pakai saja,” saya ngawur. Belum pernah masak sup dengan menambahkan minyak zaitun. Bagaimana rasanya? Biar asajalah!

Sebelum berangkat, saya ke dapur dulu. Najma sedang mengaduk-aduk supnya.
“Sini, minta dikit,” saya menyodorkan sendok.
“Kurang asin.”
“Naaah, Bunda komentarnya jelas. Kurang asin. Gak kaya Ayah tadi. Bilangnya cuma ‘kurang apa yaaa? Kurang enak kayanya!’ Ayah mah gitu!” kata Najma. Ayah hanya tertawa geli.

Saya berangkat dengan lega. Sup ayam jagung anak-anak lumayan juga. Besok-bespk bikin lagi aaaah....

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.