AHADUN AHAD!

Kamis, Oktober 26, 2017

Jika ke pasar Pon, saya usahakan membeli klanthing campur lupis pada seorang mbah-mbah tua. Ah, kalimat saya berlebihan! Kalau dibilang mbah-mbah, ya jelas sudah tua.

Penjual klanthing itu menempati lapak berupa meja bambu, ukuran panjang tak sampai satu meter. Sempit. Di sebelah timurnya, bapak penjual tempe berwajah teduh. Sebelah timurnya lagi, penjual ayam, suami isteri yang lincah dan kompak. Di sebelah utara lapak simbah, toko sayur yang selalu ramai dan sibuk. Seberang barat, penjual aneka kerupuk matang. Sebelah selatan pejual kerupuk adalah penjual sayur juga, yang tokonya lebih kecil dari toko sayur sebelah utara simbah. Lalu sebelah selatan warung sayur yang lebih kecil itu, ada meja penjual ayam lagi. Penjual ayam yang ini, lebih sedikit ayamnya dan lebih kecil mejanya dari pada suami isteri penjual ayam. Nah, penjual ayam yang lebh sedikit ayamnya dan lebih kecil mejanya ini berdekatan dengan kamar mandi, berseberangan dengan penjual jajan pasar, dan berseberangan dengan penjual bubur sruntul.
Pertanyaannya: dimana penjual panci berada?
A. Belakangnya simbah
B. Berseberangan dengan simbah
C. Sebelah kanan simbah
D. Sebelah kiri simbah
Sudah dapat jawaban? Perlu survey dulu? Monggooooo...

Bay de way, mengetik kata 'simbah' bolak-balik, jadi ingat tokoh utama film kartun. Yang suka mengaum itu. Wahaha.

AHADUN AHAD

Jadi, saya mau cerita. Saya suka membeli lupis dan klanthing, terutama hari Sabtu. Hari libur, dimana saya bisa berlama-lama mengamati para penghuni pasar yang jadi penjual langganan saya. Mengamati dengan tenang, tidak diburu waktu.
Di belakang kursi simbah , ada penjual peniti, tambal panci, jepit, karet, sisir, dll. Penjualnya laki-laki muda. Dia berjualan tanpa meja, dihampar begitu saja barang-barangnya. Duduk di jalan, lesehan. Lebih sering memunggungi simbah, dan mengobrol dengan penjual lainnya.

Dia menarik perhatian saya sebab kata-katanya.
Saat antri menunggu pesanan klanthing, obrolan di kalangan penjual itu saya dengarkan. Bukan menguping, lho. Lha wong mereka bicara dengan volume agak tinggi, jadi saya gak perlu pasang aksi menguping. Dengan sendirinya percakapan mereka didengar sekeliling.

"Ahadun ahad! Ahadun ahad! Ahadun ahad!" teriakan lantang ini membuat saya terhenyak. Siapa yang mengatakan? Saya celingak-celinguk.
'Ahadun ahad! Ahaduh ahad! Ahadun ahad!" suara membahana lagi.
Mas penjual karet, jepit, dll itu!



Kalimat itu, saya suka. Membekas sekali. Sebab ia menautkan pikiran dan hati saya pada kisah shahabat Rasulullah saw yang masyhur. Kalimat yang memberikan pukulan telak bagi Umayyah bin Khalaf yang pongah dengan kesombongannya. Yang bebal dalam kejahiliyahannya. Yang petantang-petenteng pamer kekuasaan, namun merosot wibawa di hadapan budak hitam yang dihinanya.
Bilal bin Rabah.
Ahadun ahad! Kalimat yang membuat Umayyah putus asa dan membisiki Bilal untuk satu kali, satu kali saja, mengucapkan tuhan manat, untuk menjaga martabat Umayyah di hadapan pembesar Quraisy dan penduduk Mekkah.
Kalimat ini yang mengundang batu panas hitam ditindihkan di dadanya dan Bilal kokoh dalam penderitaan, untuk mempertahankan aqidahnya .

Ahadun ahad! Kalimat yang menginspirasi umat muslim yang saat itu disiksa untuk tabah dan shabar. Kalimat yang menyentakkan para pembesar Quraisy dan diam-diam kagum, bahwa ajaran Islam sanggup membuat pengikutnya (saat itu) yang sebagiannya adalah kaum miskin, berubah jadi berani dan punya harga diri. Tak takut celaan dan siksaan para pembesar dan orang-orang kaya.

Setelah berkali-kali membeli klanthing dan mengamati, akhirnya, pada suatu hari, saya mendekati mas penjual itu. Sambil jongkok di depan barang-barangnya, saya memilih-milih, kira-kira apa yang bisa saya beli. Telinga saya tegak, waspada terhadap kata-kata lain yang akan dia ucapkan. Siapa tahu ada kalimat lain yang sama-sama 'amazing'nya.

"Beli peniti, mas. Berapa harga?"
"Beli berapa, Mbak?" Dia balik bertanya tanpa mengubah posisi duduknya.
"Satu renteng, deh," saya menunjuk peniti yang dimasukkan plastik kecil-kecil. Warnanya kuning.
"Allahu akbar," desisnya, saat mengangkat badannya, hendak meraih peniti. Kemudian, entah berapa kalimat thoyyibah yang saya dengar selama transaksi. Gak sempat menghitung.


SIMBAH KLANTHING

Jari-jari tangan simbah ini menekuk, terutama yang sebelah kiri. Apa karena demikian lama posisi jari begitu saat menjumputi klanthing, menata lupis, lalu menaburkan kelapa? Tangannya sering tampak bergetar.
Yang saya suka adalah, jika hendak mulai memenuhi pesanan baru, beliau selalu berbisik agak keras, "Bismillaahirrahmaanirrahiim."
Awal mendengar itu, saya terpaku. Tersihir. Cara simbah mengucapkan basmalah itu begitu dalam dan begitu teguh. Begitu sungguh-sungguh.
Setelah genap jumlah pesanan pembeli, beliau akan mengambil kantong kresek yang (sebagian besar) sudah lusuh. Kantong kresek itu dirapikan dahulu supaya hilang lusuh, lalu akan dikibaskan sambil berbisik lagi: "Bismillaahirrahmaanirrahiim."
Lalu, sebelum bungkusan klanthing itu dimasukkan, kembali beliau bergumam: "Bismillaahirrahmaanirrahiim."

MasyaaAllah.
Indahnya.
Kapankah terakhir saya mengucapkan basmalah dengan kesungguhan dan kedalaman makna yang sama seperti simbah?

Jika ke pasar Pon, saya berusaha membuka mata lebar-lebar dan menajamkan telinga. Berharap ada kesholihan sederhana yang menginspirasi.

Note:
Untuk mendapatkan gambar simbah dan si mas untuk tulisan ini, saya perlu bolak balik ke pasar. Beberapa kali gagal sebab sampai di pasar saya lupa tidak membawa hape.
Sekalinya membawa hape, simbah sudah kukut. Dan si mas juga tak nampak.
Jadi, ketika tulisan ini diposting (Kamis, 26 Oktober 2017, pukul 21.47), saya belum berhasil mendapat gambar mereka. semoga besok bisa hunting, yes. Happy reading!

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.