MERDEKA!!
Narti melintasi alun-alun pelan-pelan. Sudah lima belas menit ia berputar-putar di sini, mencari suami dan anak-anak. Tadi mereka duduk-duduk dekat penjual kerak telur. Menunggu bapak penjual kerak telur memenuhi pesanan anak-anak.
“Aduh, perlu ke kamar kecil!” Narti meringis sambil melirik Mas Ari, suaminya. Sambil pasang ekspresi kepepet, sebagai kode. Minta diantar, maksudnya. Mas Ari hanya melirik sekilas.
“Ke masjid, sana. Kami menunggu disini ,” kata Mas Ari datar. Walah, laki-laki, gak peka blas! Bersungut-sungut Narti beranjak.
“Ibu ke masjid dulu, tunggu sini,” kata Narti pada Aisy, si sulung. Narti menyodorkan tas kecilnya. Aisy menerima tas itu sambil mengangguk. Erdo dan Afif asyik melihat penjual membuat kerak telur pesanan mereka.
Ternyata banyak yang mengantri di kamar mandi masjid. Ada dua bis rombongan yang singgah di masjid. Narti harus menunggu lima belas menit hingga gilirannya.
Dan ketika kembali, Mas Ari dan anak-anak sudah tak ada di tempat semula. Narti dongkol. Semakin jengkel hatinya ketika ingat hapenya ada dalam tas yang dibawa Bela.
Narti memutuskan ke utara. Tadi Afif, si bungsu, sempat minta dibelikan bebek goreng. Siapa tahu mereka di warung bebek langganan sebelah utara itu.
Nihil, tak tampak jejak mereka di sana. Narti menghela nafas, berusaha mengurai jengkel yang semakin menumpuk. Perut mulai dangdutan, lapar. Narti merogoh saku rok celananya. Siapa tahu ada uang terselip. Kosong, hiks.
Setelah berkeliling di sisi utara alun-alun, Narti menyusuri bagian selatan.
Sampai pegal kaki mencapai depan masjid Jami kembali, tak juga ketemu. Narti ingin pulang, tapi ragu-ragu. Naik apa? Kunci rumah ada di tas. Kalau naik becak, lalu di rumah tak ada siapa-siapa, dengan apa membayar ongkos becaknya?
Capek, jengkel, campur aduk jadi satu.
“Yu!” seseorang menepuk punggungnya. Narti refleks berputar.
“Dik Santi! Sama siapa?” Narti melirik, mencari Pak Santi, eh, Pak Nardi.
“Sama anak-anak, sedang di warung sate sama Ayahnya,” Santi menunjuk warung depan mereka.
“Aku tadi lihat Pak Ari sama anak-anak,” kata Santi.
“Dimana?” Narti semangat. Ingat sate, obat lapar.
“Pertama, di depan warung bebek. Kedua, pas aku keliling ke timur, kulihat di depan gerobak es jeruk. Ketiga, di depan martabak depan masjid,” Santi bercerita. Tangannya bergerak-gerak menunjukkan tempat-tempatnya.
Apa? Tiga tempat, dan semuanya makanan? Kejengkelan mendesak-desak ke ubun-ubun. Dangdut di perut meraja lela. Cenut-cenut di kaki tiba-tiba muncul.
Narti cepat-cepat pamit pada Santi. Ia menyeberang jalan dan duduk di tembok dekat gerbang masjid. Bingung, marah, lapar, beraduk lagi jadi satu.
Kemana Mas Ari dan anak-anak? Kenapa mereka tidak mencarinya? Makan-makan sendiri, tanpa dia?
Narti kecewa. Mas Ari memang tidak peka. Mestinya Mas Ari tahu, Narti pasti kembali ke penjual kerak telor. Mestinya mas Ari tidak meninggalkannya begitu saja. Mestinya mas Ari berkeliling mencarinya, seperti Narti sudah berkeliling mencari mereka. Mestinya...
Sesak dada Narti. Bingung harus memutuskan apa: pulang, atau menunggu di sini?
Narti beranjak ke teras masjid, mengintip jam di koridor depan. Pukul dua puluh satu lebih.“Ibu!” Sebuah suara memanggil. Erdo berlalri-lari mendekat. Di tepi jalan, Mas Ari menunggu diatas motor. Motor? Tadi berangkat naik mobil, kenapa sekarang motor? Jadi mereka pulang? Ya ampuun, Mas Ari tega!
Sesak dada karena marah semakin menjadi. Narti manyun. Enggan memandang Mas Ari, duduk begitu saja di boncengan tanpa mengatakan apa-apa.
“Kok di masjid?” Mas Ari bersuara.
Kok di masjid? Huh, apa gak salah? Mestinya Narti yang bilang : Kok pulang? Kenapa tinggalkan Ibu di alun-alun sendiri? Kenapa beli-beli makanan dan gak tunggu Ibu? Ibu lapar, capek, bingung, tau!
“Tadi aku cari Ibu, sama Mba Aisy. Pertama ke masjid, Ibu tidak ada di kamar mandi. Terus, Aisy dan Erdo keliling alun-alun, Bu. Sampai tiga kali!” kata Erdo lantang.
“Dek Afif muntah-muntah, Bu. Kepalanya pusing. Tadi diantar pulang, sekarang bobok di rumah sama Mba Aisy,” lanjut Erdo lagi.
Astaghfirullah. Ya, Allah. Betapa buruk prasangka-prasangkanya. Betapa kerdil pikirannya.
Narti memeluk pinggang Mas Ari erat-erat. Umbul-umbul di tepi jalan melambai-lambai. Semarak Agustus mulai nampak.
Ini bulan kemerdekaan. Narti ingin merdeka. Merdeka dari buruk sangka, merdeka dari dugaan-dugaan tak berdasar. Merdeka dari kemarahan. Harus bisa, harus berlatih.
MERDEKA!
Tidak ada komentar: