INVESTASI

Selasa, Oktober 24, 2017




Narti melintasi halaman sekolah. Ini siang yang terik. Sejumlah pelajar lewat di depan Narti. Tangan mereka menjinjing Al Quran, hendak menuju masjid.
Adem melihat pemandangan ini. Narti berhenti sejenak, memandangi mereka.

“Yuuuuu!!” sebuah suara melengking, cempreng, terdengar. Narti menoleh ke koridor masjid sebelah selatan. Seorang perempuan melambai-lambaikan tangannya. Narti mendekat.
“Assalamua’alaikum, kok disini, Yu?” Siti, sesama kader posyandu dari desa sebelah, mengulurkan tangannya.
“Alaikumussalam warahmah. Iya, setor infaq sekolah anak-anak,” kata Narti, lalu ikut duduk di sebelah Siti.
“Oooh, putrinya sekolah sini? Yang nomor berapa?”
“Tiga-tiganya di sini. Mbaknya angkatan ketiga, sekarang disusul adik-adiknya. Putra panjenengan juga disini? ”
“Iya, baru masuk. Gimana sekolah ini, Yu?”
“Bagus. Anak-anakku senang disini.”
“Bayarnya mahal, ya?”
“Yaaa, gitu itu. Mahal ndaknya kan relatif,” Narti tersenyum simpul.
“SPP sama makannya, bisa dua ratus lebih, ya Yu? Dikali tiga...ck..ck..ck. Belum uang saku. Habis berapa sebulan, Yu? ” Siti menerawang.
“Ada rejekinya, InsyaaAllah,” kata Narti santai.
“Ya, situ bisa bilang begitu, kan PNS. Buat aku, lumayan juga. Untung anakku baru satu,” Siti tertawa kecil.
“Aku pernah ketemu ibu-ibu, dari Madura. Mau tak ceritani, ndak?”
Siti mengangguk. Ia membenahi duduknya, menghadap penuh ke arah Narti.

“Ibu itu, pedagang kecil-kecilan. Kami bertemu waktu aku mengantar mbarepku ke pondok. Ibu itu pesan, untuk urusan pendidikan anak-anak, jangan pernah putus asa. Menuntut ilmu itu mulia, menyekolahkan anak itu amal baik. Pasti ada jalan, Allah pasti tolong orang-orang yang semangat menuntut ilmu. Katanya, jangan ragu, rezeki Allah luas. Hatiku maknyessss dengar nasihat itu. Bismillah, pasti ada jalan,” kata Narti, sambil mengepalkan tangannya.
“Lha tapi gak kuat mbayar, piye?”
“Jangan diniatkan mbayar. Perbaiki niatmu dulu. Uang sekolah anak itu infaq. Kalau diniatkan infaq, pahalanya berlipat-lipat. Hasilnya juga barokah untuk anak-anak, insyaaAllah.”
“Barokah sih barokah, Yuuu. Sing nggolek duwit iki yo iso pegel barang,” Siti mengomel. Narti tertawa.
“Maka dari itu, biar pegelnya membawa berkah, maslahat, lan manfaat, niatnya diluruskan. Ojo mung diniatkan nggolek duwit akeh. Nanti sudah capek jungkir balik, ndilalah gak dapat apa-apa. Lak rugi!”
“Kalau masuk sekolah biasa-biasa saja, mungkin lebih ringan, ya?” ujar Siti.
“Masukkan anak ke sekolah mana itu pilihan, Jeng. Mau di sekolah negeri, monggo. Di sekolah swasta, monggo. Yang murah, boleh, yang mahal silakan. Sing penting, orang tua punya tujuan, punya visi, anaknya mau diarahkan menjadi anak bagaimana. Gak cuma daftarkan, terus pasrah bongko’an sama sekolah. Anak itu kan investasi. Investasi akhirat orang tua. Jadi orang tuanya juga harus peduli dan kerja sama dengan sekolah. ”
Siti diam, mencerna perkataan Narti.
“Investasi anak, ya. Koyo wong nanam saham, gitu tah? Dapat bathinya kapan?”
“Bathinya di dunia akhirat!”
“Suwi, nunggu di akhirat,” Siti nyengir.
“Mau sekarang?” kata Narti sambil tertawa.
“Waduh, jangan. Dereng siap. Yu Narti ini bikin saya takut saja!” Siti bersungut-sungut.

Narti tersenyum lebar. Siti bangkit.
“Kemana, Jeng?”
“Ke TU. Mau mbayar, eh infaq dulu,” kata Siti. Narti tertawa. Siti berdiri di depan Narti, menghadap kiblat, dan mengangkat tangannya.
“Ya Allah, aku niat bayar infaq. Terimalah amal sholihku ini,” Siti berdoa dengan suara agak keras.
Narti mengaminkan.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.