IBU SUKAYSI

Jumat, Oktober 13, 2017


MAHLUK LANGKA

Mengawas seharian kemarin, saya mendapati tiga siswa dengan gaya berbeda-beda.
Mengapa mengamati siswa? Sebab mereka istimewa. Kaum minoritas di SMKN 1, termasuk mahluk langka. Dari 54 kelas yang ada, yang memiliki jumlah kaum adam terbanyak adalah jurusan Multimedia (MM). Biasanya menumpuk di kelas MM2. Berderet-deret nama Muhammad atau Mohammad di sana. Tiga tahun berturut-turut saya diamanahi menjadi wali kelas itu. Seru! Lucu-lucu, menjengkelkan, menggemaskan, dan...mengharukan.

Contoh, nih.
Suatu waktu, saya mengajar kelas XI MM 2. Mereka tengah berjajar duduk menghadap jendela. Begitu saya masuk, mereka semburat menuju bangku masing-masing.
Penasaran, saya mengintip jendela. Ada beberapa siswi yang sedang bergerombol di seberang jendela. Dari kelas X, jurusan lain.

Saya bisik-bisik sama siswi di kelas itu. Kurang lebihnya begini (saya lupa detilnya, jadi mohon dimaklumi jika tidak persis):
Saya : Anak-anak jurusan itu memang suka di situ?
Siswi : Iya, Bu, kadang-kadang mereka seperti sengaja.
Saya : Sengaja gimana?
Siswi : Itu Bu, sengaja pamer. Baju atasannya seperti sengaja tidak dikancing, lalu nunduk-nunduk gitu, jadi kelihatan.... Atau duduknya seenaknya. Ya anak-anak lihat lah...

Saya njumbul. You know njumbul? Itu, sejenis terlonjak karena terkejut atau shock. Jadi sambil njumbul, saya mikir: “Whooot? Pamer badan depan orang banyak gitu? “

Saya : Jadi teman-temanmu menonton mereka?
Siswi : Iya Bu.
Ekspresi siswi itu antara meringis, malu, geli, pokonya gak jelas, gitu. Saya? Melongo. Kok yo menclok ide untuk memancing perhatian dengan cara begitu.
Sebelumnya memang beberapa kali saya dengar ada statemen begini di kalangan siswi jurusan lain:
“Enak lewat depan MM, banyak cowok cakepnya.”
Hohoho, lewat sambil melenggak lenggok, serupa jalan di catwalk.

Terhadap para mahluk langka itu, saya pasang standar tinggi dalam mengajar. Saya tidak menoleransi sikap seenaknya, tidak bertanggung jawab, tidak bersungguh-sungguh, menyontek saat ulangan, tugas yang copy paste, dll.
Bahasa pengantarnya begini:
“Kalian laki-laki, akan menjadi pemimpin kelak, minimal di rumah. Memimpin isteri, anak. Kudu bisa diandalkan. Karakter mampu diandalkan itu gak makbedunduk muncul. Prosesnya panjang. Dari kebiasaan-kebiasaan sehari-hari. Gimana bisa diandalkan kalau watak pemalas dipelihara? Gimana bisa jadi sandaran kalau kalian biasa bergantung pada orang lain dalam mengerjakan pe-er? Kerjakan sendiri, kalau gak bisa, nanya. Yang penting usaha. “
Weisssss. Sudah cocok jadi tukang obat, belum?

PERTAMA DAN KEDUA

Balik ke tiga siswa di kelas tempat saya mengawas UTS.
Kelas pertama, full cewek. Kelas kedua, dua cowok nangkring. Satu tepat di depan saya (malangnya dia!), yang satu lagi, dua bangku di belakangnya.

Yang pertama, jelas anteng. He doesn’t have any choice, lah. Dia salah satu pegiat literasi tahun lalu. Jadi, gak berani macam-macam.
Yang kedua, ini rada unik. Kulit sawo matang, postur tubuh rata-rata. Wajahnya seperti mau nangis, sendu. Seneng duit, wehehe.
Entah kenapa, dia suka sekali menoleh ke belakang, ke cewek manis berkaca mata yang duduk di deretan akhir.
Sejak awal soal dibagi, dia banyak bengong. Sekian menit pertama kertasnya melompong, tak ada tulisan apa-apa. Bengong, menoleh ke belakang. Bertopang dagu, melamun. Saya yakin dia tidak sedang berpikir, sebab pandangannya kosong.

“Tidak belajar?” saya bertanya ketika membagi soal jam berikutnya.
“Belajar, Bu,” katanya gagap.
“Kok kelihatan bingung, begitu?”
Dia tersenyum gugup.

Menit-menit terakhir, barulah dia berusaha keras. Setelah bolak balik menoleh tidak ada hasilnya (sebab setiap dia begitu, saya mengawasi), dia berjibaku. Dahinya berkerut, matanya bergerak-gerak khas orang berpikir keras. Tidak ada lagi wajah memelas dan sendu. Bagi saya, dia tampak macho. Jauh lebih enak dilihat ketimbang sebelumnya.

KETIGA

Yang ketiga ini, kelas X. The only one boy di ruangan. Duduk paling ujung, tepat depan saya. Sasaran empuk, hehe.
“Berdoa dulu,” kata saya.
“Sudah, Buu,” mereka koor menjawab.

Saya berdiri, hendak membagi soal dan lembar jawaban. Sebelum bergerak, saya sampaikan kalimat sakti mandraguna yang bisa membuat siswa-siswi yang baru pertama mendengar menahan nafas sebab aura horornya: “Ini aturan saya: no cheating, no discussing, no asking or giving answer. Tidak menyontek, tidak berdiskusi, tidak menanyakan atau meminta jawaban.”

Mereka bengong, lalu helaan nafas terdengar. Nah, itu pertanda mereka paham. Let’s go.

Cowok satu itu, sempat menoleh ke belakang. Mengintip kerjaan temannya.
“Ssst, gak usah gitu. Kerjakan sendiri,” saya berbisik maksimal, bisa didengar sekelas. Dia nyengir malu.
Balik lagi ke kertasnya, bengong lagi. Diam, bertopang dagu. Matanya kosong.
Nah, gayanya sama kan? Saya hafal dengan ekspresi berharap sontekan gini. Khas.

Dia mencoret-coret kertas. Entah menulis apa. Tiba-tiba kertas dilemparnya ke belakang. Siswi yang duduk di belakangnya terkejut, ekspresi wajahnya seperti merasa terganggu. Saya hanya diam, memandangi saja.
Siswi itu memungut kertas, lalu dibuangnya.

Tiba-tiba dia bertanya: “Siapa nama guru pengajarnya?”
Di lembar jawaban memang ada identitas guru pengajar yang harus diisi.
Ganti saya yang bengong. Hellooo, sudah diajar selama hampir empat bulan, tidak hafal nama gurunya? Selama pelajaran kemana aja, Le? Ke Hongkong?

Teman-teman sekelasnya tertawa. Bagi saya, ini tidak lucu. Ini pertanda buruk, bahwa dia tidak respek atau bersungguh-sungguh belajar bidang studi itu. Oke lah tidak suka, tapi sampai tidak tahu namanya, itu kebacut. Kelewatan.

Menit-menit terakhir, tinggal dia dan siswi di belakangnya. Gayanya menyelesaikan soal-soal itu agak heboh. Dia bergerak ke kanan, ke kiri. Tangannya mengetuk-ngetuk meja. Bola matanya berputar cepat. Seolah-olah dia sedang berusaha menghela koleksi hafalannya keluar. Seakan-akan ada konsep yang nyelip entah dimana, dan dia mencoba mencungkilnya sekuat tenaga.

Done! Kertasnya dikumpulkan paling akhir.
Saya mengintip, penasaran dengan apa yang ditulisnya.



Ha, nama guru pengajar tertulis : IBU SUKAYSI. Harusnya : Ibu Sukesi.
Sek, sek... Sukaysi, kok jadi ingat syair ini:

Sekuntum mawar merah
Yang kau berikan kepadaku di malam itu
Ku mengerti apa maksudmu
Sampai kini kusimpan...

Penyanyinya Elvi Sukaysi, kan? Joget yuk.
Taariiik Maaaaang...


Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.