BUWUH

Senin, Oktober 02, 2017


Narti masih memakai baju cantiknya. Baru saja melepas sandal jinjitnya, ada suara gerbang pagar dibuka.
“Mbak Yu! Aku ndelok suvenirmu!” May, tetangga sebelah berlari-lari kecil ke arahnya. Narti menuju motor yang diparkir depan mushalla, dan mengambil kantong kertas kecil. May menarik isinya dengan tergesa. Matanya melotot.

Lha iyo, thooo. Bener! Wah, sakno Bu Yayuk!” May menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sendu. Narti menarik gelas bening yang dibungkus kain cantik dari tangan May. Sekian detik matanya memelototi gelas itu, rasanya tak ad ayang aneh.
Gelas itu suvenir pernikahan puteri almarhum Pak Sartono dan Bu Yayuk. Baru empat bulan lalu Pak Sartono wafat.

“Opo tho? Ada apanya?” Narti memutar-mutar gelas tinggi itu. Gagal paham.
“Ini, lihat ini!” May menunjuk-nunjuk nama pengantin yang tertulis disana.
“Terus, kenapa?” Narti memandang May, semakin heran.
“Ya ampuuun, Mbak Yuuu! Jenenge manten tadi siapa?”
Lali, siapa nama mantennya?”

May menepuk dahinya dengan jengkel.
“Nama mantennya tadi Rahmad dan Desi. Yang di suvenir ini Agung dan Hesti,” May mengangkat gelas itu lagi, ke depan wajah Narti.
“Lha, terus kenapa? “ May menarik tangan Narti, mengajaknya duduk di kursi teras samping.
“Itu, yang tercantum di gelas suvenir, nama puteranya yang mbarep. Dulu kabarnya mau ngunduh mantu, tapi Pak Sartono keburu sedo,” kata May.
Narti terpekur. Membayangkan beratnya beban Bu Yayuk sebagai single parent.
“Itu tadi, Mbak, wong-wong podo ngrasani hajatane Bu Yayuk. Mbak Narti buwuh jam berapa ?”
“Jam sebelas.”
“Masih kumanan?”
Kumanan apa?”
“Makaaan. Masih kebagian lauk?”
“Masih, masih banyak. Jane ono opo tho?” Narti merasa tidak enak, membahas makanan macam begini. Kurang kerjaan betul.
“Orang-orang banyak yang tidak kebagian, loh Mbak. Katanya banyak lauk yang habis. Gule, kikil, tinggal kuwah thok! Terus ada lauk yang rasanya aneh, gak enak!”
“Orang-orang siapa maksudmu?”
“Ya, tetangga-tetangga sekitar sini! Bu Neni, Bu Lastri, Bu Yani, dan ibu-ibu lain. Rame, Mbak. Tadi dibahas di dalam mobil, pas pulang. Aku kan bareng mereka,” May menjelaskan panjang lebar. Bersemangat sekali. Tangannya bergerak-gerak cepat. Ekspresif.
Sing dibahas apa?” Narti sungguh tidak mengerti, apa masalahnya.
“Waduuuuh, Mbak Narti iki lemot tenan! Ya iku, Mbaaak, masak hajatan kok makanan kurang. Suvenirnya begitu. Lak yo dadi rasan-rasan orang-orang,” May kembali berekspresi. Mirip tokoh tukang gosip di televisi.

Narti menarik nafas panjang. Sedih, jengkel, heran. Ibu-ibu memang ajaib, bahasannya kadang gak mutu. Kadang loh. Pembaca dilarang tersinggung.
“May, datang ke hajatan itu, niatnya ditata. Niat mendoakan, menampakkan rasa senang atas kebahagiaan saudara, sahabat atau tetangga kita. Jangan diniatkan untuk makan-makan, atau dapat suvenir,” Narti angkat bicara.
“Wah, wis, mulai, iki. Ceramah maneh!” May menyandarkan tubuhnya ke kursi, berlagak sebal.
Ndak mau dengarkan ya sudah,” Narti hendak beranjak pergi. May menarik tangannya buru-buru.
“Ojo nesu talaaah. Teruskan, aku dengarkan,” May menunjukkan wajah seriusnya.
“Kata Baginda Rasul, jangan mencela makanan. Kalau suka, makanlah. Kalau ndak suka, ya tinggal saja, gak usah dicela. Itu masalah makanan. Kembali ke hajatan, gak usah komen neko-neko masalah hajatan orang. Datang hajatan, niatkan mendoakan dengan tulus, silaturahim, ketemu orang banyak. Jangan makanan jadi tujuan utama. Koyo gak tahu mangan enak wae! Kalau kurang puas sama makanan di hajatan, gampang. Pulang dari situ, mampir sana ke Nikmat, Wong Solo, atau restoran lain. Makan sepuasnya,” Narti menasihati panjang lebar.

May diam, entah paham, entah mengantuk. Tapi matanya melok-melok, mendeliki gelas suvenir di tanganyya.
“Mbok ya, nama di suvenir ini dihapus, biar gak dirasani orang-orang,” gumam May sambil memandang suvenir di tangannya.
“Ya Allah, May. Bayangkan beban Bu Yayuk, sendirian, harus urusi pernikahan anaknya tanpa suami. Berat loh. Kita maklumi saja, gak usah jadi bahan untuk menjatuhkan. Lagian, dalam masalah hajatan, mau apik opo elek, tetap saja ada peluang dicela. Wis biasa itu. Yang penting, kita jangan ikut nyacat. Ati-ati, nanti giliran kita yang punya hajat, kuwalat!”
“Adoooh, Mbak Yu meden-medeni!” May beranjak.
“Suvenirmu tak bawa ya,” May menuju pagar.
“Eh!” Narti melongo, tak berdaya.

Note:
Serial ini dimuat di majalah bulanan LAZ UQ. Akan muncul kisah-kisah Yu NArti lainnya. Wait, ya!


Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.