BAPAK PENJUAL TANGGA

Selasa, Oktober 31, 2017


Ahad pagi, saya mengajak Mas Budi ke pasar Pon. Hendak berburu foto Mbah klanting dan lupis, juga membeli ikan.
Sudah pukul 07.30 WIB. Tidak yakin juga si Mbah masih jualan siang begini. Tapi siapa tahu ada. Siapa tahu saya bisa ambil fotonya, setelah mencba berkali-kali gagal. Kenapa saya penasaran menfoto beliau, bisa dibaca di sini.
Menutup pintu pagar, saya melihat seorang bapak tua, kurus, melintas. Bukan penampilan fisiknya yang menarik perhatian. Tapi pada apa yang dibawanya.

Beliau menuntun sepeda tua, yang sudah karatan disana sini. Cuma beralas kaki sandal yang butut, dengan celana sedikit di bawah lutut. Baju putih, dan topi khas petani. Topi yang mengingatkan saya pada almarhum Ayah di Gudo. Baju dan celananya sama lusuh.
Lalu kenapa dengan sepedanya? Pada sepedanya, ada tiga buah tangga panjang-panjang yang diikat di sisi kiri kanan. Tangga sepanjang 4 meter. Juga lincak. Lincak itu, tempat duduk dari bambu yang berukuran panjang. Semua barang itu terikat pada sepedanya.

“Yah… Beli, kita beli!” Mas Budi memandang saya ragu-ragu.
“Beli? Kita masih punya tangga.”
“Biar, beli saja,” saya ngeyel.
“Panggil? Beli?” Mas Budi masih ragu dengan keinginan saya.
“Untuk apa punya tangga dua?”
“Pokoknya beli. Ntar tangganya kasihkan siapa kek,” kata saya. Mas Budi tertawa. Saya naik boncengan, dan kami melaju. Bapak tua itu sudah berjalan sekitar lima lima puluh meter.
“Pak, tumbas,” kata Mas Budi.
Bapak itu menoleh. Tersenyum. Mata kecilnya ikut tersenyum.
Mriku nggeh Pak,” Mas Budi menunjuk pagar rumah kami. Bapak tua itu mengangguk.

Kami berbalik, kemudian menunggu. Bapak tua itu agak kesulitan memutar sepedanya. Tangga panjang itu menabrak pagar rumah depan jika langsung berbalik. Jadi perlu atret berkali-kali agar bisa berputar dengan selamat.
Saya berlari ke dalam. Mengambil beberapa gelas air mineral dan roti yang ada di meja. Menyimpannya dalam tas kain, lalu bergegas keluar.
Pinten, Pak?” Mas Budi bertanya.
Sing petang meter, wulung atus,” jawabnya. Saya melongo. Delapan ratus? Wah, gak ada uang segitu di tangan saat ini.
Wulung atus nopo wulung doso?” Mas Budi bertanya lagi. Bapak tua itu tertawa kecil, menyadari kekeliruannya.
Wulung doso, ngapunten,” katanya. Saya melongo lagi. Delapan puluh ribu? Berapa keuntungannya dengan membawa empat buah tangga saja sekali jualan? Beliau menyebut harga tangga lain, yang panjangnya tidak sampai empat meter.
“Yang mana? Empat meter saja?” Mas Budi minta persetujuan. Saya mengangguk.

Bapak tua menurunkan tangga empat meter. Sebab lincak itu menempel dengan tangga, maka dia perlu menurunkan lincak itu juga.
Mboten skalian niki?” Dia menunjuk lincak itu. Menekan-nekan untuk menunjukkan kekokohan lincak tersebut.
“Pinten?” Mas Budi bertanya.
Satus petang puluh mawon, lincak kalian ondo,” katanya.
Mas Budi melihat saya sambil tersenyum.
“Beli?”
“Simpan mana?” Tanya saya.
“Mana saja. Buat duduk-duduk,” katanya.
Baiklah.

Mas Budi mengangkat tangga, menyimpannya di balik pagar. Lalu menggotong lincak dan membawanya masuk.
Saya membayar, sambil menyerahkan tas kain.
“Rumahnya mana, Pak?” Bapak tua itu menyebutkan satu desa di luar kecamatan.
“Panjenengan jalan kaki terus, menuntun sepeda ini?”
Inggih, mlampah terus Mbak,” jawabnya. Saya mengamati sepedanya. Sepanjang tangga itu masih menempel di situ, tidak bisa sepeda dinaiki. Jadi, jika ingin pulang mengayuh sepeda, tangga-tangga itu harus laku. Bila tidak, dia harus berjalan sampai rumahnya.
Oh, masyaaAllah.

Beliau berpamitan. Saya masih memandangi langkahnya menjauh. Berjalan sepanjang hari menjajakan barang yang tidak banyak orang membutuhkan.
Terbayang senyumnya yang halus dan tulus.
Barakallah, Bapak. Langkah kaki Bapak semoga menjadi amal sholih di yaumil akhir nanti. Sebagi bukti ibadah dalam mencari nafkah yang halal. Semoga jadi jalan ampunan, limpahan rahmat dan kasih saying dari Allah subhanahu waTa’ala.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.