WHY NOT?

Minggu, Oktober 08, 2017
"Apa salahku? Aku gak pernah nyalahi dia, gak pernah musuhi dia. Kenapa dia lakukan itu padaku?"

Pernah katakan itu? Saya pernah.

Setahun lalu, dua hari menjelang hari pertama tahun ajaran baru, tiba-tiba saya dipanggil. Yang memanggil adalah salah satu pejabat di tempat saya bekerja.

Dia memulai pembicaraan dengan kaku. Tampak jelas kebingungan bagaimana menyampaikannya.
"Sebenarnya, saya juga agak kagok menyampaikan ini. Tapi,saya harus melakukannya," katanya. Saya duduk diam menunggu.
Kemudian, meluncurlah enam 'daftar dosa' yang -konon katanya- harus saya ketahui dan perbaiki.

Pertama, saya mengajak anak-anak (yang tergabung dalam komunitas literasi yang saya bentuk) ke 'pengajian kelompok' saya. Dua, saya sering membawa anak-anak belajar di perpus. Ketiga, buku-buku di perpus adalah buku aliran saya. Keempat, jika mengajar, saya terlalu banyak bercerita, Kelima, saya lupa. Keenam,saya juga lupa.

Saya gemetar karena marah. Pertanyaan mendasar yang saya lontarkan kepada beliau adalah : "Apa pendapat panjenengan tentang itu? Panjenengan percaya dengan semua daftar itu?"

Penting saya tanyakan hal tersebut. Sebab selama ini, saya menganggap beliau (sebagai atasan) paham cara bekerja saya. Jika beliau meyakini tuduhan itu benar adanya, maka tidak ada gunanya saya menjelaskan poin-poin tuduhan itu.

Pembicaraan itu berakhir beberapa belas menit kemudian. Saya tidak puas, dan merasa terluka. Kecewa. Selama beberapa hari, saya seperti terombang-ambing dengan kemarahan, kekesalan, dan ketidakberdayaan.
Saya mangkel dengan beliau. Kepercayaan saya runtuh, perasaan aman bekerja dengannya koyak. Saya sampaikan uneg-uneg itu pada sahabat.
Ia kemudian mengajak saya duduk, dan berbicara.

"Selama ini, beliau yang sering membela panjenengan. Kalau sekarang beliau menyampaikan daftar tersebut, bisa jadi itu karena terpaksa...."
Lalu meluncurlah cerita tentang berbagai intrik yang dketahuinya. Berkaitan dengan posisi saya saat ini.

"Apa salah saya pada mereka? Maunya apa? Jabatan? Ambil saja, saya gak butuh. Saya gak ngejar jabatan. Ambil!" Saya berapi-api mengatakan itu.
"Memangnya hidup saya hanya bergantung pada jabatan ini? Saya punya hidup lain di luar sana, saya punya banyak hal yang bisa saya lakukan selain disini. Siapa juga yang minta diberi posisi ini? Silakan ambil!"

Lihat. Kemarahan itu berpeluang membutakan. Saya ngambrak gak jelas, muring-muring. Kekecewaan berlebihan memang bisa menyesatkan.

Kemarahan mereda sedikit. Sahabat saya itu mengajak saya berpikir logis tentang hubungan baik kami (saya dan yang memanggil saya itu).
Tak lama, secara tidak sengaja, saya mendapatkan kejelasan siapa saja orang-orang yang menekan beliau agar menyampaikan daftar dosa buatan mereka tersebut.

Pertanyaan paling atas itu muncul. Kenapa? Apa salah saya? Bayangkan, urusan cara saya mengajar dicermati. Sepenting apa saya hingga mereka perlu memata-matai cara saya mengajar di kelas? Bahkan berhitung, seberapa sering saya membawa anak-anak ke perpus. Lalu, kenapa pula jika anak-anak saya bawa ke perpus? Salah? Belajar kudu di kelas terus? Konsep jadul itu.

***
Terus gimana? Ya gak gimana-gimana. Kemarahan saya, seperti biasa, reda. Sudah kena berbagai kesibukan, dia lenyap. Lagi pula, saya memilih tidak peduli dengan berbagai alasan.
Pertama, tuduhan itu, terutama mengenai buku 'sealiran', tuduhan mengada-ada. Saya tahu, yang menuduh itu tidak suka baca. Ke perpus dan pinjam buku saja (diluar buku pelajaran) sangat-sangat jarang. Tadinya saya mau bawa buku-buku, lalu saya simpan di depannya, lalu saya tanya: "Sudah baca semua buku ini?" Buku-buku Life of Pi. Ripin (kumcerpen kompas), Negeri Lima Menara, Ranah Tiga Warna, The Naked travelelr, 5 Cm, Orang jujur DIlarang Sekolah, Hujan, Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah, Chicken Soup: Bangkit Dari Masa Sulit, dll. Sudah dibaca? Tahu pengarangnya? Sealiran dengan saya dalam hal apa?
Dramatis, ya?
Tapi kata sahabat saya, percuma. Malah 'nggolek perkoro anyar'.



Kedua, ketika saya bertanya: Apa salahku? Why me?' saya teringat kata-kata sahabat saya lainnya : "Kalau kita merasa kena musibah, lalu bertanya 'why me?' bisa jadi jawabannya adalah 'why not?'"
Kalimatnya makjleb banget.
Kepedean amat saya dengan bilang 'apa salahku?' Lha salah saya kan banyak. Dosanya bejibun. Siapa tahu dikasih begini sebagai bayaran atas dosa yang lain, yang sepadan. Yang saya gak merasa bahwa itu salah dan dosa. Atau merasa, tapi gak peduli.
Lagi pula, kalau memang saya gak salah sama si pembuat daftar dosa itu, lalu mereka ditakdirkan bersikap begitu sama saya, emang kenapa? Kan saya gak bisa nolak, gak bisa ngeles. Itu tetap bakal terjadi, sesuai takdirNya. Tugas saya hanya menjalani. Lalu belajar; belajar mengelola perasaan mangkel, marah. Belajar menerima kenyataan dan takdir. Jadi tahu, membuat tuduhan norak macam begitu itu menggelikan. Jangan pernah lakukan itu pada orang lain.

Jadi, bagaimana?
Gak gimana-gimana. Kerja tetap diteruskan. This was not a big deal. Walaupun tetap saya kenang, sebagai hal lucu, menggelikan, dan norak. Semoga saya tidak akan pernah lakukan itu pada siapa pun.
Bukan hal besar, yang besar itu pelajarannya.
Bahwa jabatan itu bukan apa-apa. Jangan jadikan jabatan itu milik atau sandaran kemuliaan.
Bahwa mengandalkan manusia itu salah, sebab manusia tempatnya salah. Andalkanlah Allah Subhanahu waTa'ala, yang Maha Agung dan Maha Bijaksana.
Bahwa merasa tidak bersalah itu pintu menuju sombong. Mungkin memang tuduhan mereka salah, namun itu bisa menjadi wasilah untuk selalu muhasabah. Salah saya tidak banyak, tapi buwaaaaaaanyaaaak. Dosanya bejibun, sak langit, sak gunung (kata Hafidz). Kudu banyak-banyak mohon ampun.
Bahwa ilmu sabar saya masih cetek, dangkal, dan sedikit. Perlu banyak latihan agar meningkat.

Masih banyak bahwa lainnya, tapi tangan saya sudah pegel. Kepala juga pening, waktunya istirahat. Tidur dulu, sodara.

Semoga Allah ampuni dosa-dosa kita dan matikan kita dalam husnul khotimah.
Maaf lahir batin, yes.

Jombang, Ahad, 08 Oktober 2017. 21.30

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.