MERDEKA!

Senin, Oktober 30, 2017
Resiko tinggal di kompleks adalah tembok yang saling berdempetan. Menempel. Sebelah menggoreng ikan, baunya menyusup pelan-pelan. Kalau angin sedang kompak, bau ikan bisa terbirit-birit sampai. Yang susah jika sebelah menggoreng sambal. Bersin-bersinnya menular, berkali-kali terdengar sahut menyahut.

Masalah lain lagi, adalah gosip. Jangan tanya bagaimana kecepatan gossip hinggap. Pagi kejadian, sore beritanya sudah melanglang buana. Dengan macam-macam bumbu, tinggal pilih. Kalimat yang semula lima senti, sore hari bisa menjadi lima puluh meter. Ada bonus tak kira-kira. Ajaib, pemberi bonus tak bisa dilacak. Mungkin si pemberi bonus menganut falsafah ‘menambahi diam-diam lebih afdol’.

Narti mengetuk-ngetuk pintu rumah Ida. Di tangannya ada sekantong bumbu pecel. Dari dalam terdengar suara palu dipukul-pukulkan.
“Mba Ida, assalamualaikum,” Narti mengetuk pintu lagi. Suara ketukan pintu diperkeras, sebab kalah keras dengan suara palu dari dalam.

Pintu terbuka.
“Wah, Mbakyu Narti. Monggo, silakan masuk. Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” Ida menggeser kursi plastic yang ada di dekatnya.
“Sepertinya repot,” Narti melirik dinding. Ada bendera merah putih yang cukup lebar menepel di dinding.
“Semangat bulan Agustus, ya Mbak,” kata Narti.
Ida tertawa kecil. Ia duduk di depan Narti sambil menyimpan palu dan mangkok kecil berisi paku di atas meja.
“Tio, minta dipasangkan bendera,” katanya.
“Tio gak bisa pasang sendiri?”
“Ya bisalah, cuma kan butuh bantuan.”



Tio muncul dari dalam, mendekati Narti dan menangkupkan tangannya di depan dada, sambil mengangguk takzim. Tio mengenal Narti, yang tidak mau bersalaman dengan lawan jenis yang sudah baligh. Walaupun masih SMP atau SMA.
“Tio ini aktif di paskib, Mbakyu, terpilih sebagai pasukan pengibar bendera di alun-alun, ” kata Ida dengan bangga. Tio tersipu-sipu. Ia pamit masuk ke ruang tengah.
“Bagus itu, melatih disiplin.”
“Iya. Sekarang nasionalismenya tambah naik. Suka nyanyikan lagu-lagu kebangsaan keras-keras,” Ida tertawa kecil. Narti tersenyum. Sering sekali didengarnya suara lantang Tio pagi dan sore hari.
“Walaupun cuma penyanyi kamar mandi, saya jadi ketularan semangatnya,” mata Ida berbinar-binar.
Narti diam saja.
“Eh, kata Ustadz Shobri, ndak boleh ya nyanyi di kamar mandi? Wis tak elingno, ning yo gak mempan,” Ida tertawa kecil (lagi).
“Yo dielingno bolak-balik, sampe mandeg,” Narti berkata santai. Ida mesam mesem saja.

Narti menyodorkan kantong plastic berisi pecel.
“Lho, apa ini? Wah, ini bumbu favoritnya Tio. Makasih, Mbakyu,” Ida tersenyum sumringah.
“Semalam pulang dari Madiun. Takziyah sepupu,” Narti menjelaskan.
“Innalillahi wainna Ilaihi rajiun.. Sakit, Mbakyu?”
“Tidak, mendadak. Meninggal pas dzikir, setelah sholat Isya.”
“Ya Allah, apike,” Ida bergumam.
“Mas Tio latihan tiap hari?” Narti membelokkan topic pembicaraan. Mengingat kematian sepupu membuatnya sedih lagi. Lebih baik mengobrolkan hal-hal ringan saja.
“Iya, Mbakyu. Sampai rumah habis maghrib, lalu tidur sampai pagi. Kasihan, kecapekan. Tapi aku seneng, Mbakyu. Nasionalismenya itu loh, luar biasa,” Ida kembali meluap-luap bangganya.
“Nasionalisme gimana?” Kening Narti mulai berkerut. Something wrong ini!
“Ya itu, lagu-lagu nasional sering dinyanyikan. Perlakuannya sama bendera merah putih, hati-hati sekali. Tidak boleh disimpan sembarangan.”
“Wah, luar biasa ya!”
“Bener, Yu!
“Pulang maghrib?”
“Iya, biasanya makan dulu, terus tidur sampai pagi.”
“Gak sholat isya?” Narti mulai ceriwis.
“Mau bangunkan gak tega, Yu. Sajak’e wis puwegel ngunu,”Ida masih bersemangat.
“Wah, eman. Bangunkan, Mbak. Di kubur nanti yang ditanya bukan nasionalismenya dulu, tapi sholatnya,” Narti berkata berapi-api.
“Senengane lak meden-medeni.” Ida cemberut, tak suka.
“Gak meden-medeni. Katanya tadi sepupuku meninggal sedang dzikir iku apik. Lha lek Tio meninggal pas tidur sepulang latihan, sebelum sempat sholat isya, piye? Njenengan tanggung jawab juga!” Narti semakin semangat.
“Gini ini, bikin aku gak semangat makan pecel !” Ida melirik kantong plastik di depannya.
“Sini, tak kasihkan Mbak May!” Narti mengulurkan tangannya.
“Jangan!” Ida mendekap kantong plastiknya erat-erat.

Narti bangkit sambil tertawa.
“Pamit dulu, Mbak. Ingat-ingat, jangan biarkan Tio tidak sholat. Biar pas di kubur, dia bisa merdeka dari azab karena sholatnya OK!” Narti mengacungkan tangannya yang mengepal.
‘Siap!” Ida berlagak memberi hormat.


Note:
Ini naskah untuk majalah LAZ UQ, edisi Agustus 2017. Karena satu dan lain hal, saya buat lainnya. Yang disetor naskah satunya, yang ini disimpan sini saja.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.