KUY, BACA!

Rabu, Oktober 18, 2017
FLPKU SAYANG
Sudah setahun amanah ketua FLP (Forum Lingkar Pena) Jombang dilepas. Jane, mestine, kudune, bukan saya yang jadi ketua FLP. Lha wis tuwir kok masih kepede-an pegang organisasinya orang muda. Kudu estafet, dipegang sama yang masih muda dan tahes. Emak model saya mah jadi penyemangat saja. Mendorong yang muda supaya semangat mengkader. Lak gitu, seh? Toss dulu!
Yang tuwir-tuwir berkontribusi dengan cara lain. Menjadi tutor, misalnya.
Untuk urusan FLP saja, dalam kondisi normal, ada 6 group WA yang saya ikuti. Sekarang situasinya sedang tidak normal, alias hangat-hangat seru. Tanggal 3 sd 5 November mendatang akan ada Musyawarah Nasional FLP di Bandung. Group WA bertambah. Tidak tanggung-tanggung, ada 4 group tambahan. Group tambahan ini cukup hingar bingar. Aktif sekali. Membahas hal ringan, -- perkara makanan khas daerah masing-masing, misalnya – sampai hal berat, pembahasan komisi, calon ketua mendatang, dll.
Salah satu group yang dibentuk FLP Jawa Timur adalah group Reading Challenge. Tantangan membaca setiap hari. Siapa saja anggota FLP Jatim boleh ikut. Diantara peserta lainnya, sepertinya saya yang paling tua. Semangat!



Bagaimana teknisnya?
Sederhana. Di group itu ada Mas/Mbak 'Guru', yang kerjaannya membuat list dan memantau dinamika group. Guru tersebut bertanggung jawab meng-update list setiap hari supaya selalu fresh. Hehe.
Batas laporan jam enam pagi setiap hari. Kami cukup mengisi berapa julah halaman yang dibaca selama 24 jam. Jika lalai laporan, atau jumlah halaman kurang dari target, diberi tanda peringatan. Jika tanda sudah mencapai tujuh (kalau tidak salah), akan dinyatakan tidak naik kelas. Naik kelas? Iyes. Namanya ada guru, ya ada kelasnya.

Kelas pemula, kelas R. Reading biasa saja. Tinggal update saja jumlah halamannya. Kelas MR, sama. Lama kelas R kalau tidak salah 40 hari. Kelar kelas R, pindah ke MR. kepanjangan apa, ya? Lali aku. Middle Reading? Medium Reading? Melu Reading? Embuhlah, pokok'e kuwi. Di MR inijumlah target halamannya bertambah.
Habis MR,maka HR. High Reading. Tempatnya pembaca High class. Kalau disini, jenis bukunya ditentukan. Per-sepuluh hari ganti. Jugaaaa...ada tantangan menulis review. Kudu setor, gak setor dihukum. Dikasih tanda lalai (berupa silang) dan jika tanda itu sampai batas tolearnsi, gak naik kelas.
Mas dan Mbak Gurunya diselipin banget. Eh, disiplin.

Sek, sek... Bisa jadi penjelasan saya diatas ada yang kurang tepat. Gak papa ya? yang penting pemirsa tahu bahwa FLP Jatim keren dan bisa memaksa saya baca buku lebih intens. Nah.
Dan saya senang bisa kumpul orang-orang muda yang keren macam mereka. Ketularan keren dan muda. Supaya bisa berkamuflase, tampak tiga puluh walau sejatinya memang tiga puluh (tahun 2002 lalu, yes). Nah.

WHY?1
Kenapa saya ikut? Sebab saya suka baca.
Kan bisa tetap baca walau gak ikut itu? Beda kualitasnya. Seru, bener.
Begini. Dalam kondisi normal, saya bisa baca buku ratusan halaman dalam satu hari, bisa juga cuma sepuluh halaman. Kalau cuma baca sedikit, itu artinya tidak meluangkan waktu secara khusus untuk membaca dan tidak menuntaskan bacaan.
Sebagai kepala perpus sekolah, saya dikelilingi buku. Mengolah buku baru, tentu saya baca, minimal daftar isinya.Atau bagian pengantar penulis. Deretan ucapan terima kasihnya dipelototi, barangkali ada nama yang saya kenal. Atau endorse-nya para pakar.
Nah, kalau ikut reading challenge, mau gak mau kudu benar-benar baca buku. Disempatkan secara khusus. Diukur secara pasti capaian jumlah halamannya. Dan bagi emak-emak rempong macam saya, ini butuh perjuangan ekstra. Ekstra beneran, bukan ekstrakurikuler!

Ikut reading challenge juga bagian cara saya mengukur batas diri. Semampu apa saya meluangkan waktu membaca ditengah-tengah aktivtas yang cukup rapat begini.
You know lah, pekerjaan di perpus kagak ade matinye. Apalagi buku-buku paket datang silih berganti. Ada paket yang sampai tiga kali revisi. It means, sekolah membeli sampai tiga kali. Jumlah buku paket per judul ada 650 untuk setiap jenjang. Dan total ada 9 bidang studi.
Jadi, per jenjangnya, ada 650 x 9 = 5.850 eks. Jika ada tiga jenjal, maka tinggal kalikan tiga. Mengolah buku juga lumayan ribet. Memberi stempel (tiga kali stempel sekolah, satu kali stempel data buku). Rasanya kasihan melihat petugas yang memberi stempel bekerja. Belum lagi urusan memberi sampul. Sementara ruang sirkulasi, pengolahan dan ruang baca masih jadi satu.
Ruangan jarang bisa rapi jali. Kadang saya sumpek lihat buku disana-sini. EH, kok jadi curhat, yes.

Baca buku itu bikin saya tahu, ternyata saya masih belum tahu banyak hal.
Contoh nih, baca tentang sejarah sastra Indonesia, karangan Ajip Rosidi. Disitu saya tahu gimana pertarungan ideologi para sastrawan. Jadi semakin yakin bahwa pertarungan ideologi akan terjadi di level mana pun, dengan berbagai medan yang beragam.
Atau pas baca buku Kuntowijoyo, saya jadi dapat pencerahan mengenai cara bercerita yang mengalir, wajar, dan sangat merakyat.
Semakin banyak jenis buku yang saya baca, semakin kaya pespektif saya mengenai sesuatu. Ibarat pelangi, warnanya semburat dalam kepala dan dada, dan memberi suplai ide aneh-aneh.

Baca buku itu bikin kemampuan public speaking semakin meningkat. Kosa kata buku, mulai dari yang sederhana sampai yang rumit (menurut saya, lho), bisa jadi simpanan jika suatu waktu makbedunduk kudu pidato, atau kasih sambutan.
Selainmasalah kosa kata, kumpulan isi buku juga bisa salah satu sumber ide tentang tema pidato. Ambil satu tema kecil, lalu ramulah tema itu dengan konsep dari berbagai sumber. Dan...cling, jadilah naskah dadakan di kepala. MasyaaAllah, alhamdulillah.

Baca buku itu, bikin galau saya minggir. Menepi, ngacir. Kecepatan ngacirnya macam-macam. Bergantung pada kadar kegalauan dan bobot buku yang dibaca.
Buku tazkiyataun nafs itu manjur untuk menjadi alat muhasabah. Sedang kemrungsung, mangkel sama orang, jadi agak berkurang. Apa tidak merasa digurui oelh tulisan macam begitu? Alhamdulillah nggak. Mungkin ada yang berprinsip, masalah hidup kalau dihakimi dengan ilmu agama, terasa kaku dan letterlijk.
Atau pakai statemen: "Kalau solusi masalah seperti itu sih kita sudah paham!"
Lha kalau sudah paham, praktikkan. Persoalan muncul salah satunya sebab tidak singkron antara pemahaman dengan perbuatan. Kita tahu yang benar bagaimana, tapi hati masih enggan menerima itu. Atau bahkan menolak melakukannya. Repot kalau begini. Perubahan baik akan sulit didapat. Solusi akan kabur jauh-jauh. Yang mepet-mepet malah masalah baru.

Baca itu, bikin saya punya referensi dan komparasi 'how to do something'. Bisa belajar dari berbagai paparan. Misal, nih, pengasuhan anak alias parenting. Dari macam-macam teori dan metode yang ditulis, saya bisa pilih poin-poin yang sesuai dengan situasi dan kondisi pribadi.
Tips dan trik juga mudah didapat, dan itu mempermudah melakukan sesuatu.

Baca itu, bikin saya paham sejarah, mengerti pertarungan ideologi, dan pertempuran haq dan batil. Baca tulisan Hamka, jadi tahu betapa nyastranya Beliau. Kalimat-kalimatnya indah. Jadi tahu perspektif beliau tentang negara dan agama. Jadi ngeh betapa berani dan lugasnya Beliau memperjuangkan agamanya. Jadi ngeh betapa Beliau punya wawasan kebangsaan yang bagus dan komprehensif.
Baca buku yang ditulis orang-orang liberal, saya jadi tahu titik mana nyelenehnya mereka. Ide-ide apa yang inkonsisten, dan bagaimana mereka mengemasnya. Salah satu murid saya meminjam buku ideologi itu. Malamnya, dia WA saya dan bilang bahwa buku itu sulit dipahami. Kapan-kapan saya akan ajak dia diskusi tentang ini.
Bagi orang liberal, saya bisa dianggap indoktrinasi, mengekang kebebasan mencari dan berpikir. Yo ben. Kalau mereka bebas menyebarluaskan ide anehnya, saya juga bebas dong menyebarkan pemahaman saya tentang itu. Impas, yes? Tinggal kuat-kuatan pengaruh saja. Lebih kuat indoktrinasi dia atau indoktrinasi saya?

Baca itu, after all, bikin saya melek literasi. Feelingnya terasah. Logika berfikir terlatih. Alarm jadi sensitif terhadap berbagai broadcast yang makjegagik nongol dari grup-group WA.
Saya tidak mudah meneruskan broadcast. Khawatir isinya hoax atau bombastis.
Apakah itu berarti saya sangat pintar? Oh, tidak. Justru dari membaca, saya jadi tahu keterbatasan pengetahuan. Balik ke poin atas lagi, yes.

Jadi, baca itu keren. Bacaan keren bikin otak jadi paten, juga telaten. Telaten memilah informasi.

Kuy, baca!


Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.