SAMPEYAN YANG DI ABATA?

Sabtu, Oktober 14, 2017


Bulan lalu, seorang kepala SDIT di kecamatan Sumobito meminta saya membantu dalam pertemuan wali murid. Semula dia menawarkan waktu pekan pertama bulan Oktober. Pada hari tersebut, saya sudah punya janji dengan kepala TKIT di Perak. Akhirnya disepakati untuk Sumobito dalah pekan berikutnya., tanggal 13 Oktober.

Hari-hari berlalu.TKIT CInta Islam di Perak menghubungi saya kembali. Mereka memberikan surat resmi yang dilampiri dengan rencana judul materi selama 6 bulan. Clear, itu berarti pekan pertama setiap bulannya insyaaAllah saya kesana.
Sementara itu, dari SDIT di Sumobito tidak ada kabar lebih lanjut. Tidak ada surat, atau pembicaraan kembali.

Beberapa hari lalu kepala sekolah SDIT itu menghubungi saya via WA. Sayangnya saya terlambat membaca pesan itu. Beliau meminta waktu untuk bertemu. Saya tepar, tidak bisa memenuhinya. Pada hari Kamis, beliau menyampaikan bahwa acara Sabtu 13 Oktober jadi. Agak bingung, sebab sudah setiap Sabtu saya ada kongkow sama pelajar unyu-unyu. Diskusi macam-macam, saling kulakan semangat. Alhamdulillah, ada penggantinya. Seorang direktur yang baik hati berkenan membantu menemani teman unyu-unyu selama dua jam. Alhamdulillah, matur tengkyu pak Dir!

Nah, SDIT di Sumobito itu, konon katanya, jauh. Saya belum pernah ke sana.

“Besok Bunda ke Sumobito,” saya lapor pak Pacarku nan ganteng tiada tara.
“Acara apa?”
“Parenting.”
“Sama siapa?”
“Sendiri, naik motor.”

Ekspresi wajahnya berubah. Dia memandang saya dengan air muka aneh.
“Itu masuk-masuknya jauh lho. Bapak-bapak aja dulu kesasar,” katanya. Bapak-bapak yag dimaksud adalah teman-temannya, yang pernah beranjangsana ke rumah salah satu pengurus yayasan SDIT. Secara halus, pak Pacar mau bilang begini: ‘Bapak-bapak aja nyasar, apalagi Bunda.’

Yeah, I know, I know. Urusan arah, saya payah. Payah bingit. Ibaratnya begini: masukkan saya ke kompleks perumahan atau desa, lalu lihat. Hampir bisa dipastikan saya akan kebingungan. Tipikal model begini, jangan diandalkan untuk menjadi penunjuk jalan. Bakal sesat dan menyesatkan. Haha.

“Sudah dikasih ancer-ancernya kok,” saya berlagak. Kata kepala sekolahnya, luruuuuus saja, sampai melewati ini dan itu, lalu ketemu anu, lalu lewati jembatan. Jika sudah sampai jembatan, diminta menelepon. Panitia akan jemput. Gampang toh?
“Pakai map,” katanya. Masih dengan ekpresi anehnya.
“Ayah gak percaya Bunda, ya?” Saya mokal.
“Curiga… Gak bisa sampai,” dia tertawa. Ish..ish.. Segitunya!
“Kalau kesasar, gak nemu, ya pulang ajah,” jawab saya asal.
“Khawatirnya sampe Mojokerto,” dia tambah keras tertawa. Idih, pelecehan. Emang segitunya eike sampai kesasar jauh begitu?

Singkat cerita, pemirsa, esok pagi saya berangkat. Sekitar pukul 08.45 pagi saya melaju. Di satu perempatan, menunggu lampu hijau menyala, saya mengintip WA. Ada pop up khusus, WA dari pak Pacar. Hanya chat beliau saja yang saya setting berpop-up.
Ada kirima peta lokasi. Hehehe, benar-benar cemas rupanya. Baiklah, Honey, peta lokasimu akan sangat membantu. Let’s go!

Saya sempat kebablasan jalan. Belokannya terlewati. Putar balik, saya masuk ke jalan yang tepat. Cek lagi rutenya, sepertinya benar. Saya melewati sawah. Panas dan berangin. Sekian ratus meter saya berhenti. Ragu-ragu, khawatir kebablasan lagi. Di peta lokasi, saya berada di jalur yag salah. Lha, piye. Balik kanan lagi. Lalu intip lagi. Then, saya terkekeh sendirian. Itu map di hape, belum saya tutul… Pantas titik posisi diriku tidak berubah. Wahaha. Sst, pak Pacar jangan tahu. Saya bakal ditertawakan!
Saya kirim WA kepala sekolah dan beliau bilang aka nada yang menjemput. Saya memilih cari sendiri saja, pede denga peta lokasi pak Pacar.

Akhirnya saya kembali lagi. Menyusuri jalan yang panas dan gerah. Jalan aspalnya tidak semulus tadi. Ini tanda-tanda masuk jauh ke pelosok. Saya intip peta lokasi, sepertinya sudah tepat. Motor berbelok ke jalan paving. Lalu belok lagi ke kanan. Alhamdulillah, sudah dekat. Titik lokasi berkedut, tanda bahwa saya sudah tepat di situ. Lho, mana sekolahnya? Ini rumah tinggal, tidak ada tanda-tanda sekolah.
Saya bablas sampai perempatan. Jalan tanah, berdebu. Mesin penggiling padi alias huler lewat. Sebelah kiri sawah. Sebelah kanan rumah khas desa.

Saya telpon kepala sekolah. Dia tanya saya ada dimana. Dimana, ya? Saya tidak tahu. Tidak ada plang nama atau apapun yang jadi petunjuk nama dusun atau desa.
Akhirnya saya kembali lagi. Seorang laki-laki duduk di dekat pematang sawah, memunggungi jalan. Tidak jauh darinya ada empat orang bapak-bapak mengobrol.

Saya berhenti dekat laki-laki itu. Dia tengah memegang pisau.
Ngapunten, Pak. Nderek tanglet. SDIT desa Bakalan niku pundi, nggeh?
Dia memandang saja. Saya menunggu. Tiba-tiba satu bapak yang tengah mengobrol itu berlari mendekat sambil melambai-lambai. Dia bergegas mendekati sambil senyum-senyum melirik laki-laki tadi. Saya lihat laki-laki itu, masih memandangi saya. Hiiy, horror.
“Sini Mbak, mau kemana?” Tanya bapak itu, sambil sesekali melirik. Lalu memberi isyarat halus bahwa laki-laki itu…gila! Huaaaa. Seraaaam. Aduh, saya takut.

Beliau menunjuki jalannya. Saya segera tancap gas, ngeri sendiri. Aduh, bisa-bisanya tadi nanyain orang begitu. Ingat pisau di tangannya… Hiy.
Wes lah, saya susuri lagi jalan kampung itu. Keluar dari perkampungan, saya susuri lagi jalan aspal. KEmbali lagi ke jalan awal. Tiba-tiba di belokan, ada motor melaju di depan. Pakaian perempuan yang mengendarai motor itu adalah batik, berkaos kaki, kerudung agak lebar. Itu pasti guru yang jemput saya!

Saya klakson, dia menoleh. Hanya mengangguk saja. Saya klakson lagi, dia menoleh dan senyum lagi. Ustadzaaaah, ini eikeeee! Ketiga kali saya klakson, dia tersenyum lagi. Lalu tampak bercakap dengan pengemudi. Bibirnya bergerak menyebut : “…Bunda Umi…”
Ya Allah, Alhamdulillah, betuuuuul. Ini akyuuuuh! Saya klakson lagi, lalu mengangguk. Dia balas mengangguk. Alhamdulillah, leganyaaaaaa… Setelah hampir 45 menit nyasar, akhirnya sampai.

Para orang tua sudah berkumpul. Tanpa sempat minum, kami langsung sharing. Sampai pukul 11.15 WIB. Menggeh-menggeh rasanya.




Selesai acara, tiba-tiba ada gadis kecil menemui saya. Dia uluk salam, lalu mencium tangan saya takzim.
Sampeyan yang di Abata itu ya?”
“Iya, kok tahu?”
“Aku dulu sekolah sana,” katanya kenes. What?
“Lho, iya? Siapa namanya?”
“Ersa,” dia menjawab sambil tertawa. Giginya yang ompong tampak. Ersa? Sepertinya saya agak hafal nama itu. Kalau tidak salah, ayahnya sempat menjadi petugas kebersihan SDIT Ar Ruhul Jadid.



Kami berbincang. Dia ceritakan kelasnya, dan menanyakan nama bunda-bunda di Abata.
“Sudah ya, Ersa mau pulang,” pamitnya. DIa cium tangan saya lagi dengan takzim.
Di perjalanan pulang, motor Ersa dan ayahnya menjajari motor saya.
“Bunda dari SDIT?”
Injih.”
“Kok tebih, Bunda?” Saya hanya tersenyum saja. Mungkin dia heran, untuk apa saya jauh-jauh ke SDIT putrinya. Sepertinya tadi ayah Ersa tidak ikut pertemuan.

Bertemu dan berbincang dengan Ersa jadi hiburan tersendiri. Kesasar, nanya-nanya ke orang gila, keblusuk jauh, jadi kenangan.
Belum tentu terulang, bukan? Eh, yang nanya orang gila itu, jangan sampai terjadi lagi. deh. Takut.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.