AYASY MENANGIS

Sabtu, September 30, 2017



Jumat, 29 September 2017, saya diminta mengisi acara siswa kelas VI SDIT Ar Ruhul Jadid. Jadwalnya ba'da Isya. Temanya tentang Mahabbatullah. Tema yang berat, sebenarnya. Harus dicari cara agar anak-anak tetap enjoy. Malam hari, tantangannya mengantuk. Butuh usaha ekstra untuk membuat mereka 'stay tune'.

Terakhir mengajar usia SD adalah tahun 2011. Eh, bukan. Setahun belakangan masih mengajar ekstra kurikuler menulis, sepekan sekali. Pesertanya sebagian besar perempuan.
Lha malam ini, separuh diantaranya laki-laki. Putera 41, puteri sekitar 33. Agak ketar ketir juga, bagaimana situasinya. Apakah saya masih cukup sakti untuk menarik perhatian mereka agar tidak berisik? Agar tidak 'celometan"? Do you know the meaning of 'celometan'? Celometan, in English, is overspeech. Speechnya overloaded. Sebab overloaded, maka overacting. Nah, ngadepin anak-anak overacting, saya kudu sering-sering bilang 'cut!!'.

Mas Budi mengantar saya. Kami berhenti depan masjid. Anak-anak sudah berkumpul, tilawah. Para siswa di dalam masjid, para siswi di teras. Tiga siswi berjalan dari arah kelas, menuju kami. Mereka mendekat dan menyalami saya.

"Mau ketemu siapa, Tante?" salah satu bertanya.

"Ketemu ustadzah Ety, ada?" tanya saya. Sebenarnya, saya sudah melihat UStadzah Ety di depan kantor ruang guru. Dan beliau sepertinya juga sudah melihat saya.

"Eh, itu Ustadzah Ety," saya menunjuk ke kantor. Mereka mengangguk, lalu pamit masuk masjid.

"Hihi... tanteeeee," Mas Budi menggoda saya. Agak risih juga dipanggil tante. Selama ini anak-anak SDIT yang kenal saya, biasa memanggil Bunda.

"Iya, Oooooooommm... Oom Budiiiiiiii..," saya balas menggoda. Hahaha, garing. Walau garing, kami sama-sama tertawa. Sesama orang garimg, harus saling menghargai.

Setelah disiapkan ini dan itu, saya mulai prsentasi. Diawali dengan komitmen, bahwa mereka akan mengikuti acara dengan tertib. Beberapa anak saya kenal, sebab TK di ABATA. Ada Ayyasy, putri Bu Aris. Ada Haikal, putri ustadzah Amna. Ada putri Ustadzah Asih, Bu dokter DIan, Ustadzah Ninik, dll.

Okeh. SLide pertama, kedua, ketiga, mereka masih terkendali. Beberapa mata tampak memberat, sesekali mengatup. Peserta putera di depan saya, sangat aktif. Saya beri pertanyaan satu kalimat, mereka jawab bisa sampai tiga kalimat. Ada yang jawabannya ditujukan pada saya, ada yang jawabannya didiskusikan dengan teman sebelahnya. Lalu jadilah diskusi kecil antarmereka. Dipancing candaan dua tiga kata, bersambungnya sampai lima hingga tujuh kata. Beberapa kali perlu saya ingatkan kembali.

Sebenarnya, saya tidak terlalu merasa terganggu dengan suasana itu. Menyadari bahwa waktunya sudah malam, badan mereka lelah, bosan, mengantuk. Harus duduk diam, tanpa ada aktivitas fisik yang menantang, membuat mereka bete. Mungkin juga cara saya menyampaikan kurang asyik, jadul, emak-emak banget. Wehehehe.

Akhirnya, kelar. Alhamdulillah. Mikropon saya serahkan ustadzah Ety. Anak-anak ditanyai, apakah kesimpulan dari materi saya tadi.

"Mau mengkritik, Ustadzah!" tiba-tiba salah satu nyeletuk. Ungkapan ini sepertinya mengejutkan Ustadzah Ety. Teguran-teguran Ustadzah Ety mengalir, membuat anak-anak terdiam. Ustadzah Ety menyayangkan adab mereka yang mengecewakan selama presentasi saya tadi. Tak ada yang berani bersuara selama beberapa waktu.

"Sekarang, perwakilan, minta maaf pada Bunda Umi," kata Ustadzah Ety.

Tiga anak maju. Salah satunya, Ayyasy. Mikrofon diserahkan pada Ayyasy.

"Bunda, kami minta maaf... ... ... ... ...." Ayyasy menyampaikan dengan terbata-bata. Suaranya timbul tenggelam sebab terhalang isak tangisnya. Saya tidak bisa menangkap dengan jelas apa yang dikatakannya. Ayyasy juga sibuk mengusap air matanya. Dia mengisyaratkan salam, dengan dua tangan ditangkupkan di depan dada. Saya balas menangkupkan tangan, merespon salamnya.

Teman-temannya terdiam. Hanyut dalam kesedihan dan penyesalan Ayyasy. Saya sendiri speechless, tidak mengira bahwa suasananya akan begini.

Menangisnya Ayyasy, bagi saya, adalah bukti kehalusan hatinya yang tinggi. Selama presentasi saya, Ayyasy dan teman-teman di sekelilingnya memang tampak antusias, dan tenang.

Saya jadi ingat tulisan indah yang ada di banner milik Ar Ruhul Jadid, yang ditempel sebelah utara masjid:

"Ayah, Ibu, izinkan kami. Belajar adab sebelum belajar ilmu. Belajar iman sebelum belajar Qur'an."



Anak-anak sholih sholihah ini, semoga dijaga Allah Subhanahu wata'ala, dan bersemangat mensholihkan sekelilingnya. Sholih yang mushlih. Allahumma aamiin.





Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.