MENULIS MERDEKA DAN BERKAH

Minggu, September 24, 2017



KEBEBASAN MENULIS


Menulis itu membebaskan. Membebaskan dari uneg-uneg hati dan perasaan yang, kalau tidak disalurkan, bisa bikin bete. Perempuan membutuhkan keluarnya duap puluh ribu kata setiap hari. Maka wajar bin normal, jika kebanyakan perempuan suka bercakap-cakap.

Saya punya sahabat dekat. Sekelompok, sekitar sebelas orang. Sembilan diantaranya talkative, yang dua anteng dan pendiam. Seperempat saja yang irit kata-kata.
Sekali waktu, muncul ide bepergian bersama-bersama dengan para suami. Kebetulan, hampir kebanyakan suami kami pendiam (juga baik hati, tidak sombong, rajin menabung dan bersahaja).

"Jangan-jangan, di perjalanan yang terdengar suara para ibu-ibu. Suami-suami kita diaaaaaaam saja!" seseorang mencoba menebak situasinya sambil tergelak-gelak.

Uneg-uneg yang dikeluarkan secara lisan, mudah dilupakan. Berbeda dengan uneg-uneg melalui tulisan. Jejaknya bisa menetap. Tinggal screenshot, lalu bagi. Sekejap, tulisan itu akan semburat kemana-mana. Masuk dari satu group wa ke group wa lain. Dicopas di media sosail lain, semisal IG, FB, blog, dll.

Beberepa waktu lalu, saya mendapati tulisan dua orang di media sosial yang berbeda. Isinya mengomentari aksi kemanusiaan Rohingya yang dieselenggarakan oleh JSIT (Jaringan Sekolah Islam Terpadu) Jombang. Satu ditulis seorang ibu, satu lagi oleh mahasiswa. Keduanya menyoroti satu kejadian dengan pola yang sama: mengkritisi. 'Mengkritisi' sebenarnya kurang tepat. Tulisan keduanya, menurut saya, sangat tendensius. Tulisan mahasiswa tersebut bahkan menyiratkan kebencian dan tuduhan yang serius. Sementara tulisan sang ibu bernada nyinyir.

Tentu saja, tulisan itu mengundang reaksi. Saya termasuk salah satu dari sekian banyak yang merasa tidak terima dengan pernyataan mereka. Si mahasiswa saya japri melalui wa. Kebetulan dia satu group wa. Saya menyampaikan kekecewaan dan menyayangkan posting dia. Sekaligus mengajaknya bertemu untuk berdiskusi bersama. Japri saya hanya dibaca, sama sekali tidak dibalas.

Pada tulisan sang Ibu tersebut, saya memberikan komen. Beberapa jam kemudian, statusnya dihapus. Saya sempat dijapri oleh sahabat dekat Ibu tersebut, yang kebetulan sahabat dekat saya.

"Mbok kapakno, Bun, kok statusnya dihapus?" tanyanya.

"Gak tak apa-apain, Mi, cuma komen saja," balas saya.

"Paling pedes yaaa," katanya lagi. Saya tertawa.

Sang mahasiswa kemudian minta maaf melalui pernyataan bermeterai. Tak lama setelah meminta maaf, kembali dia membuat status yang bernada menantang. Ketua JSIT berinisiatif mengajaknya bertemu, kemudian mereka terlibat dalam pembicaraan panjang. Di akhir sesi, Ketua JSIT menghadiahi sang mahasiswa songket Lombok, oleh-oleh Munas JSIT 2017. Case closed.

Seementara sang Ibu, saya tidak tahu bagaimana responnya atas reaksi saya dan yang lainnya pada status yang diunggahnya. Menurut sahabatnya, sang Ibu memang punya karakter ceplas ceplos, sering protes. Konon, pihak yang sering diprotesnya sampai geleng-geleng kepala. Sahabatnya yang lain, menyayangkan komen saya dan menganggapnya sebagai 'pengeroyokan' atas Ibu tersebut. Sang Ibu (menurut cerita) merasa tertekan. Saya memilih tidak meladeni. Dengan dihapusnya status itu, saya menganggap case closed.

Kasus tersebut memberikan pembelajaran besar. Ceplas-ceplos di medsos itu tidak dilarang, tapi berhati-hatilah. Diksi, atau pilihan kata, akan memberikan aroma yang mudah ditangkap oleh pembacanya. Jangan sampai maksud yang baik disampaikan dengan diksi yang buruk. Biasakan untuk fokus pada ide dan gagasan. Jangan perbanyak bumbu-bumbu yang akan membuat persoalan jadi bias dan membuka peluang besar terjadinya multiinterpretasi.

Dunia medsos memberikan kesempatan bagi siapapun untuk menulis apapun yang diinginkannya. Tapi ingat, tak ada kebebasan mutlak. Rekasi orang lain atas tulisan kita adalah konsekwensi logis yang harus kita tanggung. Kalau tidak ingin menerima resiko demikian, maka jangan menulis yang aneh-aneh.

Stephen Covey menyatakan:
"Kita mungkin saja bebas melakukan apapun yang hendak dilakukan, tapi tak akan pernah bebas dari konsekwensinya."

Menulis merdeka adalah munulis dengan adab. Jika nasihat yang disampaikan, niatkan untuk kebaikan dan bungkuslah dengan kebaikan pula.

Jadikan kemerdekaan menulis sebagai wasilah pengundang berkah.


Tulisan ini sebagai tanggapan atas tulisan Mak Diah di sini

Tulisan Mak Diah diposting di sini

1 komentar:

  1. Bahkan menulis status pun dipertanggungjawabkan ya mbak.
    semoga kita masuk ke dalam golongan penulis yg tulisannya bermanfaat ya mbak aamiin

    BalasHapus

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.