HAMILKAH DIA?

Senin, September 25, 2017





Suatu pagi, dengan kaki terpincang-pincang akibat terkilir, saya menuju satu ruangan. Saya ke sana untuk numpang buang air kecil, karena kamar mandinya paling bersih.

Saya masih di dalam, ketika tiba-tiba pintu didorong dari luar. Seseorang hendak memakai kamar mandi itu, saya menebaknya begitu.

Benar, diluar sudah berdiri seorang ibu guru dan seorang siswa. Ibu guru itu (sebut saja Bu Atin) meminta siswa itu masuk kamar mandi. Mereka berdua di dalam.

"Kenapa, Bu?" saya bertanya pada Bu Yeti (bukan nama sebenarnya).

"Dia diduga hamil," katanya. Saya tertegun. Pekan ini memang ujian praktik siswa kelas dua belas. Ujian praktik olah raga cukup berat. Sit up, push up, lari keliling lapangan, dll.

"Bu Yeti, tolong ke sini, Bu!" Bu Atin memanggil. Bu Yeti masuk. Saya menunggu dengan cemas.

"Bu Umi, sini, Bu!" nama saya disebut juga.

Saya masuk kamar mandi. Siswi itu berdiri, dengan perut terbuka. Perut yang sedikit membesar.

"Menurut Njenengan, dia hamil apa tidak," Bu Yeti bertanya.

Saya meraba perutnya. Pinggangnya. Tertegun sekian detik, saya tak bisa berkata apa-apa. Pinggangnya rata, persis seperti pinggang orang hamil. Perutnya yang besar saya pegang. Bagian atasnya agak keras. Juga bagian bawahnya.

"Kamu hamil, Mbak?" saya bertanya lirih. Saya sendiri sudah pernah hamil empat kali. Dan tahu betul bagaimana rupa perut hamil.Bagaimana bentuknya. Bagaimana bedanya perut hamil dan tidak hamil walau sama-sama besar. Perut siswi tersebut tampak seperti perut hamil Kerasnya juga sama. Tapi sungguh saya tidak ingin gegabah menuduhnya hamil, karena saya tidak punya wewenang ilmiah untuk menyatakan itu. Pemahamam saya hanya berdasar pengalaman, bukan keahlian ilmiah.

"Kamu hamil?" saya bertanya lagi.

"Tidak, Bu! Saya tidak hamil. Tiap bulan saya haid, lancar, Bu!" katanya dengan ketakutan.

"Kamu sakit? Kenapa perutmu besar begini? " saya mendesak. Dia menggeleng-geleng.

"Kamu pernah melakukannya?" saya bertanya dengan sedih, sedih sekali.

"Pernah, Bu. Kelas satu dulu. Dengan pacar saya, tapi cuma sekali, Bu!" katanya.

Saya meraba perutnya lagi. Perasaan saya campur aduk tidak karuan. Antara cemas, khawatir, sedih, tidak percaya, dan lain-lain. Perutnya yang membesar, mengeras, bentuknya yang agak lonjong dari bawah dada.

"Kapan terakhir kamu melakukannya? Perut kamu seperti berisi bayi, Nak, " saya masih penasaran.

"Sudah lama, Bu. Saya tidak pernah lagi," katanya dengan lemas. Badannya bersandar ke dinding. Bibirnya bergetar.

Saya keluar. Siswi itu juga keluar kamar mandi dan duduk di hadapan Bu Atin.

"Bagaimana, Bu?" Bu Atin bertanya.

"Kita test urin saja, bagaimana?" saya memberi alternatif. Semua setuju, alhamdulillah.

Harap-harap cemas kami menunggu hasilnya. Test packnya saya pegang sekian menit, cuma muncul satu garis merah.

"Negatif, Bu," saya menyodorkan hasil tes itu pada Bu Atin.

"Saya dulu hamil sampai empat bulan, hasil tes urin saya juga negatif, lho, Bu!" kata Bu Atin. Semua terdiam mendengar itu.

"Bagaimana kalau kita USG kan saja?" saya kembali mengajukan usul.Sungguh bukan bermaksud apa-apa. Dugaan hamil ini bukan hal sederhana. Membayangkan kondisi psikologis siswa tersebut dikepung beberapa guru dan ditanyai begini tentu tidak nyaman baginya. Dituduh hamil, apalagi. Saya hanya menjaga kemungkinan lain, barangkali memang dia benar tidak hamil. Barangkali kami yang salah duga.

"Ya sudah, kita antar USG saja," demikian keputusan akhirnya.

Kebingungan masih berlanjut, rupanya. Siswi itu berseragam olah raga, beridentitas lengkap. Maka kami pun ribut mencari kaos atau baju biasa. Tentu terlalu mencolok jika siswa berseragam diantar ibu gurunya ke ruang USG. Seorang siswa kelas lain lewat, bersweater coklat. Kebetulan! Maka dipinjamlah sweater itu sebagai pengganti seragam olah raga.

Ternyata kecemasan kami belum boleh berakhir. USG tidak bisa dilakukan tanpa surat pengantar! Diputuskan untuk menunggu hingga sore hari, langsung berkonsultasi dengan dokter kandungan.

Cerita siswi saya ternyata berubah-ubah. Dihadapan guru BP, da mengaku melakukannya lebih dari sekali. Termasuk dengan pacar berikutnya. Dan malam tahun baru kemarin dia pergi ke gunung Kelud bersama pacarnya.

Banyak pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan oleh institusi pendidikan kita. Saatnya perhatian diarahkan pada pembenahan moral dan akhlaq anak didik. Dalam arti yang sebenarnya. Saatnya energi tidak melulu dihabiskan untuk persiapan UN saja.

Suami saya berkata begini: "Lalu apa yang hendak dilakukan sekolah Bunda? Harusnya direncanakan sesuatu agar tidak terulang..."

Saya tertegun. Bagian tersulit di sekolah negeri adalah menyatukan hati ketika bicara tentang pembenahan akhlaq. Apalagi jika sudah bicara 'how to'.

"Murid-murid Bunda seperti sudah tidak takut dosa. Atau jangan-jangan gurunya juga tidak takut dosa, sehingga nasehatnya tidak mempan?" kata suami saya lagi.

Asli, saya cuma bisa diam. Kalimat akhirnya sungguh menusuk. Astaghfirullah. Pertaubatan itu harus dimulai dari kami, para guru.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.